Taliban, Tesis Ketertinggalan, dan Kekosongan Konsep Kekuasaan Islam
HIDAYATUNA.COM – Setelah 20 tahun tersingkir dari pusaran kekuasaan, Taliban akhirnya kembali berkuasa di Afghanistan. Keberhasilan tersebut disambut beragam oleh berbagai pihak. Ada yang menyambut antusias, ada pula yang skeptis.
Mereka yang antusias umumnya percaya kalau Taliban akan membawa perubahan ke arah lebih baik di tanah yang menjadi kuburan banyak kerajaan itu. Apalagi dalam pernyaatan publik pertamanya, Taliban berjanji akan memerintah dengan menghadirkan wajah yang lebih lunak dari periode sebelumnya; dalam rupa menghormati hak-hak perempuan, memaafkan mereka yang berselisih dengan Taliban, dan memastikan Afganistan tidak menjadi surga bagi para teroris.
Sedangkan mereka yang skeptis sebagian besar menganggap janji-janji yang dilontarkan Taliban hanya sebatas lip service semata untuk menarik simpati dunia. Janji-janji ini dinilai sulit diwujudkan mengingat posisi ideologis Taliban yang memang susah untuk membuat mereka menepati janji mereka.
Janji untuk menghormati hak-hak perempuan misalnya. Sulit kiranya Taliban akan melakukan itu ketika perspektif ideologis mereka yang secara jelas menempatkan perempuan sebagai kelas inferior dalam struktur sosial.
Peristiwa penembakan Malala Yousafzai saat hendak pulang sekolah 2012 lalu adalah contoh bagaimana cara Taliban memperlakukan perempuan. Dari situ, sulit untuk percaya bahwa mereka akan menghormati hak-hak perempuan, di saat fakta ideologis mereka yang justru malah berkebalikan dari yang diucapkan.
***
Keraguan pada janji-janji yang Taliban ungkapkan pada nyatanya memang terbukti. Dalam wawancara dengan TOLO News baru-baru ini, juru bicara Taliban Syed Zekrullah Hashmi mengatakan bahwa perempuan Afghanistan tidak bisa ikut dalam pemerintahan.
Menurut Syed, tugas perempuan adalah melahirkan dan membesarkan anak. Ia menilai perempuan tidak perlu ikut kabinet pemerintahan Afghanistan.
Pernyataan tersebut menunjukan bagaimana Taliban ingkar atas janjinya sendiri soal hak-hak perempuan. Padahal ketika pertama kali mengambil alih kekuasaan, mereka justru gembor-gembor tidak akan membatasi peran perempuan.
Seiring berjalan waktu, Taliban kembali kepada wajah aslinya. Wajar kemudian jika banyak pihak makin ragu Taliban dapat membawa perbaikan di Afghanistan.
Taliban dan Tesis Ketertinggalan
Keraguan yang muncul ketika Taliban berkuasa, secara konseptual dapat dilihat pula menggunakan tesis ketertinggalan Islam milik Ahmed T. Kuru yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Bila memakai tesis ini, sikap skeptis kepada Taliban menjadi sesuatu yang niscaya secara teoritik.
Sebagaimana diketahui, Kuru melalui bukunya, Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (2021), menyebut bahwa aliansi antara ulama konservatif dengan penguasa dalam sejarah Islam adalah salah satu faktor kunci mengapa peradaban Islam tertinggal dari peradaban barat. Tertinggal di sini terlihat dari banyak aspek, seperti pendidikan, kebudayaan, teknologi, politik, militer, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan banyak bidang lain.
Sebagian besar negara yang mayoritas penduduknya muslim tertinggal dalam banyak bidang tersebut dengan negara-negara barat. Pada ranah ilmu pengetahuan misalnya, kita bisa lihat dari peraih Nobel.
Dari 881 orang yang pernah mendapat Nobel, hanya 12 orang yang muslim atau 1.4% dari keseluruhan peraih Nobel. Data ini menunjukan bagaimana ketertinggalan umat Islam di bidang ilmu pengetahuan.
Padahal dulu, umat Islam bisa menghasilkan ilmuwan top macam Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, dan berbagai ilmuan lain. Tapi kini, jangankan menghasilkan peraih Nobel, negeri-negeri Islam malah lebih sibuk berperang satu sama lain atas nama agama daripada sibuk mengembangkan pengetahuan yang berguna untuk kehidupan.
Itulah contoh bagaimana peradaban Islam kini tertinggal dengan peradaban barat. Kuru, dalam bukunya menganalisis bahwa faktor utama kemunduran dan ketertinggalan Islam hari ini, disebabkan karena faktor adanya persekutuan antara ulama dan penguasa yang dominan dalam gerak sejarah peradaban Islam.
***
Akibat persekutuan tersebut, kelas pedagang dan kelas intelektual yang notabennya menjadi tulang punggung peradaban menjadi terpinggirkan. Terpinggirkannya dua kelas ini berdampak pada mandeknya peradaban Islam dalam menyumbang dan menghasilkan karya-karya yang penting untuk kehidupan umat manusia.
Kuru mencatat, bahwa pada abad 8-11 masehi, peradaban Islam sedang mengalami puncak kejayaan karena berhasil melahirkan banyak ilmuwan dan karya-karya penting. Keberadaan ilmuwan beserta karya-karya itu jelas berguna sekali bagi perkembangan dunia.
