Syarat Hadhanah (Mengasuh Anak) dalam Syariat Islam

 Syarat Hadhanah (Mengasuh Anak) dalam Syariat Islam

Syarat Hadhanah (Mengasuh Anak) dalam Syariat Islam

Oleh: Helmi Abu Bakar

HIDAYATUNA.COM – Allah Swt menjadikan anak sebagai perhiasan hidup dan amanah. Keberadaan anak kecil akan lebih bahagia jika berada dalam asuhan ayah dan ibunya sendiri, karena dengan pengawasan dan perlakuan orang tuanya sendiri anak akan lebih memperhatikan dan melaksanakan apa yang diperintahkan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

Pendidikan yang memadai bagi anak biasanya akan diperoleh apabila anak itu berada dalam asuhan ayah dan ibunya, di mana ayah dan ibu dapat memberikan pendidikan kepada anaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang, sehingga anak akan tumbuh subur, sehat jasmani dan rohaninya, demikian pula kecerdasan akalnya, keluhuran akhlaknya, dan kehalusan perasaannya.

Anak-anak bisa saja dibesarkan dalam keadaan yang bebeda-beda sehingga adakalanya terdapat sebagian anak tinggal dalam keluarga yang belum pernah mengalami perceraian dan adakalanya sebagian anak yang lain sepanjang masa-masa kanak-kanaknya berada dalam keluarga yang mengalami perceraian, ataupun adakalanya sebagian anak tinggal bersama kelurga tirinya.  Beberapa anak hidup dalam kemiskinan, sementara anak-anak lain hidup dalam keluarga yang beruntung secara ekonomis. Sebagian ibu anak-anak itu bekerja setiap waktu dan menitipkan anak-anaknya di panti rawat siang, sementara ibu-ibu lain tinggal di rumah bersama anak-anaknya. (Ahmad Chusairi dan Juda Damanik, Perkembangan Masa Hidup, 1998),

Jika anak tumbuh dan berkembang seperti hal-hal yang ada tersebut, maka hubungan antara keluarga tersebut mempunyai peran penting dalam menentukan pola sikap dan perilakunya kelak dengan orang lain. Meskipun pola ini akan berubah dengan semakin besarnya anak dan meluasnya lingkungan tetapi pola intinya cenderung tetap. Maka hal ini menjadi penting ketika anak diasuh dengan pola asuhan secara Islam.

Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai dengan adanya globalisasi dalam semua aspek kehidupan manusia, tanggung jawab hadhanah (pemeliharaan) perlu dipahami secara lebih luas dan menyeluruh. Ini dimaksudkan agar orang tua tidak hanya memprioritaskan kewajibanya pada terpenuhinya kebutuhan materi si-anak, tetapi lebih dari itu kebutuhan mereka akan kasih sayang, turut menjadi faktor penentu pembentukan kepribadian anak.

Kualitas komunikasi antara anak dan orang tuanya mutlak perlu mendapat perhatian yang baik. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pada akhirnya si-anak akan mencari kompensasi di luar, yang besar kemungkinan akan lebih besar mendapat pengaruh negatif dari luar atau pergaulan mereka.

Oleh Karena itu syarat-syarat dalam pemeliharaan anak sangat dibutuhkan sekali. Hal ini perlu mendapat penekanan, karena tidak jarang kasus-kasus kenakalan remaja, adalah sebagai salah satu akibat pemahaman dan penerapan dalam pemeliharaan anak kurang diperhatikan. Oleh karena demikian untuk dapat menyelenggarakan pemeliharaan anaka diperlukan cara-cara tertentu yang harus dimiliki oleh pemegang hadhanah. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Dalam hal ini apabila terjadi perpisahan di antara keduanya yang lebih diutamakan adalah ibunya dari pada ayahnya, selama tidak ada alasan yang menjadikan ibu melakukan pekerjaan hadhanah tersebut, atau anak kecil itu telah mampu untuk memilih kepada siapa akan ikut, sebagimana disebutkan dalam kitab Fath al-Qarīb,

وإذا فارق الرجل زوجته وله منها ولد فهي أحق بحضانته إلى سبع سنين ثم يخير بين أبوية فأيهما أختار سلم إليه

Artinya: Apabila seorang laki-laki (suami) menceraikan isterinya, padahal mereka mempunyai anak, maka isterinya lebih berhak melakukan hadhānah hingga anaknya berumur 7 tahun, kemudian sesudah itu anak boleh memilih sendiri kemana dia ikut orang tuanya, kemudian harus diserahkan kemana pilihannya. Muhammad Ibn Qāsim al-Ghazī, Fath al-Qarīb …, h. 195.)

Pemberian hak ini dikarenakan pihak perempuan sebagai ibunya lebih mampu dari pihak laki-laki, dalam hal sabar, rasa kasih sayangnya dan waktu yang lebih untuk anaknya serta ketabahan hatinya yang kesemuanya tidak dimiliki oleh seorang ayah. Hal ini dinyatakan oleh Jalāl al-Dīn al-Mahallī dalam kitab Kanz al-Ghāribī, yaitu:

(وَالْإِنَاث أَلْيَقُ بِهَا) لِأَنَّهُنَّ أَشْفَقُ وَأَهْدَى إلَى التَّرْبِيَةِ وَأَصْبَرُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا (وَأُولَاهنَّ أُم ) لِوُفُورِ شَفَقَتِهَا.

Artinya: Orang perempuan lebih berhak dengan hadhanah, karena mereka lebih mempunyai kasih sayang, lebih terpetunjuk dengan mendidik dan lebih sabar dalam mengurus dengan hadhanah. Yang paling utama berhak hadhanah adalah ibu anak, karena sempurna kasih sayangnya. (Zakariyya al-Ansharī, Fath al-Wahhab Bi Syarh al-Manhāj al-Thullab, Juz. Ke-2, (Bairut: Dār al-Fikr, 2007, Jalāl al-Dīn al-Mahallī, Kanz al-Ghāribīn …, h. 88)

Maka seorang ibulah yang mempunyai sifat-sifat lebih perasa, lebih halus, lebih sabar dan lebih banyak waktunya untuk berkumpul dengan anak-anaknya serta mempunyai rasa kasih sayang yang lebih untuk anak, yang akan berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak. Maka psikologis seorang ibu sangat memahami akan anaknya disebabkan semenjak anak dalam kandungan sampai  dengan masa  melahirkan ibulah yang memahami akan psikologis anaknya. Bahkan  sampai  pada tahapan selanjutnya ibu lebih mengetahui akan anaknya. Pelaksanaan hadhanah terhadap anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hādhin, dan anak yang diasuh atau mahdhūn.

Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu.  Adapun syarat yang harus dipenuhi  bagi orang tua yang mengasuh (hādhin), yaitu  sebagaimana disebutkan dalam kitab Fath al-Qarīb:

وشرائط الحضانة سبعة: العقل والحرية والدين والعفة والأمانة والخلو من زوج والإقامة فإن اختل شرط سقطت

Artinya: Syarat hadhanah adalah orang yang berakal, merdeka, sama agama, terpelihara, tidak bersuami dan menetap. Jika tidak ada semua syarat tersebut, maka hak hadhanahnya akan gugur. (Muhammad Ibn Qāsim al-Ghazī, Fath al-Qarīb …, h. 196.)

Berdadarkan dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa disyaratkan bagi orang yang akan melakukan hadhanah (hadhin) adalah orang yang berakal, merdeka, sama agama, terpelihara, tidak bersuami dan menetap.


Tgk. Helmi Abu Bakar, Guru dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga dan Ketua PC Ansor Pidie Jaya

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *