Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Imam Masjidil Haram
HIDAYATUNA.COM – Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dilahirkan di Koto Tuo, kenagarian Balai Gurah, Kecamatan Ampek Angkek Canduang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat pada hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M. Wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M) dikebumikan di Makkah dan seluruh keturunannya menetap di sana.
Nama asli dari putra Minang yang pernah menjadi Imam Masjidil Haram ini adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif Al-Minangkabawi. Ibunya bernama Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak. Ayahnya bernama ‘Abdul Lathif yang berasal dari Koto Gadang. ‘Abdullah, kakek Syaikh Ahmad Khatib Rahimahullah atau buyut menurut riwayatnya, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, ‘Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.
Kealiman dan Keteladanannya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dalam menuntut ilmu berbuah manis, beliau dibuktikan dengan diangkatnya sebagai imam, khathib dan staf pengajar di Masjidil Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi. Ia bernama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah bin ‘Abdul Lathif bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari rahimahullah.
Kecerdasan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi diakui oleh banyak pihak, tidak hanya ulama Nusantara namun juga ulama Mekkah pada masa itu. Selain dikenal cerdas dalam memahami ilmu agama, Ahmad juga dikenal sebagai ulama yang menguasai, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri). Dalam ilmu fikih, ia mendalami fikih mazhab Syafi’i, bahkan beliau dijuluki sebagai tiang tengah dari mazhab Syafi’i dalam dunia Islam pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Rahimahullah adalah ulama besar Indonesia yang menjadi guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i. Dia memiliki peranan penting di Mekkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia.
Awal berada di Mekkah itu Sejak kecil, Syekh Ahmad Khatib sudah tinggal di Mekah, tapi hubungannya untuk Indonesia tidak pernah putus, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Ia banyak mendidik pelajar Indonesia yang datang ke Mekah untuk dikembangkan di Indonesia. Banyak sekali murid Syekh Ahmad Khatib yang diajarkan fiqih Syafi’i. Tak sedikit pula muridnya tersebut menjadi tokoh besar di negaranya, seperti;
– Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya Hamka.
– Syekh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi.
– Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi.
– Syekh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang.
– Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi.
– Syekh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki.
– Syekh Khatib Ali Padang.
– Syekh Ibrahim Musa Parabek.
– Syekh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing,
– dan Syekh Hasan Maksum, Medan.
Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syekh Ahmad Khatib Rahimahullah. Kelak dikemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia
Syekh Ahmad Khatib Rahimahullah adalah tiang tengah dari mazhab Syafi’i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XX. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Ketika masih di kampung kelahirannya, Beliau sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M. Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Beliau juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syekh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, semasa Ahmad Khatib waktu kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H, Ahmad Khatib diajak oleh sang ayah, ‘Abdul Lathif, ke Tanah Suci mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di mekkah untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama mekkah terutama yang mengajar di Masjid Al Haram terutama yang mengajar di Masjid Al Haram. Di antara guru-guru Syekh Ahmad Khatib Rahimahullah di mekkah adalah:
- Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
- Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
- Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i (1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.
- Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’i di mekkah
- Yahya Al Qalyubi
- Muhammad Shalih Al Kurdi
Mengenai sebab pengangkatan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Al Khathib menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat yang nampaknya saling bertentangan. Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menjadi imam & khathib. Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika dalam sebuah shalat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq. Di tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai shalat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.
Mengenai bagaimana semangat Syekh Ahmad Khatib Rahimahullah dalam thalabul ‘ilmi, mari sejenak kita dengarkan penuturan seorang ulama yang sezaman dengannya, yaitu Syekh ‘Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa Tarajim hal. 38-39, Ia adalah santri teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta bermudzakarah malam dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan ketekunannya dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti matematika, aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian waris, ilmu miqa dan zij, ia dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari guru (baca: otodidak).”
Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendukung ilmunya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh. Dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
Syekh Ahmad Khatib Rahimahullah juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.
Karya-karya tulis Syekh Ahmad Khatib Rahimahullah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.