Tapi pada abad 11, ketika persekutuan ulama dan penguasa terbentuk, kemajuan itu perlahan-lahan luntur. Kelas pedagang terpinggirkan yang efeknya membuat kelas intelekual pun terpinggirkan.
Dalam struktur sosial, yang dominan adalah kelas ulama dan penguasa. Dominannya dua kelas ini membuat peradaban Islam sedikit demi sedikit mengalami kemunduran.
Sebagai gantinya, barat yang sebelumnya tertinggal, lalu berhasil bangkit dan menyalip peradaban Islam sampai sekarang. Dampak dari telikungan sejarah tersebut, dirasakan oleh umat Islam di seluruh dunia hingga saat ini.
Dari kacamata tesis ketertinggalan, Taliban adalah contoh nyata dari persekutuan antara ulama konservatif dan penguasa dalam peradaban Islam modern. Aliansi semacam ini hanya akan membuat peradaban Islam di Afghanistan semakin tertinggal dengan peradaban lain.
Kasus pembatasan peran politik perempuan dalam pemerintahan dapat menjadi indikator hal tersebut. Afghanistan dan seluruh negeri muslim lain bukanlah membutuhkan kekuasaan politik semata, melainkan butuh kehidupan yang adil, demokratis, dan berperikemanusiaan. Kalau hal-hal demikian diwujudkan, Afghanistan akan bisa keluar dari masalah dan bisa mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
Tesis Ketertinggalan dan Kekosongan Konsep Kekuasaan Islam
Tesis ketertinggalan menjadi tesis yang masih diperbincangkan hingga saat ini. Tesis tersebut bagi sebagian kalangan dianggap menjawab kebuntuan yang selama ini umat Islam alami terkait mengapa peradaban Islam yang dulu jaya kini justru terpuruk dibanding peradaban lain.
Satu sisi hal tersebut memang tepat. Namun di sisi lain, tesis ini sebenarnya belum menjawab pertanyaan fundamental yang justru menjadi asumsi tesis itu sendiri.
Kalau aliansi antara ulama dan penguasa menjadi sebab kemunduran, pertanyaannya mengapa hal itu dapat terjadi? Mengapa sebelum abad 11 aliansi antara ulama dan penguasa tidak terbentuk?
Mengapa aliansi ini baru terbentuk justru beberapa abad setelah Islam lahir? Tesis ketertinggalan Ahmed Kuru tidak menjawab hal ini. Padahal jawaban atas pertanyaan tersebut bisa menjadi penguat tesis mengapa peradaban Islam mundur.
Jawaban atas pertanyaan di atas haruslah dicari dari pemikir lain yang memang fokus pada urusan itu. Salah satu tokoh yang cukup terkenal bicara dalam urusan sejarah kekuasaan Islam adalah Farag Fuoda.
Pemikir Mesir ini menulis satu buku berjudul Kebenaran yang Hilang (2008). Dalam buku ini, ia mengulas sejarah kelam praktik kekuasaan dalam peradaban Islam.
Pada buku tersebut, Fuoda menyebut bahwa Islam tidak memiliki konsep yang jelas mengenai bagaimana kekuasaan dibentuk, dijalankan, dan dikontrol. Islam tidak memiliki konsep yang jelas tentang bagaimana kekuasaan dikelola.
Apakah melalui demokrasi, kerajaan, atau republik, Islam tidak memberikan gambarannya. Islam memberikan rambu-rambu saat kekuasaan tersebut dijalankan, seperti kekuasaan harus adil, harus setara, menghargai harkat kemanusiaan, atau kekuasaan harus maslahat. Islam tidak bicara mengenai bagaimana rambu-rambu tersebut dijalankan.
***
Saat Khalifah diangkat misalnya, mekanisme pengangkatan khalifah dalam sejarah Islam memiliki model yang berbeda-beda. Ada yang ditunjuk atas dasar kemampuan secara sepihak oleh khalifah sebelumnya.
Ada pula yang ditunjuk berdasar ikatan kekerabatan, ada yang melalui musyawarah kecil dari orang-orang terpilih, ada pula yang dibai’at. Perbedaan model pengangkatan menunjukan kalau Islam tidak memberi bentuk kongkrit bagaimana proses itu diwujudkan.
Ketiadaan konsep inilah sebenarnya yang menjadi jawaban mengapa aliansi antara ulama dan penguasa bisa terjadi di abad 11 dalam sejarah peradaban Islam. Aliansi tersebut terbentuk karena memang Islam tidak mempunyai bentuk baku bagaimana negara dikelola.
Hal itu yang menjawab mengapa sebelum abad 11, Islam mengalami kemajuan saat aliansi itu belum terbentuk. Semuanya terjadi karena ada konsep politik yang kosong dalam tubuh Islam.
Kekosongan itu pula-lah yang membuat peradaban Islam di Jazirah Arab sejak era pemerintahan empat sahabat hingga era negara bangsa seperti sekarang. Selalu berkutat pada urusan politik yang tidak berujung.
Akar persoalannya karena memang tidak ada konsepsi utuh tentang bagaimana kekuasaan dikelola oleh umat Islam. Taliban adalah satu dari sekian wujud konflik politik tersebut.
Kalau saja Islam memberi bentuk baku bagaimana kekuasaan dijalankan, mungkin pergolakan politik di banyak negeri Islam bisa dihindari. Umat Islam pun bisa membalikan arus peradaban dunia dengan islam sebagai poros utamanya.