Syekh Muhammad Ghazali dan Sudut Pandang yang ‘Tak Biasa’
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kalau ingin menikmati tema-tema berat yang disajikan dengan bahasa sastra nan indah dan memukau maka bacalah buku-buku Syekh Muhammad al-Ghazali rahimahullah.
Barangkali tak ada yang bisa menyaingi keindahan bahasa Syekh Muhammad Ghazali dalam mengupas masalah-masalah pemikiran, fiqih dan sosial kemasyarakatan secara apik dan menarik
Kecuali Syekh Ali Thanthawi yang memang pada dasarnya seorang sastrawan (adib).
Tapi kalau membaca tulisan-tulisan Syekh Muhammad Ghazali mesti siap dengan sudut pandang yang sekilas tampak berbeda dan tak biasa.
Itulah ciri seorang alim, pemikir dan pembaharu. Tak mau ikut arus. Berpikir out the box.
Kalaupun ia berbeda, bukan karena ia ingin tampak beda, melainkan karena argumentasi yang dipegangnya, terlepas dari orang setuju atau tidak.
Dalam bukunya Sirr Ta`akhur ‘Arab wa Muslimin, ia menulis :
Suatu hari saya membaca koran. Di halaman depan ada gambar Perdana Menteri Inggris (saat itu) Margaret Thatcher.
Tiba-tiba ada seorang pemuda memperhatikanku. Ia pun bertanya, “Engkau melihat gambar wanita itu?”
“Iya.”
“Kau nyaman melihatnya?” tanyanya lagi.
“Rakyatnya menjulukinya sebagai wanita bertangan besi. Saya kagum dengan sikapnya di depan DPR Inggris ketika ia menuntut dikembalikannya hukum mati ke dalam undang-undang negara. Memang, ia kalah dalam rapat itu. Tapi saya melihat ia jauh lebih cerdas dan menyadari kebutuhan negaranya dari orang-orang yang menentangnya.”
Pemuda itu bermaksud untuk memotong pembicaraan. Belum sempat ia bicara saya segera melanjutkan:
“Satu hal lagi yang membuatku kagum pada wanita ini. Ketika Inggris berperang melawan Argentina, ia sendiri yang mengomandoi rakyatnya dan ia selalu terlihat mengenakan baju berwarna hitam. Ia merasa setiap tentara yang terbunuh di medan perang adalah puteranya atau saudaranya. Karena itu ia selalu berkabung sampai perang usai. Dalam pandangan saya, wanita ini jauh lebih baik dari para penguasa di Timur yang berjenggot dan berkumis.”
Pemuda itu berkata, “Tidakkah engkau lihat rambutnya terbuka (tidak berhijab)?”
Saya menjawab, “Adab Islami yang tidak ada pada dirinya. Islam memang memandang rambut sebagai aurat yang mesti ditutup dengan jilbab, terlepas dari apakah aurat rambut ini termasuk aurat yang berat seperti pendapat mayoritas ulama atau aurat yang ringan seperti pendapat ulama Malikiyyah.
Rambut memang mesti ditutup untuk menghormati ajaran agama.
Tapi yang saya ingin tegaskan adalah apa yang di dalam kepala jauh lebih penting dari yang di luarnya.
Dengan kata lain, masalah kecerdasan dan kebodohan jauh lebih penting tanpa mengecilkan arti sebuah adab agama.” []