Taqlidul A’ma, Pemicu Rusaknya Agama dan Bangsa
HIDAYATUNA.COM – Hancurnya bangsa dan lunturnya agama tidak hanya dipicu oleh rusaknya peradaban wanita yang kerap dikonotasikan terhadap rusaknya suatu bangsa. Akan tetapi didasari juga oleh kebodohon akar pengetahuan.
Ibnu Taimiyah sang reformer pemikir Islam menyatakan dalam kitabnya al-Hasanah wa Sayyiah bahwa sumber kerusakan salah satunya adalah kebodohan. Pernyataan ini secara implisit mengindikasikan bahwa kebodohan dari pengetahuan menumbuh suburkan taklid (meniru).
Sikap taklid (meniru) gaya hidup orang lain merupakan imitasi yang pasti terjadi dalam sebuah kehidupan. Namun sikap taklid tidak boleh sekadar meniru dan ikut-ikutan tentang suatu hal tanpa menelisik akar pengetahuannya.
Istilahnya, Taqlidul A’ma (taklid Buta) yaitu sikap meniru sesuatu dengan buta atau meniru tanpa mengetahui dasar hukum yang jelas mengenai suatu permasalahan. Sikap inilah yang menjadi dasar akan rusaknya sebuah agama dan bangsa.
Sikap tersebut kerap melekat dalam kepribadian seseorang karena hakikat sifat manusia yang cenderung suka meniru pilihan dan perilaku orang. Maka tak heran jika sikap ini berujung pada fanatisme. Sikap yang menunjukkan kepercayaan terhadap sesuatu secara berlebihan dan akan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya.
Hati-hati, Fanatisme Bisa Merusak
Seorang fanatisme tidak akan mengubah pola pikir dan haluannya karena dalam pola pikirnya telah terkontaminasi oleh standar ketat. Dengan begitu, kaum fanatisme cenderung tidak mendengarkan atau mentolerir ide dan opini orang karena dianggapnya bertentangan serta menganggap keyakinan merekalah yang paling benar.
Tidak mengherankan jika berbagai polemik isu dan fenomena akan tindakan fanatisme yang didasari oleh taklid buta (taqlidul A’ma) kerap menelanjangi mata dan telinga. Dua sikap ini masih dianggap normal oleh segelintir orang padahal sikap ini merupakan tindakan abnormal.
Sejatinya, perkembangan zaman setidaknya telah mengubah segala peradaban segala sisi dari budaya, ilmu pengetahuan dan agama. Namun dalam realitasnya, umat Islam masih belum mampu menangkap dan mengimplementasikan pesan dari pada perubahan tersebut.
Betapa banyak golongan menjadi fanatik terhadap suatu paham, tatkala mereka hanya sekedar meniru dan mengikuti apa yang dianggapnya baik sesuai penilaian mereka. Tanpa menelisik kembali sumber hukum yang sebenarnya dapat menjadi cakram untuk hal-hal yang bekonotasi negatif.
Ironisnya, mereka dengan gampang melakukan tindakan abnormal yaitu mengklaim atau menjustifikasi sepihak secara langsung. Hal itu dilakukan dengan dalih, bahwa apa yang telah dilakukan merupakan tindakan sesat dan menyimpang dari norma-norma agama dan ideologi bangsa. Lantaran hal tersebut tidak sepaham dan searah dengan pemikirannya.
Mengembalikan Sikap Toleran sebagai Jati Diri Bangsa
Sikap fanatisme juga dilatar belakangi oleh dalih “Imamku-lah yang paling benar dan lebih pintar dari pada imammu”. Hal ini dapat menghilangkan citra Islam yang merupakan Rahmatan Lil’alamin dan malah berubah menjadi Laknatan Lil’alamin.
Berbagai isu fenomena yang telah terjadi terkait mengkafirkan, mencaci, dan menyalahkan satu sama lain banyak kita saksikan dan kita dengar. Rasa-rasanya mata dan telinga ini tidak dapat lagi menampung kembali fenomena terkait.
Fenomena yang tak ujung selesai, seperti wabah yang tak ada penangkalnya. Lucunya, hal yang sangat menyayat hati adalah, mereka yang satu paham (mahzab) saling mengkafirkan dan menyalahkan hanya gara-gara berbeda sudut pandang. Tak heran jika pertumpahan darah banyak terjadi hingga booming di ruang siber.
Bagaimana tidak akan berpecah belah agama dan bangsa ini, nyaris tak mungkin alias mustahil kita menyatukan jika realitasnya tidak ada toleransi antar-sesama. Sementara, keragaman klaim kebenaran dan pandangan masih terkontruksi dalam pikirannya.
Ideologi bangsa yang katanya negara kesatuan, luntur seketika. Urgensi agama yang katanya penuh dengan kerahmatan dan perdamaian, nyaris tak berdaya. Bukankah Sang Penguasa sudah melarang untuk tidak taklid buta dan berlebihan pada sesuatu karena esensinya akan memicu propaganda konflik sehingga menimbulkan gesekan sosial?
Perintah Allah untuk Menjaga Kerukunan
Allah SWT. berfirman dalam Alquran:
قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ غَيْرَ ٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوٓا۟ أَهْوَآءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا۟ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا۟ كَثِيرًا وَضَلُّوا۟ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ
Qul yā ahlal-kitābi lā taglụ fī dīnikum gairal-ḥaqqi wa lā tattabi’ū ahwā`a qaumin qad ḍallụ min qablu wa aḍallụ kaṡīraw wa ḍallụ ‘an sawā`is-sabīl
Katakanlah: “wahai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulunya dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus“. (QS. Al Maidah :77)
Autentiknya, apa yang menjadi pilihan belum tentu baik dan benar untuknya, bisa jadi hal tersebut dapat menyesatkan dan mencelakainya. Hal ini searah dengan pernyataan yang terdapat di dalam kitab Alqira’atur Rasyidah karya Abdul Fatah Shabri beek dan Umar Ali Beek :
اعلم أن ما يصلح لشخص لا يجب أن يصلح لغيره وأن التقليد بغير هدى ضلال وسفاهة وكم مثلك من بني آدم يقلدون فيما يضرهم وهم لايفقهون
Artinya: “Ketahuilah apa yang baik untuk seseorang belum tentu baik untuk yang lainnya dan taqlid (meniru) tanpa adanya petunjuk adalah suatu kesesatan dan kebodohan. Sudah berapa banyak manusia berbuat seperti dirimu, meniru sesuatu yang membahayakan diri mereka, sedangkan mereka itu tidak memahaminya”.
Dengan demikian, kerukunan hidup beragama dan berbangsa sangat penting untuk disokong serta diwujudkan. Tentu dengan berlandaskan bahwa meski tedapat perbedaan antar agama, budaya maupun cara pandang yang berbeda, setiap orang mempunyai kebebasan untuk menciptakan kesejahteraan bagi sesama.
Bertolerir merupakan jalan utama untuk mencegah datangnya Taqlidul A’ma. Wallahu A’lam bi al-Shawab.