Surga Yang Dirindukan
“Tenang sayang, pernikahan kita ini akan membuatmu menderita. Sama sepertiku yang dulu kau khianati. Ini bukan rumahmu surgamu, melainkan neraka yang akan melumatmu perlahan,” gumamku dengan wajah penuh dendam.
Sejahat itukah jadinya diriku akibat ulah Khalid ? Sampai-sampai aku menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon dan ajang balas dendam ? Tapi, mau bagaimana lagi. Suratan takdir mempertemukan kami setelah kejadian beberapa tahun silam dan kini masih menyisakan luka dalam dada.
Kembali ku lirik lelaki yang duduk menatapku dari ranjang pengantin. Ranjang yang ditaburi kelopak mawar warna-warni, harumnya memenuhi ruangan 4×6 yang dulu menjadi saksi betapa tiap malam air mata ini luruh ke bantal setelah Khalid memutuskan memilih Nazima sebagai teman dekatnya yang baru.
Nazima, Dia adalah teman kecilku sekaligus anak dari adik ayahku. Tega sekali mereka menikamku dari belakang. Sampai detik ini aku belum bisa memaafkan kesalahan mereka terhadapku.
Aku mendesah, menatap lelaki itu saja aku serasa ingin muntah. Bagaimana bisa aku melayaninya sebagai seorang istri. Aku tahu ini dosa besar, tapi aku belum sanggup dan memang tidak ikhlas melayaninya.
Dari samping lemari, ku lihat pantulan wajah Khalid yang tertunduk dari cermin rias yang berhadapan dengan ranjang. Ku yakin saat ini ia pasti resah. Apalagi setelah ku lucuti baju pengantin yang tadi membungkus tubuh molekku.
Mana ada kucing yang tahan melihat ikan asin. Sebentar lagi jakunnya pasti naik turun. Dan inilah saatnya kau rasa betapa tersiksanya menahan syahwat. Ini baru awal dari pembalasanku, Khalid Al Amani.
Aku tersenyum girang dalam hati, pembalasan untuk luka tikam ini mulai kuperankan. Apakah kamu sanggup bertahan ? Atau kau akan pergi lagi seperti dulu ?
Setelah ku nikmati wajah merah Khalid yang dipantulkan cermin lemari. Aku melangkah ke kamar mandi, tanpa sedikit pun ingin menegur lelaki itu. Ku basuh tubuh perlahan, membersihkan sisa kenangan indah yang sedikit banyak, masih berbekas di ruang jiwa.
Pikiranku berkelana ke beberapa minggu silam. Sebelum tadi pagi Khalid resmi menikahiku secara agama dan negara.
Jika ditanyakan kepada seluruh gadis di dunia, tidak seorang pun yang akan mau berjodoh dengan mantan yang pernah menghancurkan hatinya, sama sepertiku yang menolak hal tersebut. Namun, aku tidak bisa menolak karena pernikahan ini amanat dari almarhum ayah.
Aku tidak menyangka sama sekali akan dijodohkan dengan Khalid oleh ayah. Karena rencana pernikahan tersebut memang dirahasiakan ibu dariku semenjak kecil. Hal itu dilakukan ibu agar aku tetap menjalani hari-hariku tanpa tekanan.
Namun, rahasia itu secara tidak sengaja ku dengar ketika ibu menceritakan semuanya kepada Etek Syofia saat ibu mengupas sabut kelapa di samping rumah. Ibu bingung bagaimana cara memberi tahuku.
“Khaula sudah dewasa, Ni. Katakan saja yang sebenarnya. Aku yakin dia akan mengerti, bukankah ini amanat Almarhum Uda Peto?”
“Tapi apa kamu yakin Khaula mau ?” Ibu terdengar gusar.
“Coba saja dulu, Ni. Khaula itu anak yang baik. Tidak mungkin dia mau membuat Uni kecewa.”
