Telaah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Ihya Ulumuddin
HIDAYATUNA.COM – Konsepsi “Amar ma’ruf nahi Munkar” merupakan pijakan dalam melakukan tindakan dan memiliki nilai otoritatif tersendiri bagi umat Islam. Ulama sepakat jika amar makruf nahi munkar harus dilakukan. Meskipun begitu mengenai tafsir dan penerapannya bagaimana, kalangan ulama berbeda beda dalam menyikapainya.
Posisi amar makruf nahi munkar dalam Alquran Surat Ali ‘Imran Ayat 104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Di antara ulama yang memiliki konsepsi mengenai amar makruf nahi munkar adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali atau lebih dikenal Imam al-Ghazali. Menurutnya, amar makruf nahi munkar merupakan kewajiban-kewajiban yang dilandaskan pada Alquran, hadis, logika, dankesepakatan para ulama semenjak masa sahabat.
Bahkan Imam al-Ghazali mengatakan jika kewajiban yang dilandaskan pada Alquran, hadis, logika, dan kesepakatan para ulama semenjak masa sahabat. Amar makruf nahi munkar merupakan pokok ajaran Islam yang agung, tugas pokok yang diemban oleh para nabi.
Jika kewajiban ini tidak dilakukan oleh para nabi, maka kenabian menjadi kehilangan nilai pentingnya sehingga ia tak lagi dibutuhkan. Hal ini sebagiamana dituliskan oleh Munirul Ikhwan dan Mohammad Yunus (2019) dalam buku “ULAMA DAN NEGARA-BANGSA: Membaca Masa Depan Islam Politik di Indonesia.”
Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Selain sebagai penegas, amar makruf nahi munkar sebagai pokok ajaran Islam, juga menyiratkan bahwa amar makruf nahi munkar fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain. Di mana tindakan untuk beramar makruf nahi munkar tidak menjadi wajib bagi semua orang (muslim) jika sudah ada satu golongan yang mengerjakannya, sudah menjadi penggugur kewajiban bagi yang lainnya.
Lebih lanjut mengenai konseptuaslisasi amar makruf nahi munkar, Imam al-Ghazali menjelaskannya secara sistematis dalam kitabnya Iḥyaʾ ʿUlum al-Din. Beliau menggunakan istilah hisbah atau sensor untuk menerangkan amar makruf nahi munkar.
Dalam menjelaskan konsepnya, Imam al-Ghazali mengharuskan terpenuhinya empat komponen dalam hisbah atau amar makruf tersebut. Pertama, pelaku ḥisbah yang disebut dengan muḥtasib. Kedua, orang yang menjadi obyek dari ḥisbah yang disebut dengan muḥtasab ‘alaih.
Ketiga, isu permasalahan yang menjadi obyek ḥisbah yang disebut dengan muḥtasab fih. Keempat, tindakan ḥisbah itu sendiri atau Ihtisab.
Imam al-Ghazali menyebutkan beberapa syarat dalam melakukan hisbah dalam hal ini yaitu dalam upaya mencegah kemungakaran. Syarat paling penting dan disoroti yaitu oleh beliau adalah Iman karena menyangkut kewajiban untuk membela agama.
Syarat-syarat Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Seseorang dapat melakukan amar makruf nahi munkar selama memenuhi beberapa syarat yaitu Muslim (iman), mukallaf (terikat dengan kewajiban agama). Kemudian mempunyai kemampuan, harus melakukan amar makruf nahi.
Syarat-syarat yang dijabarkan oleh Imam al-Ghazali ini jelas memberikan gambaran jelas kepada kita bahwa tidak sembarang orang bisa melaksanakan amar makruf nahi munkar. Tidak pula diperkenankan secara sembarangan melakukan amar makruf nahi munkar.
Sebagaimana pandangan beliau bahwa bahwa kemungkaran yang ditutup-tutupi oleh orang yang berbuat kemungkaran tidak boleh diberlakukan ḥisbah. Allah melarang untuk melakukan hal itu sebagimana disebut dalam QS. Al-Hujarat (49): 12 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Jika ada orang yang melakukan kemungkaran di dalam rumahnya, kemudian ia menutup pintu, hal itu tak boleh diberlakukan ḥisbah. Hal ini juga menegaskan bentuk kehati-hatian dalam beramar makruf nahi munkar.
Tidak hanya sebatas itu, Imam al-Ghazali juga memberikan rincian tingkatan bagaimana seharusnya ḥisbah atau amar makruf nahi munkar itu dilakukan. Misalnya dengan memberitahu tentang kemungkaran yang harus dijauhi dan kebajikan yang harus dilakukan. Kemudian memberi nasehat dengan lembut, memberi peringatan dengan keras. Selanjutnya dengan mencegah atau melarang dengan paksa dan terkahir menakut-nakuti dengan ancaman atau memberikan pukulan.
Sebagai orang yang beriman tentu menjadi keharusan bagi kita melakukan amar makruf nahi munkar. Akan tetapi harus juga memperhatikan caranya haruslah dengan baik-baik, tidak lantas berbuat keributan apalagi merugikan orang lain. Semoga artikel ini memberikan manfaat untuk menjalankan agama secara rahmah sekaligus juga menjadi pengingat untuk penulis. Wallahu a’lam.