Tafsir Q.S. At-Taubah Ayat 29: Jihad yang Disalahpahami oleh Pelaku Bom Bunuh Diri
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – At-Taubah ayat 29 merupakan salah satu ayat yang menyerukan kepada umat Islam agar berjihad, namun ayat tersebut kerap sekali disalahpahami makna yang terkandung di dalamnya.
Seperti tindak kekerasan atapun tindakan yang mencerminkan sikap intoleran. Kesemua oknum yang ikut andil di dalamnya selalu mengatasnamakan tindakannya dengan kata jihad dan tidak jarang pula mereka menggunakan Q.S. At-Taubah ayat 29 sebagai dalilnya.
Di Indonesia sendiri banyak sekali seruan-seruan jihad yang sangat jauh melencengnya dari esensi jihad yang sesungguhnya, seperti aksi terror bom bunuh diri yang baru di Polsek Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat.
Uniknya pelaku bom bunuh diri tersebut meninggalkan pesan tertulis yang menempel pada plat motor pelaku, kurang lebih begini isi pesan tersebut.
“KUHP=HUKUM Syirik/Kafir. Perangi para penegak hukum setan. QS: 9:29.”
Dalam hal ini mereka mendasari aksi terornya menggunakan Q.S. At-Taubah ayat 29 dimana mereka telah keliru dalam memahami makna yang terkandung pada ayat tersebut.
Mereka lupa bahwa tidak semua ayat-ayat Al-Qur’an dapat dipahami secara tekstualis skripturalis, lantas bagaimana tafsir yang tepat?
Berikut bunyi Q.S. At-Taubah ayat 29 beserta tafsirnya.
قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاَخِرِ وَلَا يُحّرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُوْلَهُ يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُوْنَ (التوبة : ۲۹ )
Artinya:
”Bunuhlah (perangilah) orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), yaitu orang-orang yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk,” (Q.S. At-Taubah ayat 29)
Ayat diatas memiliki makna yang sangat sensitif, jika sampai keliru dalam menafsirkan, maka akibatnya akan fatal.
Terlebih jika hanya mengandalkan kesimpulan-kesimpulan pribadi tanpa bersandar pada ulama-ulama ahli tafsir.
Oleh karena itu dalam memahami ayat diatas diperlukan sebuah pendekatan khusus agar tafsiran sejalan dengan makna yang terkandung di dalamnya.
Menurut Nailul Huda (2019) ia menjelaskan bahwa Q.S. At-Taubah ayat 29 diturunkan pada saat Nabi Muhammad saw. diperintah untuk perang Tabuk, yakni peperangan antara umat muslim dengan Imperium Romawi.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Syekh Muhammad As-Showi dalam kitab tafsirnya Hasyiah As-Showi ‘Ala Tafsir Jalalain, beliau menjelaskan bahwa Q.S. At-Taubah 29 diturunkan pada saat nabi Muhammad diperintah untuk memerangi orang-orang Romawi.
Melihat dari dua pendapat di atas dalam konteks Asbabun Nuzul, maka dapat dimengerti bahwa makna dari lafadz لايؤمنون pada ayat di atas merujuk pada pasukan Romawi yang dipimpin oleh Raja Heraklius.
Lalu apa alasan Allah swt memerintah nabinya untuk menyerang kerajaan Romawi?
Dalam literatur-literatur sejarah Islam dijelaskan bahwa sebelum terjadinya perang Tabuk pada tahun ke-9 H telah terjadi terlebih dahulu, yakni perang Mu’tah pada tahun ke-8 H di mana pada saat itu sebelum terjadinya perang Mu’tah Nabi Muhammad telah melakukan gencatan senjata dengan orang-orang Quraisy.
Lalu Nabi Muhammad memerintah beberapa utusan untuk menyampaikan pesan kepada raja-raja dan kepada kepala pemerintahan Romawi yang berisi ajakan supaya masuk Islam.
Raja-raja tersebut menyambut pesan Nabi dengan baik, namun terdapat beberapa raja yang menyambut pesan Nabi Muhammad dengan penolakan yang tidak dapat dianggap baik.
Salah satu raja yang menanggapi pesan nabi dengan sangat buruk adalah Syurahbil bin Amr Al-Ghassani.
Ia membunuh utusan yang bernama Al-Harits bin Umair. Dalam peraturan perang dijelaskan bahwa membunuh seorang utusan merupakan perbuatan yang keji.
Pada saat itulah kemudian pecahlah perang Mu’tah, dimana pasukan musuh telah dibantu oleh Raja Heraklius dengan 100.000 pasukan.
Dalam Fiqih Jihad karangan Dr. Syekh Yusuf Al-Qardhawi dijelaskan, bahwa banyak komandan-komandan muslim gugur dalam perang Mu’tah, yakni seperti Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, Abdullah bin Rawahah dan masih banyak lagi.
Kemudian pada tahun ke-9 H segerombolan orang Syam menginformasikan kepada Rasulullah saw, bahwa Raja Heraklius telah menyiapkan 40.000 pasukan gabungan dengan kabilah Lakhm, Judzam, dan lainnya.
Melihat situasi yang sangat genting itu, maka Rasulullah saw pun menyerukan untuk berjihad melawan Imperium Romawi, yakni sebuah kerajaan yang terkenal besar dan ditakuti pada masanya.
Setibanya di Tabuk dan terdengar pula bahwa Rasulullah saw juga membawa pasukan besar ternyata Romawi pun mentalnya menurun dan tidak berani maju, serta saat itu juga pihak musuh pun mengajak berdamai dengan membayar upeti.
Melihat dari sejarah yang sedikit agak panjang diatas, maka terlihatlah benang merahnya bahwa pada intinya Allah beserta RasulNya tidak akan memerintah umat muslim untuk memerangi orang-orang yang tidak beriman tanpa ada alasan yang jelas dan Allah beserta RasulNya juga tidak akan mengharamkan sesuatu tanpa ada alasan yang jelas.
Maka, sudah sangat nampak kelirunya jika menganggap bahwa memerangi non-muslim secara mutlak adalah tindakan yang benar serta bernilai jihad, karena maksud dari Q.S. At-Taubah ayat 29 diatas adalah memerangi non-muslim yang telah memerangi umat muslim.
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8:
لَايَنْهَىكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِيْنَ لّمْ يُقَتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَرِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا اِلَيْهِمْ اِنَ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ (الممتحنة: ۸ )
Artinya:
”Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil,” (Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8)
Berlandaskan pada firman Allah diatas, dapat dimengerti bahwa Allah sendiri tidak melarang umat muslim untuk berteman dan berbuat baik kepada non-muslim, selama orang-orang non-muslim tidak menganiayanya.
Maka, Jika orang-orang non-muslim (orang-orang yang tidak beriman) tidak menyerang atau memerangi umat Islam, lalu umat Islam secara membabi buta menyerangnya, maka sejatinya ia telah keluar dari Al-Qur’an dan Sunnah. []