Tantangan Pesantren: Merawat Keseimbangan Pendidikan Pesantren di Era 5.0
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Tantangan pondok pesantren di era disrupsi semakin besar. Untuk itu, pesantren harus terus berupaya merawat dan menjaga keseimbangan di tengah gempuran kecanggihan teknologi.
Menjawab tantangan pendidikan pesantren di era disrupsi, dai dan ulama, Bachtiar Nasir, mengajak para pendidik mengambil peran penting menuntaskan kegagapan teknologi santri.
Pendakwah nasional ini juga menyampaikan cara menjaga keseimbangan dan merawat pesantren di tengah perubahan yang tidak bisa terelakkan.
Hal itu ia sampaikan dalam kesempatan seminar pendidikan melalui zoom meeting di Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Boarding School (PPM MBS), Kamis (19/1/2023).
Ustaz Bachtiar mengatakan, pesantren harus memiliki karakter malaikat dan sikap kritis yang kuat.
Dijelaskannya, sikap malaikat ini perlu ditanamkan pada santri agar menjauhi maksiat dari perintah Allah dan fokus menjaga keseimbangan pendidikan yakni antara pendidikan agama dan umum.
“Era 4.0 ini belum juga kita kuasai, namun kita sudah dipaksa masuk ke era 5.0. Menariknya adalah kita masih gagap apa itu big data, dan lain-lain,” kata Ustaz Bachtiar dalam rangka memperingati milad PPM MBS Yogyakarta.
Santri, lanjut Bachtiar Nasir, seringnya tertinggal dalam hal pengetahuan teknologi. Inilah tugas para pendidik di era ini dalam menjaga keseimbangan pendidikan pesantren.
“Anak dilarang membawa HP di pesantren adalah kebijakan yang baik. Namun anak akan gagap dengan teknologi saat keluar pesantren. Ini karena ketidakseimbangan antara pendidikan di pesantren dengan yang ada di luar,” papar Bachtiar Nasir.
Bachtiar juga mengungkapkan bahwa godaan santri dalam menghadapi tantangan disrupsi begitu kuat.
Jika penanaman di pesantrennya tidak diimbangi dengan apa yang terjadi di luar, maka yang terjadi seperti sekarang, ketertinggalan teknologi.
Dai dan ulama yang banyak mengkaji ilmu Alquran ini mengajak guru pondok pesantren, untuk menguatkan dalam jiwa anak sifat-sifat Allah.
Menjadikan ilmunya sebagai jalan untuk menemukan Tuhannya sehingga dia yakin kepada Tuhannya.
“Keyakinan yang dilihat dari sifat-sifat asma Allah, yang membawanya menemukan Tuhannya. Inilah yang membedakan pesantren dengan pendidikan lainnya,” ujar Bachtiar Nasir.
Sejalan dengan itu, ia menyodorkan solusi untuk para guru pondok pesantren dapat mengajarkan mata pelajaran yang paling penting diajarkan kepada anak pada level keyakinan.
Menurut Bachtiar, Asma Allah adalah mata pelajaran paling dekat dengan keyakinan.
“Memperkenalkan kepada anak-anak kita kepada tauhid rububiyah (keyakinan mengesakan Allah) sebelum meloncat ke tauhid uluhiyah,” tuturnya.
Memahamkan nilai-nilai rububiyah dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, adalah kelemahan pesantren.
Oleh karena itulah, santri perlu dipacu untuk mengenal tauhid rububiyah dalam menyeimbangkan pengetahuannya atas kecanggihan teknologi saat ini.
Ustaz Bachtiar juga mengingatkan untuk para guru di pondok pesantren agar menanamkan kegemaran zikir dan pikir kepada santri.
Bukan sebatas berzikir dengan tasbih, tetapi di dalam hati mereka. Dikatakannya, zikir dan pikir akan melahirkan keseimbangan alam.
“Karakter-karakter disrupsi yang terjadi dan dekat dengan anak kita sekarang harus kita pelajari, seperti Internet of Things, big data, dan sebagainya. Membekali anak-anak yang berakidah dan amal salih yang kuat agar menjadi pejuang yang menyelamatkan akidah dari disrupsi,” jelasnya.
Menurut Ustaz Bachtiar, hal tersebut sejalan dengan arah tujuan pendidikan nasional, yakni mampu melahirkan manusia-manusia bertaqwa.
Bachtiar Nasir yakin, tantangan pesantren dalam menjaga dan merawat keseimbangan di era 4.0 ini akan berhasil jika diikuti dengan penerapan nilai-nilai rububiyah. []