Tarbiyah Ruhiyyah Melalui Puasa Ruh, Akal, dan Jiwa
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Tidak terasa kita sudah memasuki bulan suci Ramadhan 1445 H. Semua umat Islam di seluruh dunia serentak melaksanakan rukun Islam ke-4 selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan meski tidak bersamaan awal dan akhiranya.
Puasa sendiri dalam literatur-literatur (kitab-kitab) fikih, dimaknai dengan al-imsak (menahan).
Artinya, menahan dari sesuatu yang membatalkan puasa. Namun harusnya, puasa tidak hanya diniatkan al-imsak saja, akan tetapi juga harus diniatkan mengedukasi ruh, akal dan jiwa agar menghasilkan puasa-puasa yang berkualitas.
Dari sini kemudian muncul istilah puasa dalam arti menjalankan perintah agama dan puasa sebagai pendidikan ruhani.
Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah dijelaskan bahwa sesungguhnya puasa dibagi menjadi tiga, yaitu puasa ruh, puasa akal dan puasa jiwa (nafsu).
الصَوْمُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ: صَوْمُ الرُّوْحِ بِقَصْرِ الْأَمَلِ، وَصَوْمُ الْعَقْلِ بِخِلَافِ الْهَوَى، وَصَوْمُ النَّفْسِ بِالإِمْسَاكِ عَنِ الطَّعَامِ وَالْمَحَارِمِ
Artinya:
“Puasa dibagi menjadi tiga, yaitu puasa ruh dengan memendekkan angan-angan, puasa akal dengan meninggalkan kesenangan-kesenangan dan puasa jiwa (nafsu) dengan cara meninggalkan makan dan perkara-perkara haram.”
Puasa Ruh
Salah satu tujuan puasa ruhani adalah mengedukasi ruh (nyawa) yang terombang-ambing oleh godaan dunia. Salah satu caranya adalah dengan memendekkan angan-angan (qashru al-amal).
Memendekkan angan-angan di sini maksudnya adalah tidak over dalam berharap terhadap sesuatu yang tidak ada batasnya.
Karena orang yang memiliki angan-angan yang berlebihan (thulul amal) justru akan terjangkit penyakit yang mematikan yaitu hubb al-dunya (cinta kepada dunia).
Imam al-Ghazali dalam Minhaj al-Abidin menjelaskan bahwa orang yang memiliki panjang angan-angan agar terjebak pada empat hal.
Pertama, thul al-amal akan menyebabkan seseorang malas untuk melakukan kebaikan dan ibadah, yang pada akhirnya kebaikan-kebaikan atau ibadah-ibadah itu akan ia tinggalkan.
Kedua, thul al-amal akan menyebabkan seseorang suka menunda-nunda taubat, karena ia merasa umurnya masih panjang dan ajal (kematiannya) masih sangat lama.
Ketiga, thul al-amal akan menyebabkan orientasi kehidupan seseorang hanya ingin mengumpulkan dunia sebanyak-banyaknya, sementara ia lupa bahwa kehidupan yang haqiqi adalah kehidupan akhirat.
Keempat, thul al-amal akan menyebabkan seseorang memiliki hati yang keras dan watak yang rakus, karena yang ada di dalam memorinya hanya mengejar angan-angan yang tidak pernah ada habisnya.
Puasa Akal
Salah satu cara mengedukasi akal adalah dengan meninggalkan kesenangan-kesenangan (khilaf al-hawa).
Dengan begitu, akal akan berfungsi secara proporsional, sehingga ia bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang haq dengan yang bathil.
Ada dua strategi yang dapat dilakukan untuk mengontrol hawa nafsu sebagaimana tertulis dalam kitab al-Minah al-Saniyyah.
Pertama, dengan mengurangi tidur. Mengurangi tidur yang dimaksud adalah mengurangi porsi tidur dengan cara bangun malam (qiyam al-lail), memperbanyak ibadah dan dzikir dan kegiatan-kegiatan positif lainnya.
Rasulullah Saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ ، وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ (رواه الترمذي)
Artinya:
“Bangunlah kalian untuk salat malam, karena salat malam adalah kebiasan orang-orang salih sebelum kalian. Salat malam dapat mendekatkan kepada Tuhan kalian, menghapus kesalahan-kesalahan dan menjauhkan dari dosa-dosa.” (HR. Al-Turmudzi)
Kedua, dengan puasa. Puasa diibartkan seperti alat pemadam, nafsu (kesenangan-kesenangan) kayu bakarnya sedangkan makanan adalah bahan bakarnya.
Api yang membakar kayu akan semakin besar, jika bahan bakarnya disuplay terus menerus.
Untuk memadamkan api tersebut, dibutuhkan strategi yaitu dengan cara mengurangi bahan bakar tersebut atau menghabiskannya dengan berpuasa.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Mu’dz al-Razi:
اَلشَّبُعُ نَارٌ وَالشَّهْوَةُ مِثْلُ الْحَطَبِ يَتَوَلَّدُ مِنْهَ الإِحْرَاقُ وَلاَ تَنْطَفِئُ نَارُهُ حَتَّى تًحْرِقُ صَاحِبَهَا
Artinya:
“Kenyang adalah api, sedangkan syahwat (kesenangan-kesenangan) diperumpamakan seperti kayu bakar kering yang darinya akan muncul kebakaran. Api tersebut tidak dapat dipadamkan hingga membakar orangnya.”
Puasa Jiwa (Nafsu)
Puasa jiwa (nafsu) artinya adalah memerangi nafsu dengan cara mengurangi makan atau meninggalkan perkara-perkara haram.
Mengurangi makan dan meninggalkan perkara-perkara haram dapat meningkatkan spiritualitas sekaligus menjadikan pikiran jernih serta dapat menjadi controling system terhadap hawa nafsu yang diperumpamakan seperti hewan buas yang beringas dan ganas.
Maka, untuk menjinakkannya perlu menjadikan hewan itu kelaparan atau bahkan mematikannya.
Meski begitu, melawan hawa nafsu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Karena sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad, bahwa nafsu adalah musuh yang paling berat dan sulit ditaklukkan. Beliau mengistilahkannya dengan jihad al-nafsi (perang melawan nafsu) atau jihad akbar.
Menurut Ibn al-Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makiyyah bahwa sulitnya menjinakkan nafsu terkait dengan karakter dan watak nafsu ketika pertama kali ia diciptakan Allah.
Allah bertanya kepadanya, “Tahukah kamu siapa Aku?”
Nafsu tidak langsung menjawab, justru ia malah balik bertanya, “Dan siapa aku?”
Allah murka lalu nafsu dihukum dengan rasa lapar dan haus selama seribu tahun.
Setelah selesai menjalani hukuman, nafsu baru menyadari kelemahannya, lalu ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, baru ia menjwab, “Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu”.
Walhasil, tujuan berpuasa adalah mensucikan diri dari dosa, sekaligus membersihkan ruhani dari godaan-godaan dunia dan penyakit-penyakit hati seperti sombong, hasud, iri, adu domba, ghibah dan lain-lain.
Inilah puasa yang sesungguhnya, yang kemudian disebut dengan pendidikan ruhani (tarbiyyah ruhaniyyah). []