Syarat Qiyas dan Kelompok Islam yang Menggunakan Metode Hukumnya

 Syarat Qiyas dan Kelompok Islam yang Menggunakan Metode Hukumnya

Etika Politik Menurut Al-Farabi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Istilah qiyas mungkin bukan istilah yang asing bagi pegiat hukum Islam. Pengertian qiyas sendiri merupakan pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.

Pengertian qiyas memiliki beragam perspektif    dalam pandangan ulama ushul fiqh.

Hal ini bergantung pada pandangan para ulama ushul fiqh terhadap kedudukan qiyas itu sendiri dalam istinbat hukum.

Unsur-Unsur Qiyas Beserta Syaratnya

Adanya beragam perbedaan tentang pengertian qiyas, akan tetapi terdapat persamaan makna, di mana dalam defenisi tersebut terdapat rukun-rukun qiyas, yakni: al-ashl, al-far’u, hukum al-ashl dan ‘illat.

Adapun penjelasan dari keempat unsur tersebut yakni sebagai berikut.

1. Al Ashl

Al-Ashl merupakan sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan nashnya (al-Quran dan as-Sunnah).

Dalam unsur ini, beberapa ulama menetapkan beberapa persyaratan, yakni sebagai berikut :

Al-Ashl tidak mansukh, artinya hukum syara’ yang akan menjadi sumber peng-qiyasan itu masih berlaku pada masa hidup Rasulullah saw.

Apabila telah dihapuskan ketentuan hukumnya, maka tidak dapat menjadi al-ashl.

Hukum syara’. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlaq, sebab yang akan ditentukan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara’.

Oleh karena itu, yang menjadi al-ashl harus berupa hukum syara’ bukan hukum yang

Bukan hukum yang dikecualikan. Jika al-ashl tersebut merupakan hukum yang dikecualikan, maka tidak dapat menjadi qiyas. Ketentuan yang menetapkan bahwa puasa karena lupa tidak batal.

Maka, ketentuan ini tidak dapat menjadi al-ashl qiyas, karena untuk menetapkan tidak batalnya puasa seseorang yang berbuka puasa karena terpaksa.

1. Al-Far’u

Al-Far’u secara bahasa, al-far’u berarti cabang, akan tetapi maksud al-far’u dalam unsur qiyas yakni permasalahan baru yang hendak diqiyaskan.

Karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam al-Quran dan as-sunnah. Adapun ketentuan atau syarat-syarat unsur ini menurut para ulama yakni sebagai berikut:

  • Belum ada ketentuan hukumnya dalam al-Quran maupun as-sunnah.
  • Adanya kesamaan antara ‘illat yang terdapat dalam al-ashl dan yang ada dalam al-far’u.
  • Tidak ada dalil qath’i yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u.
  • Hukum yang terdapat dalam al-ashl bersifat sama dengan hukum yang terdapat dalam al-far’u.

1. Hukum ashl

Hukum ashl, merupakan hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya ditetapkan oleh nash tertentu, baik dalam al-Quran maupun as-sunnah. Adapun syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh ulama pada rukun qiyas ini adalah sebagai berikut:

Hukum ashl tersebut adalah hukum syara’, bukan hukum yang lainnya.

Illat hukum tersebut dapat ditemukan, bukan hukum yang tidak dapat dipahami ‘illat-nya.

Hukum ashl tidak dapat termasuk dalam kelompok yang menjadi khushushiyyah Rasulullah saw.

Hukum ashl tetap berlaku setelah wafatnya Rasullah saw, bukan ketentuan hukum yang sudah dibatalkan.

‘2. Illat

Illat merupakan suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.

Adapun syarat-syarat ‘illat menurut para ulama adalah sebagai berikut:

  • ‘Illat haruslah suatu yang nyata, jelas serta dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan yang lain. Suatu sifat yang tidak nyata, tidak dapat dijadikan sebagai ‘illat. Sifat nyata yang terdapat dalam ‘illat, misalnya yaitu sifat memabukkan pada khamr.
  • ‘Illat harus mengandung unsur hikmah yang sesuai dengan tujuan hukum. Adapun tujuan hukum adalah jelas untuk kemaslahatan umat Islam serta mukallaf baik di dunia dan di akhirat serta menghindarkan kemudharatan.
  • Mundhabithah, yaitu bahwa yang menjadi ‘illat, harus dapat diukur dan jelas batasnya, sebab apabila yang menajdi ‘illat tersebut adalah sesuatu yang tidak terukur dan dapat dikacaukan, maka tidak sah menjadi ‘illat.
  • Mula’im wa Munasib, bahwa suatu ‘illat harus memiliki kelayakan dan memiliki hubunganyang sesuai antara hukum dan sifat yang dipandang sebagai ‘illat.
  • Muta’addiyah, bahwa yang dijadikan ‘illat adalah suatu sifat yang bukan hanya terdapat dalam peristiwa hukum yang ada nashnya, akan tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashnya.

Keberadaan ‘illat sebagai hukum memiliki beberapa kemungkinan sifat di dalamnya setelah memenuhi syarat-syarat di atas, diantaranya:

  • Hakiki, adalah sifat yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya tanpa tergantung kepada ‘urf (kebiasaan) atau lainnya. Contoh: sifat memabukkan dalam minuman keras.
  • Hissi, adalah sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera. Contoh: pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan.
  • ‘Urfi, adalah sifat yang idak dapat diukur tetapi dapat dirasakan bersama. Contoh: mulia dan hina.
  • Lughowi, adalah sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam artian kebahasaan. Contoh: pengharaman terhadap khamr karena ia bernama demikian.
  • Syar’i, adalah sifat yang keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan suatu hukum. Contoh: menetapkan bolehnya menggunakan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang tersebut dijual.
  • Murakkab, adalah sifat yang bergantungnya beberapa sifat yang menjadi alasan suatu hukum. Contoh: sifat pembunuhan secara sengaja dan dengan bentuk permusuhan menjadi dilegalkannya hukum qishash

Itulah beberapa hal penting yang perlu diketahui mengenai qiyas, salah satu instrumen dalam hukum Islam. []

Elisa Afia

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *