Tahqiq Persamaan dan Perbedaan Ungkapan Tentang Allah

Sifat Pengampun Allah Termasuk Sifat Wajib atau Sifat Jaiz?
HIDAYATUNA.COM – Secara hakikat, Allah wujud di luar realitas yang kita pahami sehingga tidak terjangkau secara fisik dan juga tidak bisa dibayangkan sama sekali oleh akal. Kondisi wujud yang sangat misterius ini diungkapkan dengan berbagai redaksi yang berbeda oleh Ahlussunnah tetapi merujuk pada makna yang sama, seperti:
- Allah wujud tanpa tempat (dengan maksud bahwa tempat adalah realitas yang khusus menampung makhluk)
- Allah di atas Arasy (dengan maksud bahwa arasy adalah batas tempat dan batas pengetahuan manusia)
- Allah di langit (dengan maksud bahwa langit adalah sesuatu yang misterius yang tidak dipahami manusia)
- Allah terpisah/berbeda dari makhluk (dengan maksud bahwa Allah di luar realitas makhluk dan tidak menyatu dengan semesta makhluk)
Orang Kapitayan menyebut kondisi tersebut dengan istilah “tan kena kinaya ngapa”. Orang Hindu menyebutnya dengan istilah “Acintya”. Apapun ungkapan yang dipakai, selama maksudnya sama seperti makna hakikat di atas, maka itu adalah akidah yang benar menurut Ahlussunnah Wal Jamaah.
Adapun bila diyakini bahwa secara hakikat Allah itu berupa fisik yang besar yang duduk menempel di atasnya makhluk bernama Arasy (pendapat sebagian Karramiyah), atau mengambang di arah sebelah atasnya Arasy (juga pendapat sebagian Karramiyah), tidak punya batasan fisik ke segala arah kecuali arah bawah (pendapat Abu Ya’la al-Hanbali), menempati Arasy kecuali empat jengkal (pendapat Utsman ad-Darimi), menempati seluruh bagian Arasy tanpa sisa sejengkal pun (pendapat Ibnu Taymiyah), dan khayalan serba fisikal lainnya, maka ini bukan pendapat Ahlussunnah tetapi pendapat Mujassimah.
Ungkapan apa pun yang digunakan oleh mujassim untuk merujuk pada makna hakikat yang mereka yakini itu adalah ungkapan yang salah. Baik itu ungkapan yang mereka karang sendiri seperti di atas atau ungkapan yang meniru istilah Ahlussunnah, seperti:
- Allah di atas Arasy
- Allah di langit
- Allah terpisah dari makhluk
dan sebagainya adalah ungkapan yang salah bila maksudnya seperti hakikat ala mujassimah seperti di atas. Bahkan ungkapan umum seperti “Allah wujud” atau “Allah punya dzat” pun menjadi salah bila yang dimaksud adalah wujud jismiy atau dzat jismiyah.
Jadi, yang diperhitungkan dalam akidah bukan ungkapan atau istilahnya tetapi maksud yang ada dalam hati. Akidah adalah tentang isi hati, bukan tentang suara mulut atau tulisan jari.
Satu ungkapan yang sama bisa berarti benar bila yang mengatakan adalah ahlut tanzih (orang yang menyucikan Allah) dan bisa berarti salah bila yang mengucapkan adalah ahlut tajsim (orang yang menjisimkan Allah). Sama seperti ungkapan “saya suka anak kecil” adalah ungkapan positif bila yang mengucapkan adalah orang waras tetapi menjadi ungkapan negatif yang membuat kita marah ketika yang mengucapkan adalah seorang pedofil. Bila anda memahami ini, maka anda akan memahami titik temu dan titik pisah antara ahlussunnah wal jamaah dan para Taymiyun (wahabi) di era ini.