Tahapan Kewajiban Puasa di Bulan Ramadan
HIDAYATUNA.COM – Sebagaimana salat, puasa juga diwajibkan melalui beberapa tahapan. Tahapan kewajiban puasa di bulan Ramadan, adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.
Allah tidak mewajibkan puasa di bulan Ramadan sekaligus (jumlatan wahidah). Lantaran mempertimbangkan maslahat dan kesiapan manusia sebagai objek khitab.
Kewajiban puasa Ramadan mulai disyari’atkan lima tahun setelah Allah mewajibkan salat kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya. Tepatnya pada tahun kedua Hijriyah, bersamaan dengan perintah berjihad.
Pasca diwajibkannya puasa, Nabi Muhammad Saw. membersamai sahabat-sahabatnya selama sembilan kali puasa di bulan Ramadan. Delapan kali, beliau berpuasa selama dua puluh sembilan hari, dan sekali beliau berpuasa selama tiga puluh hari.
Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya Taisir al-Fiqh fi Dhau’ al-Qur’an wa al-Sunnah menjelaskan tahapan-tahapan kewajiban puasa sebagai berikut:
Tahapan Opsional (Marhalat al-takhyir)
Pada tahapan ini, kewajiban puasa Ramadan masih bersifat opsional. Artinya, orang-orang Islam yang mampu berpuasa diberikan dua opsi, yakni berpuasa atau jika tidak mampu maka membayar denda (fidyah).
Puasa yang lebih utama (afdhal). Jika tidak berpuasa maka konsekuensi fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin. Namun, jika seseorang yang tidak berpuasa tersebut bisa melakukannya lebih dari itu (bisa memberi makan lebih dari satu orang miskin), maka yang demikian lebih baik dan kekal (pahalanya).
Tahapan ini sesuai dengan petunjuk Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 183-184.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. QS. Al-Baqarah: 183.
أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٤
Artinya:
(Yaitu) dalam hari-hari tertentu. Karena itu, barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau sedang dalam perjalanan (lalu ia membatalkan puasanya), maka diwajibkan kepadanya puasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu di hari-hari yang lain. Diwajibkan juga bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) agar membayarkan fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. QS. Al-Baqarah: 184.
Ayat ini – menurut Yusuf Qardhawi – adalah petunjuk yang bersifat opsional tentang berpuasa. Siapa saja ingin berpuasa, maka disilakan baginya berpuasa. Namun yang ingin berbuka, disilahkan untuk tidak berpuasa dengan konsekuensi membayar fidyah.
Tahapan Ketetapan dan Kewajiban (Marhalat al-Ilzam wa al-Takhtim)
Tahap kedua dan sekaligus tahapan terakhir tentang kewajiban berpuasa di bulan Ramadan adalah tahapan ketetapan (al-ilzam) dan kewajiban (al-tahtim). Pada tahapan ini, pilihan (al-takhyir) untuk berpuasa atau tidak, dihapus (mansukh) dan diganti hukumnya dengan kewajiban yang sifatnya permanen.
Dalam hal ini, Allah berfirman:
شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٨٥
Artinya:
Hari-hari yang ditentukan itu adalah bulan Ramadan. Di dalamnya, diturunkan Alqur’an sebagai petunjuk bagi manusia, beberapa penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang benar dan yang bathil. Maka, barangsiapa di antara kalian hadir (di negerinya) pada bulan itu, hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (kemudian ia tidak berpuasa), maka (ia wajib membayar puasanya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, di hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan. Hendaklah kalian mencukupkan hitungannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah karena telah memberikan petunjuk kepada kalian, supaya kalian bersyukur. (QS. Al-Baqarah: 185)
Dalam salah satu riwayat dari Salamah bin al-Akwa’, ia berkata bahwa ketika turun ayat “wa ‘alal-ladzina yuthiqunahu fidyatun tha’amu miskina”. Seseorang boleh puasa atau berbuka (tidak berpuasa) asal membayarkan fidyahnya. Kemudian turun ayat setelahnya (QS. Al-Baqarah:185) yang menghapus (nasikh) hukumnya.
Abdullah bin Umar dan Ibnu Mas’ud meriwayatkan hadis, bahwa ketika turun ayat “faman syahida minkumus-syahra falyashumhu”, maka Allah mewajibkan puasa kepada orang yang sehat (mampu berpuasa) dan tidak sedang dalam perjalanan (muqim), kemudian Allah memberikan dispensasi kepada orang yang sedang sakit dan atau sedang dalam perjalanan jauh untuk berbuka.
Yusuf Qardhawi kemudian membagi tahapan kedua, menjadi dua tahapan lagi;
1). Tahap penyulitan (tasydid)
Pada tahapan pertama ini, orang-orang Islam diperbolehkan makan, minum dan menyetubuhi istri-istri mereka asal mereka belum tidur atau belum mengerjakan salat isya’. Sebaliknya, jika sudah tertidur dan sudah mengerjakan salat isya’, maka mereka diharamkan makan, minum dan bersetubuh hingga malam selanjutnya.
2). Tahap keringanan (takhfif) dan toleransi (rahmah)
Dikisahkan bahwa sebagian sahabat di antaranya Umar bin Khatthab dan Ka’ab bin Malik merasa resah, gelisah dan keberatan. Kegelisahan itu muncul jika harus menyetubuhi istri-istri mereka sebelum mereka atau istri-istri mereka tertidur.
Ketika hal itu disampaikan kepada Nabi Muhammad, maka turun ayat:
أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ ١٨٧
Ayat ini menandakan berakhirnya tahapan tasydid bagi umat Islam. Mereka merasa gembira dan bahagia karena Allah telah memberikan toleransi dan keringanan bagi pasangan suami-istri untuk melakukan hubungan badan.
Keringanan tersebut terutama di sepanjang malam pada bulan Ramadan sampai terbitnya fajar. Allah SWT. juga mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan masa lalu mereka.