Seperti usul Etek Syofia, ketika langit sore mulai memerah. Ibu memanggilku duduk di ruang tengah rumah gadang yang berlantai papan ini. Katanya ibu ingin membicarakan sesuatu hal yang penting. Persis seperti rencana yang mereka buat tadi. Mendengar ibu memanggil, tentu saja aku tersenyum, lalu duduk bersimpuh di depannya yang juga bersikap sama.
Benar saja, dalam hitungan menit akhirnya ibu memberitahukan tentang perjodohanku dengan Khalid. Kendatipun aku sudah tahu tentang hal itu, namun aku tetap berpura-pura menentang permintaan ibu, sekaligus memberi penjelasan bahwa aku belum siap untuk menikah, karena masih ingin mengejar karier dulu di dunia kerja. Apalagi saat ini posisiku sebagai Divisi Pemasaran belum bisa kutinggalkan. Sayang, jika proyek sekian Milyar harus hilang hanya karena menikah sebelum kontrak bujangan habis.
“Rezeki istri itu dari Tuhan dan melalui tangan suami!” sergah ibu.
“Iya, Bu! Tapi belum ada yang cocok dengan Khaula,” elakku pelan.
Ibu mendengus, tak lama tatapannya berubah garang. Aku sebenarnya bahagia, ketika beliau terpancing untuk bersikap diktator. Karena dengan demikian akan semakin lancar jayalah rencana yang mulai tersusun dalam kepala.
“Bu, Khaula mohon. Tunggulah beberapa tahun lagi,” pintaku pura-pura berharap.
Namun Semua itu, tidak membuat tatapan ibu berubah. Aku menunduk, tak mampu membalas tatapan wanita yang selama ini membesarkanku sendiri semenjak ayah meninggal ketika usiaku 5 tahun.
“Ibu semakin tua, Khaula. Sementara usiamu sudah 25 tahun. Sudah pantas untuk bersuami. Ibu malu mendengar gunjingan masyarakat. Kau tahu, kau kini menjadi gelanggang mata orang banyak. Apalagi kau pulang selalu di antar laki-laki berbeda, Khaula.”
Benar sekali perkataan ibu. Aku tahu ibu pasti tersiksa mendengar gunjingan induk-induk yang sering duduk di lapau Mak Tuo Lima. Sambil memilih cabe merah saja, mereka bisa mengumpulkan dosa ghibah sekian kilo. Tapi ada juga sedikit sumbangsihku sehingga mereka menjadikanku topik perbincangan hangat. Sehangat teh telur itik pagi hari.
Bagaimana tidak dipergunjingkan. Kadang-kadang aku pulang diantar Heru, kadang Irwan, kadang Juki yang gantengnya kayak artis Korea. Sudah pasti anak-anak gadis mereka cemburu melihatku gonta-ganti pasangan. Itu, kan, menurut mereka. Padahal mereka semua Team Workku di Perusahaan Kontruksi, bukan pacar. Mereka saja yang kebaperan.
Dimana-mana, Perusahaan yang bergerak dibidang bangunan itu kebanyakan tenaga kerjanya laki-laki. Dan kini aku bagian dari mereka, karena aku lulusan Desain Grafis. Inginku terangkan agar tidak timbul fitnah. Tapi mereka tidak akan pernah mau mendengar. Sebab sudah menjadi fitrahnya wanita memiliki dua mulut, hust! Parno.
Sekarang lupakan pergunjingan, aku kembali menatap ibu dengan tatapan sendu. Maaf, Bu. Aku sebenernya mau segera menikah dengan Khalid, kapan perlu besok pagi. Karena aku akan membuat surga yang ia impikan menjadi neraka.
“Khaula ini amanat ayahmu. Apa kau mau ayahmu bersedih di kuburnya karena menolak Khalid ?” tanya ibu parau.
Aku menarik nafas panjang, lalu kuraih tangan keriput wanita tercintaku.
“Tapi apa Khalid setuju, Bu. Bukankah ia sudah memiliki tunangan?” tanyaku menyelidik.
