Syekh Yusuf Qardhawi dan Zakat Profesi
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pada hari Senin (26/09) kemarin, dunia Islam dikejutkan dengan berita meninggalnya Syaikh Yusuf Qardhawi di usianya yang ke 96 tahun.
Ia merupakan salah satu ulama Sunni terkemuka abad 20 yang menghabiskan sebagain hidupnya untuk dakwah dan keilmuan Islam.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf, lahir di Shafat Turab Mesir bagian barat pada 9 September 1926.
Sedangkan al-Qardhawi merupakan nama keluarga yang diambil dari nama daerah asalnya, al-Qardhah.
Semasa hidupnya, Yusuf Qardhawi diidentikkan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Ia memiliki kedekatan dengan Hasal al-Banna dari segi pemikiran politik dan gerakan keislamannya.
Tidak heran bila semasa hidupnya ia sempat menyicipi ruang tahanan karena kedekatannya dengan organisasi yang berkali-kali menjadi sasaran penguasa Mesir kala itu.
Berangkat dari kondisi itulah, maka kemudian sisa hidupnya dihabiskan di negara bukan kelahirannya, Qatar. Di sana ia mengajar di Universitas Qatar dan sempat menjadi Dekan Fakultas Syariah di universitas tersebut.
Sumbangsihnya yang terkenal dalam bidang keilmuan Islam berupa fikih zakat. Lebih spesifik lagi yakni di bidang zakat profesi.
Meski sempat kurang didukung oleh ulama Islam kontemporer pada masa itu, kini zakat profesi cukup populer di dunia Islam.
Zakat profesi mulai diperkenalkan oleh Yusuf Qardhawi sejak tahun 1969, tepatnya ketika ia menerbitkan bukunya yang berjudul Fiqhu al-zakaat (fikih zakat).
Di buku tersebut diuraikan olehnya mengenai sejarah dan pandangan ulama Islam terdahulu dan kontemporer mengenai zakat.
Salah satu yang menjadi fokus perhatiannya berupa definisi zakat penghasilan. Dalam sejarahnya, fikih zakat tidak mengenal zakat profesi.
Dalam tulisannya yang berjudul “Zakat Profesi (Zakat Penghasilan) Menurut Hukum Islam”, Agus Marimin dan Tira Nur Fitria menuliskan dalam Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam – Vol. 01, No. 01, Maret 2015 bahwa:
“Zakat profesi merupakan salah satu kasus baru dalam fiqh (hukum Islam). Al-Quran dan al-Sunnah, tidak memuat aturan hukum yang tegas mengenai zakat profesi ini. Begitu juga ulama mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal tidak pula memuat dalam kitab-kitab mereka mengenai zakat profesi ini.”
Hal itu bisa dimengerti karena sistem mata pencaharian umat manusia selalu mengalami perubahan.
Hadirnya modernisasi memungkinkan pola baru dalam bagaimana seseorang dapat bekerja dan mendapatkan penghasilan.
Namun demikian, seperti yang tertuang di bagian pendahuluan bukunya yang berjudul Fikih Zakat, Yusuf Qardhawi membagi pekerjaan yang menghasilkan uang menjadi dua:
Pertama pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak.
Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, advokat, seniman, penjahit, tukang, kayu, dan lain-lainnya.
Kedua adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab.
Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah tengah.
Kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut.
Berdasarkan hal itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih sah dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat.
Dikarenakan Islam mempunyai ukuran bagi seseorang untuk bisa dianggap kaya yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama, maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang miskin penerima zakat.
Jika dalam pandangan politik dan gerakan Islam Yusuf Qardhawi banyak diinspirasi oleh Hasan al-Banna dan Ikhwanul Muslimin.
Maka dalam keilmuan Islam (terutama zakat profesi) ia banyak dipengaruhi oleh Syaikh Abdul Wahhab Khallaf dan Syaikh Abu Zuhrah.
Pemikirannya mengenai zakat profesi mulai merebak di Indonesia pada akhir tahun 90-an dan awal 2000an.
Tidak heran jika kini di berbagai lembaga filantropi baik swasta maupun milik pemerintah menyediakan saluran pengeluaran zakat di bidang profesi. []