Tengkorak dan Peradaban
Benedetto Croce (1866-1952), sejarawan pemikir Italia, ketika mengomentari keluhan dan kepedihan umat manusia mengapa dalam perjalanan sejarah kita sering dihadapkan kepada peperangan, penderitaan, dan kekecewaan, ia menjawab ringan “history in the making” (sejarah dalam proses pembentukan). Di ujung perjalanan, liberti (kebebasan) pasti akan menuai kemenangan. Bagi Croce, liberti tidak pernah kalah, tetapi bisa tertindas pada waktu-waktu tertentu. Keyakinan tentang kekuatan liberti ini diumumkan Croce pada 1937, dua tahun menjelang meledaknya PD (Perang Dunia) II, sebuah optimisme yang tinggi tentang hari depan umat manusia.
Kita boleh menyertai optimisme Croce, tetapi dengan catatan kaki. Bukankah peradaban, negara, atau imperium yang pernah dikenal tidak jarang dibangun di atas ratusan, ribuan, dan bahkan jutaan tengkorak manusia? Tentu Anda minta contoh, bukan? Baiklah, saya mulai dari peradaban Islam. Imperium ‘Abbasiyah (750-1258) yang sering dibanggakan sebagai pencipta peradaban Islam yang gemerlapan itu, bukankah dibangun di atas tengkorak lawan politiknya, Imperium Umayyah (661-749)?
Anda tentu tahu juga proses Indianisasi Nusantara selama berabad-abad sampai hancurnya Imperium Majapahit awal abad ke-15 dengan agama Hindu-Budha sebagai acuan spiritualnya. Bangunan raksasa Candi Borobudur yang Budha dan Candi Prambanan yang Hindu tentu sekarang kita saksikan dengan penuh kekaguman. Di saat dunia belum mengenal teknologi, demi taat kepada konsep deva-raja, maka tenaga manusia dan hewan dikerahkan untuk membuat bangunan dahsyat itu.
Berapa hitungan tengkorak manusia dan hewan yang harus dikorbankan selama puluhan tahun untuk menyudahkannya, kita tidak tahu pasti. Kita boleh saja menilai semuanya ini sebagai pengabdian manusia kepada penguasa, tetapi bila parameter modern yang dijadikan acuan adalah ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’, maka korban Borobudur dan Prambanan tidak lain dari penindasan penguasa atas rakyat.
Kita pindah ke VOC dengan sistem hongi-tochten-nya di Maluku dan kerja paksa H.W. Daendels (gubernur Hindia Belanda, 1808-1811) yang membangun jalan raya pos dari Anyer ke Panarukan, berapa tengkorak yang harus binasa untuk itu. Kekuasaan VOC yang kemudian diambil alih pemerintah Hindia Belanda adalah modal utama bagi bangsa dan negara Indonesia merdeka di kemudian hari. Untuk sampai kepada tujuan itu, orang tidak boleh lupa bahwa modal itu telah dibangun di atas tengkorak manusia yang tidak sedikit.
Kita pindah ke kawasan lain. Penghijrah dari Inggris telah membangun Australia modern dengan mengorbankan banyak sekali anggota suku Aborigin dengan cara yang sangat kejam. Begitu juga Amerika Serikat yang sekarang telah jadi imperium, dibangun di atas tengkorak rakyat Indian dan budak dari Afrika dalam jumlah yang sangat besar. Contoh lain banyak sekali, termasuk pembunuhan dalam jumlah puluhan juta yang dilakukan Joseph Stalin dengan kamp kerja paksa Siberia yang mengerikan itu, demi membangun Imperium Uni Soviet yang sempat bertahan selama 77 tahun.
Sebab itu marilah kita bersikap tawadhu’ untuk mengakui bahwa manusia, jenis kita ini, pada masa-masa tertentu dalam periode sejarah sangat tidak beradab, sekalipun kita mengatakan sedang membangun peradaban. Alquran dalam surat al-Baqarah: 11-12 menggambarkan manusia penghancur itu dalam ungkapan: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, janganlah kamu berbuat onar/kerusakan di muka bumi, mereka menjawab:
sesungguhnya kami justru orang-orang yang membangun kebajikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang membuat kerusakan itu, tetapi mereka tidak [mau] sadar.”
Apakah memang dengan tengkorak manusia sejarah itu harus dibangun? Antahlah buyuang! Akhirnya pemimpin negara Pancasila harus bekerja ekstra hati-hati membawa bangsa ini menuju masa depan agar daftar panjang penderitaan yang masih menghimpit sebagian rakyat kita tidak menjadi semakin panjang. Kita benar-benar memerlukan negarawan, bukan politisi yang rabun ayam.
Sumber: nuranikita.wordpress.com