Teknologi Berpikir Penting Dimiliki Perempuan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Banyak keputusan-keputusan besar yang diambil oleh perempuan tanpa ‘berpikir panjang’, yang akhirnya memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan mereka.
Misalnya kisah teman saya, sebut saja Dina. Pada saat itu, Dina berusia sekitar 18 atau 19 tahun, kesehariannya aktif sebagai santriwati di salah satu pondok pesantren salaf di Garut.
Pondok pesantren tersebut masih sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki yang tercermin dari konsep yang sering dipopulerkan di sana, yaitu ‘perempuan mengaji hanya sekedar menunggu jodoh’.
Akibatnya, banyak dari mereka yang masuk ke pondok pesantren tidak sampai setahun kemudian sudah keluar karena menikah.
Suatu hari, ada kang santri yang mendekati Dina, usianya sebaya. Jelang beberapa bulan mereka mantap memutuskan untuk menikah.
Saya agak kaget, karena usia mereka masih muda dan waktu perkenalannya terbilang belum cukup.
Apalagi, keduanya tinggal di pesantren, di mana akses untuk bertemu pun sulit, termasuk mengirim pesan, karena mereka tidak diperbolehkan membawa handphone dan melarang saling berkirim surat.
Masalah Menumpuk Karena Keputusan Tanpa ‘Mikir Panjang’.
Tibalah hari pernikahan, mereka terlihat bahagia. Jelang 1 tahun kemudian mereka dikaruniai buah hati, tapi bersamaan dengan itu masalah rumah tanggapun satu persantu muncul.
Pertama, masalah ekonomi. Sebelum menikah, keduanya belum bekerja dan belum memikirkan hal tersebut.
Namun, setelah memiliki seorang anak, mereka mulai merasa kebingungan menghadapi masalah ekonomi.
Meskipun akhirnya dikasih modal usaha oleh orang tua Dina, tapi upaya tersebut menjadi sia-sia karena sang ‘suami’ tidak bertanggung jawab, sedangkan istinya mesti mengurus sang anak.
Kedua, masalah tempat tinggal. Sang istri enggan tinggal di tempat suaminya yang terletak di daerah terpencil.
Sementara sang suami juga tidak bersedia tinggal di tempat sang istri karena tidak cocok dengan keluarga istri.
Pun demikian, mereka tidak mampu tinggal secara mandiri karena kondisi ekonomi mereka yang masih sulit.
Ketiga, kesulitan menyelesaikan konflik rumah tangga.
Setiap mereka bertengkar, tidak pernah menemukan titik pencerahan, karena secara kapasitas berpikir masih belum dewasa.
Akibatnya, konflik sering kali melibatkan kedua orang tua dan bahkan merembet hingga anggota keluarga lainnya.
Akhirnya, di usia pernikahannya yang masih seumur jagung, mereka dipaksa bercerai oleh orang tua Dina.
Karena orang tua Dina merasa sudah tidak bisa mempercayai anak dan cucunya pada laki-laki yang mereka anggap ‘tidak jelas’.
Dalam Keputusan, Kita Kadang Banyak ‘Gak Mikirnya’
Dina bukanlah satu-satunya perempuan yang memutuskan menikah tanpa mempertimbangkan banyak hal.
Tidak heran, karena sejak kecil, masyarakat sering kali menciptakan stigma yang menempatkan tujuan hidup seorang perempuan hanya pada satu hal, yaitu ‘menikah’.
Sehingga, ketika ada seseorang yang menunjukkan keseriusan, banyak perempuan cenderung menerima tawaran tersebut tanpa harus mikir panjang.
Padahal, menikah adalah ibadah paling lama, seumur hidup!
Tentunya memilih pasangan harus seselektif mungkin.
Selain itu kesepakatan-kesepakatan besar, seperti ekonomi, tempat tinggal, pembagian kerja dan lain sebagainya harus dibicarakan sebelum menikah, agar tidak menjadi konflik besar kedepannya.
