Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Perlakuan Gurunya
HIDAYATUNA.COM – Dalam dunia Islam, nama Syekh Abdul Qadir al-Jailani sudah tidak asing lagi. Nama ini kerap dirapalkan setiap pembacaan doa, dikutip sebagai rujukan literatur, dan digunakan menjadi bahan ceramah pengajian. Kendati tidak sedikit juga yang alpa pada biografinya karena, masyarakat kita cenderung mengail kisah karomah kewaliannya dibanding sumbangsihnya pada dunia Islam.
Sejauh ini memang ada dua pendapat kuat tentang kelahiran Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Hal ini lumrah jika berkaca pada para wali di Jawa sendiri yang tahun kelahiran dan lokasi makamnya ditemui saling silang pendapat. Barangkali ini menjadi indikasi bahwa, setiap kekasih-Nya akan tetap terjaga kerahasiaannya dari masyarakat awam.
Pendapat pertama datang dari Syekh Shalih Ahmad as-Syami dalam kitabnya Mawa’idz. Di kitab tersebut, kelahiran Syekh Abdul Qadir al-Jailani tertulis 1077 M (470 H). Tahun yang menandai masa akhir dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Adapun pendapat dari Maftuh Bastul Birri di karyanya Manaqib 50 Wali Agung, kelahiran Syekh Abdul Qadir al-Jailani selisih satu tahun, 1078 M (480 H). Untuk tahun wafatnya, 1166 M (561 H) dan dimakamkan di Baghdad. Kota yang saat itu banyak memberi kontribusi pada pemajuan ajaran Islam dari berbagai bidang.
Jika kita mengambil pendapat dari Maftuh Bastul Birri ini, maka usia Syekh Abdul Qadir al-Jailani bisa terbilang senja, sekitar 88 tahun. Usia yang terbilang panjang, mengingat banyak ulama, wali, dan para alim yang wafat di usia-usia yang masih produktif untuk berkarya.
Tentu saja di usianya yang demikian panjang, ada berbagai kisah yang diwariskan melalui tutur lisan sampai hari ini. Seperti yang saya sebut di awal bahwa, Syekh Abdul Qadir al-Jailani lebih dikenal dari sisi cerita karomahnya.
Salah satu cerita yang mashur adalah perjumpaannya dengan Syekh Hammad al-Dabbas. Seorang alim ulama dengan level kematangan makrifat serta petuahnya yang banyak diiyakan oleh murid dan masyarakat di sekitar Baghdad.
Saat itu Syekh Abdul Qadir al-Jailani tinggal di Baghdad selama 20 hari dengan kondisi yang memprihatinkan. Ia tidak memiliki uang untuk makan. Lantas ia pun memutuskan pergi ke Serambi Agung Iwan Kisra, lokasi yang digunakan untuk mencari penghidupan bagi penduduk yang papa.
Di situ ia bersua dengan 70 orang saleh yang senasib dengannya. Syekh Abdul Qadir al-Jailani lantas mengurungkan niatnya untuk mengais penghidupan di sana. Di tengah perjalanan kembali, ia bersua dengan kawan sekampungnya dan diberi beberapa uang. “Titipan dari ibumu”, tutur dari kawannya yang tentu saja mengagetkan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Karena dirinya merasa tidak pernah memberitahu kondisinya ke keluarganya sejak memutuskan pergi mencari ilmu pengetahuan.
Uang itu lantas ia bagikan kepada 70 orang saleh yang ia temui tadi. Sisanya ia belikan makanan dan melahapnya bersama 70 orang saleh itu juga. Uang pemberian itu tidak tersisa sedikitpun, begitu juga makanan yang telah ia beli.
Kemudian Syekh Abdul Qadir al-Jailani membulatkan tekadnya untuk kembali ke kampung halamannya. Selain karena tidak memiliki uang, ia merasa kota Baghdad sudah runyam dengan berbagai fitnah dan laku maksiat. Ia berniat ingin menyelamatkan agama dari hal-hal yang dapat merusaknya.
Saat hendak menjejakkan kaki keluar pintu gerbang, ia didorong sampai tubuhnya terhempas kembali memasuki kota Baghdad. Hal itu terjadi berkali-kali. Sampai akhirnya ia menyerah lantas terdengar suara, “Manusia akan memperoleh manfaat dari keberadaanmu di sini”.
Suara itu membuatnya bingung. Berhari-hari ia menyusuri perkampungan di kota Baghdad sampai ada suara yang mirip menyapanya untuk datang ke rumahnya. Ternyata pemilik rumah itu dikenal oleh warga dan para muridnya sebagai Syekh Hammad al-Dabbas.
Akhirnya ia memutuskan untuk berguru padanya. Namun tidak seperti murid lainnya, Syekh Abdul Qadir al-Jailani justru kerap diperlakukan dan peroleh kata kasar dari gurunya. Namun ia tetap pada pendiriannya untuk mengail ilmu dan hikmah dari Syekh Hammad al-Dabbas, terlepas dari perlakuan yang diterimanya.
Namun saat murid dan warga sekitar turut berlaku dan berkata kasar pada Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Syekh Hammad al-Dabbas malah membelanya dengan memarahi balik. “Aku menyakitinya semata-mata demi menguji dirinya supaya kelak, dia menjadi gunung yang tak bisa digoyahkan. Demi Allah, tidak ada seorang pun diantara kalian yang derajat spiritualnya setara dengannya”, tutur Syekh Hammad al-Dabbas.
Cerita ini memberi banyak pelajaran pada kita. Bahwa setiap guru yang memiliki keluasan ilmu dan kelapangan rohani, dapat membedakan kapasitas ujian untuk murid-muridnya. Bisa jadi, murid yang kerap diberi pekerjaan dan tanggung jawab berat, menjadi wujud kasih guru kepada masa depan muridnya.
Di sisi lain, perlakuan semacam itu menjadi pelecut bagi Syekh Abdul Qadir al-Jailani untuk terus takdim pada gurunya. Laku yang saya rasa sudah jarang sekali ditemukan pada masyarakat kita ketika hendak maupun sedang mencari ilmu.
Barangkali konteksnya sudah berbeda, barangkali juga hanya tersisa menjadi warisan cerita dari para alim-ulama tempo dulu.
Wallahul’alam