Terkuaknya Keanehan dan Kejanggalan Kelompok Pengajian yang ‘Berbeda’ Pemahaman
HIDAYATUNA.COM, Sumatera Barat – Beberapa bulan terakhir MUI Tanah Datar, Sumatera Barat melakukan penelitian terhadap kelompok pengajian yang terlihat berbeda dari pemahaman umum. Kelompok tersebut memiliki banyak keganjilan.
Dari penelitian tersebut dikeluarkanlah maklumat dan tausiyah bahwa pengajian tersebut memang memiliki banyak unsur penyimpangan dan kekeliruan. Alhamdulillah maklumat dan tausiyah itu berdampak positif dalam menyadarkan masyarakat akan kekeliruan yang diajarkan oleh kelompok tersebut.
Tidak hanya itu, beberapa pekan lalu kita menerima kabar gembira. Beberapa dari anggota kelompok pengajian tersebut sudah keluar dan kembali ke pemahaman yang benar dan umum dalam masyarakat.
Kemarin, Senin (30/5/2022) dilakukan temu-ramah dan bincang-bincang dengan beberapa anggota kelompok pengajian yang sudah keluar tersebut. Temu ramah juga dihadiri oleh pihak Kementerian Agama Kabupaten dan tokoh masyarakat setempat.
Alhamdulillah berbagai ‘kebobrokan’ dalam pengajian berikut juga sosok sang guru kelompok itu, semakin terbuka. Anggota kelompok yang sudah keluar ini secara berani dan blak-blakan menceritakan apa dan bagaimana pengajian yang telah mereka ikuti selama beberapa tahun tersebut.
Ancaman ‘Ruhani’ kepada Pengikutnya
Ada hal menarik yang layak menjadi catatan. Ini penting bagi setiap masyarakat, apalagi yang awam dan tidak memiliki dasar yang cukup dalam menilai benar atau salahnya sebuah ajaran.
Agar tidak mudah terkecoh dan terbawa ke dalam sebuah ajaran, kelompok, komunitas dan sebagainya yang sekilas tampak meyakinkan dan mencerahkan. Hanya karena ia datang dengan sesuatu yang terlihat baru dan berbeda.
Dari cerita anggota yang sudah keluar ini, mereka mengakui sebenarnya dari awal sudah terlihat keanehan, keganjilan dan kejanggalan dalam ajaran yang disampaikan sang guru. Namun karena merasa tidak punya ilmu dalam bidang agama dan tidak berpendidikan tinggi seperti sang guru, akhirnya mereka hanya diam dan mengikuti saja apa yang dititah-tuahkan sang guru.
Tidak sekali-dua kali mereka merasakan keraguan dan keanehan terhadap ajaran yang disampaikan sang guru. Ketika mereka sudah bertekad untuk menanyakan kepada sang guru apa yang mereka ragukan, tiba-tiba saja semangat itu hilang begitu saja saat sudah berhadapan langsung dengan sang guru.
Entah karena karisma yang dimiliki sang guru atau karena mental mereka yang kurang siap untuk ber-muwajahah langsung dengannya. Disamping itu, mereka juga mengakui, ada ancaman-ancaman ‘ruhani’ yang diberikan sang guru.
Keanehan-keanehan Ajaran Sang Guru
Ancaman-ancaman juga dilakukan oleh istri dari sang guru, terhadap mereka yang berani mempertanyakan hal-hal yang tabu dalam ajaran itu. Mereka selalu diminta untuk ‘dengar’ dan ‘patuh’.
Di antara ancaman yang pernah diberikan sang guru dan istrinya, kalau mereka tidak patuh maka sang guru akan ‘men-zahirkan’ ruh ibu mereka yang sudah wafat. Kalau ini jadi dilakukan sang guru maka mereka –sebagai anak-anak almarhumah- akan mati satu persatu.
Tentu bagi mereka yang masih berada dalam ‘cengkeraman spritual’ sang guru, ancaman tersebut cukup menyiutkan nyali. Ditambah lagi ada anggapan bahwa istri sang guru adalah titisan dari seorang wali yang sangat berpengaruh.
Tapi keanehan demi keanehan dan kejanggalan demi kejanggalan selalu mereka lihat dan saksikan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Mengajarkan Adab Tanpa Mencontohkan
Ketika sang guru selalu mengajarkan untuk selalu beradab -terutama kepada dirinya yang telah mereka panggil dengan sebutan ‘ayah’. Tetapi ia sendiri tidak menampakkan adab kepada mereka sebagai murid dan pengikut, baik dalam kata-kata maupun sikap.
Mengajarkan ‘Murid’ Hormat Tanpa Mencontohkan
Kedua, ketika guru mengajarkan agar istri hormat dan patuh pada suami. Tapi yang mereka lihat, istri sang guru justru menampakkan sikap tidak hormat kepada suaminya, bahkan di depan mata kepala mereka sebagai murid.
Tidak Mengamalkan Sunah Nabi
Ketiga, guru selalu menekankan untuk mengikut sunah Nabi. Tetapi keseharian sang guru di mata mereka yang tinggal serumah dengan guru tersebut, jauh dari sunah Nabi yang mereka ketahui dari buku dan pengajian-pengajian lain yang pernah diikuti.
Sunah di sini bukan yang berkaitan dengan pakaian atau penampilan lahir, melainkan akhlak dan sikap yang jauh dari akhlak Nabi yang mulia. Sang guru sering meminta mereka bersumpah untuk begini dan begini.
Sementara Nabi sendiri, sepanjang pengetahuan mereka, tidak pernah melakukan hal demikian dengan para sahabat. Berbagai keanehan dan kejanggalan itu membuat mereka semakin ragu dengan ajaran yang mereka ikuti dan sosok guru yang mereka panuti.
Belum lagi perintah sang guru agar mereka ‘memperbaharui’ kembali pernikahan mereka. Jika pasangan mereka (suami atau isteri) tidak setuju, maka ceraikan atau minta cerai.
Kalau sudah cerai bagaimana? Jika mereka adalah istri, maka sang guru siap menjadi sosok pengganti bagi suami mereka. Ditambah lagi ada beberapa ‘pungutan’ yang mesti diberikan kepada atau melalui sang guru atas nama zakat diri dan sebagainya.