“Khalid mau, demi amanat bapaknya juga. Kalian sebenarnya sudah dijodohkan semenjak bayi. Jadi walau bagaimanapun, kalian akan tetap menikah,” jelas ibu runut.
Yes! Aku mengangguk. Seketika itu juga ibu tersenyum dan memelukku. Pembalasan itu segera datang, sayang! Kita lihat nanti! Mataku membulat, bibir memanjang ketika kepala berada di pundak ibu.
Tidak menunggu waktu lama. Seminggu setelahnya dilaksanakan acara adat baretong. Segala tetek bengek diperbincangkan dalam rapat keluarga, sampai ke mufakat suku. Bagaimana bentuk ‘baralek’ku nanti. Apa pakai nasi jujung 5 gantang’kah, atau 7 gantang.
Akhirnya diputuskan pakai nasi 7 gantang. Tentunya baralek yang lumayan besar. Setidaknya aku harus mengorbankan seekor sapi untuk sanak kerabat serta tamu dan undangan.
Tapi, tidak mengapa. Setidaknya aku bisa membalas sakit hati pada Nazima. Selain sahabat kecilku, ia adalah ‘bako’ku, anak Etek Liza adiknya almarhum ayah dan aku akan memakai suntiang di rumahnya, lalu diarak dari sana bersama Khalid menuju rumahku. Aku mulai membayangkan wajah Nazima, bagaimana keadaannya sekarang. Pasti ia sedang menangisi nasib, sama sepertiku dulu yang ia tikam dari belakang. Pedihnya tuh, di sini! Di dada sebelah kiri.
“Bagaimana Khaula, kau memakai pelaminan dan sunting siapa?” tanya Etek Liza yang memang harus hadir dalam acara baretong ini.
Karena dalam adat Minang, ketika baralek, bako yang menyediakan Suntiang dan Nasi Jujuang.
“Maaf, Tek. Sebenarnya sampai bulan depan itu Khaula masih harus mengerjakan tender perusahaan. Jadi Khaula menyerah saja. Mungkin Nazima bisa bantu mencarikan. Tapi Nazima mau yang warna lembut,” jawabku sesantun mungkin.
Mendengar jawabanku. Sudah pasti Etek Liza kaget. Meski Khalid tidak pernah datang ke rumahnya, setidaknya Nazima pasti sudah bicara.
“Bolehkah seperti itu, Nyiak?” tanyaku pada tetua suku yang selalu dimintai petuahnya.
Kami yang saat ini duduk di lantai beralas tikar pandan, saling berpandangan menunggu jawaban Inyiak Marap.
Wanita tua yang mulai bungkuk itu mendehem, lalu menghapus air sirih yang belepotan di bibirnya. Semenjak awal acara Inyiak Marap tidak hentinya memamah sirih. Seperti menunggu titah Raja kami saat ini.
“Hmm, kalau kau memang sibuk. Tidak apa-apa. Tapi kau harus ingat Khaula, seminggu sebelum menikah kau harus sudah dipingit. Kau tidak bisa sembarangan lagi, dan itu!” Inyiak menunjuk cara dudukku yang bersila.
“Kau tak boleh lagi bersila macam laki-laki. Kau itu perempuan, pewaris tatanan adat. Belajarlah bersimpuh dan memakai kain samping!”
Etdah! Satu yang ditanya, menuai seribu jawaban. Susah amat jadi perempuan di Minang ini. Tapi ada benarnya juga sih, bukankah menyerupai laki-laki itu berdosa bagi seorang perempuan ? Seketika itu juga cara dudukku berubah jadi bersimpuh.
Lamunanku tiba-tiba buyar, ketika Khalid ternyata sudah berada dalam kamar mandi di belakangku. Astaga! Jangan-jangan tadi aku lupa mengunci pintu sebelum mengguyur tubuh dengan air, Semua yang aku rencanakan hancur semua dalam sekejap mata terpejam menyesali apa yang teledor dari diriku.