Saya sepakat dengan istilah “cara bertindak seseorang dipengaruhi oleh cara berpikir seseorang.”
Terdapat istilah yang dikenal dengan ‘berpikir autopilot atau berpikir otomatis’, di mana otak sering kali memproses informasi atau situasi secara otomatis atau tidak sadar (irasional).
Dengan kata lain, terkadang kita sampai pada suatu kesimpulan, keyakinan, atau sikap tanpa menyadari proses berpikir yang kita lakukan secara jelas dan sadar serta tanpa melihat dasar penalarannya.
Cania Citta, dalam sebuah video yang diunggah di kanal YouTube-nya, mengungkapkan bahwa berpikir otomatis ini memiliki risiko yang sangat berbahaya, karena seringkali menghasilkan pilihan, keputusan dan kesimpulang yang kurang tepat.
Apalagi situasi perempuan yang khas, di mana sering kali dihadapkan pada stigma, mitos, dan aturan patriarki yang cenderung bersifat irasional.
Berpikir rasional dan ilmiah adalah kunci! Kemampuan berpikir ini harus dimiliki oleh perempuan agar mereka bisa menghasilkan kesimpulan yang benar atas informasi, tindakan yang tepat dan keputusan yang cerdas.
Berpikir Rasional
Berpikir rasional artinya berpikir secara sadar, di mana kita memberikan ‘pause’ dulu ketika dihadapkan pada situasi atau kumpulan informasi sebelum loncat ke kesimpulan atau keputusan.
Sederhananya, kita memiliki jawaban yang jelas atas ‘why’dalam setiap keputusan kita.
Dengan demikian, kita dapat mengambil keputusan yang lebih baik dan tepat.
Misalnya, ketika seseorang memutuskan untuk menikah, mereka harus memiliki alasan yang jelas mengapa mereka memilih pasangan tersebut dan mengapa mereka mantap untuk menikah.
Berpikir Ilmiah
Dalam proses berpikir rasional, informasi tentang realitas sangatlah penting.
Nah, berpikir ilmiah bicara tentang bagaimana kita mendapatkan informasi yang benar dengan menilai dan mencari kebenaran informasi tentang realitas, fakta lapangan di sekitar kita dengan mengacu pada bukti.
Misalnya, ada pendapat bahwa ‘perlakuan kasar suami terhadap istri dilakukan karena istri tidak benar.’
Sebelum sampai pada kesimpulan ‘sepakat’, kita harus melalui proses berpikir dulu.
Apa yang menjadi dasar dari pernyataan tersebut? Apa data yang mendukungnya?
Bagaimana ukuran yang digunakan untuk menentukan apakah istri benar atau tidak? Dan definisi apa yang digunakan untuk kekerasan dalam rumah tangga?.
Berikut adalah tahapan dalam proses berpikir ilmiah:
- Menetapkan tesis, merupakan sebuah pernyataan yang memerlukan penjelasan lebih lanjut untuk dinilai kebenarannya, contohnya: “Perlakuan kasar suami terhadap istri terjadi karena istri dianggap tidak baik.”
- Menetapkan definisi atau indikator, seperti mengidentifikasi tanda-tanda istri yang dianggap tidak baik atau indikator tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
- Menyajikan bukti dan kesimpulan berdasarkan data yang relevan dan analisis yang cermat untuk mendukung tesis yang telah ditetapkan.
Jadi intinya dengan berpikir ilmiah, kita membiasakan diri untuk mengecek dulu bukti-buktinya supaya kita terhindar dari penipuan, misinformasi, atau klaim-klaim salah dan kemudian kita membuat keputusan yang kurang tepat.
Karena selama ini perempuan banyak terkungkung oleh mitos, stigma, dan aturan patriarki yang cenderung irasional, maka kemampuan berpikir rasional dan ilmiah menjadi sangat penting bagi mereka.
Hal ini bertujuan agar perempuan tidak mudah terpengaruh oleh informasi palsu, dapat bertindak dengan tepat, dan mengambil keputusan yang cerdas. []