Surat Kanjeng Nabi Muhammad kepada Para Raja

Thaha Husein Sang Pelopor Sastra Arab Modern (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM – Sebagai umat muslim, dakwah menjadi laku yang dianjurkan untuk ditunaikan. Berbagai ayat-ayat di kitab suci dan ejawantah Kanjeng Nabi Muhammad yang direkam dalam hadis menjadi legitimasi, selain dakwah itu sendiri memang bernilai pahala dan diganjar surga.
Di masa kemunculan Islam, Kanjeng Nabi dan para sahabat yang kuantitasnya masih sangat sedikit juga memiliki strategi dakwah yang lazim dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sezamannya. Seperti misalnya, dakwah Rasulullah dengan cara mengirim surat kepada raja-raja yang ada di sekitar tanah Arab, di samping dakwah dengan cara berhijrah dan berperang.
Hanya saja fakta menarik ketika mengajukan dakwahRasulullah melalui surat adalah, Kanjeng Nabi sendiri merupakan seorang yang ummi atau tidak mengenal baca dan tulis (buta huruf). Tetapi jangan lupa juga bahwa, tradisi menulis di tanah Arab sebelum kedatangan Rasulullah telah mengakar kuat dalam bentuk syair dan puisi.
Lantas persoalannya, bagaimana surat tersebut ditulis? Apa isi suratnya? Bagaimana respon raja-raja yang menjadi tujuan surat tersebut dikirimkan setelah mengetahui bahwa yang mengirim adalah Kanjeng Nabi?
Guru Besar Universitas Ibnu Saud, Prof. Muhammad Mustafa Azami mencatat setidaknya ada 65 nama sahabat Kanjeng Nabi, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin yang didapuk menjadi sekretaris.
Nama sahabat tersebut beberapa ada yang mashur di kalangan umat muslim, beberapa ada yang ditemukan dalam kitab tertentu. Sebagian kecil nama masih jarang diketahui oleh umat muslim sendiri, kecuali oleh peneliti dan akademisi.
Sahabat Nabi yang Menjadi Sekretaris
Prof. Muhammad Mustafa Azami mengklasifikasi nama-nama sahabat Kanjeng Nabi itu yang menjadi sekretaris ke dalam tiga kelompok.
Pertama, kelompok sahabat Rasulullah yang kerap diutus untuk menulis antara lain, Ali bin Abi Thalib (bertugas menulis akad atau perjanjian). Ustman bin Affan, Zaid bin Tsabit (bertugas menulis surat kepada para raja), dan Ubay bin Ka’ab, dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Kedua, kelompok sahabat yang ditetapkan sebagai sekretaris. Akan tetapi intensitas menulisnya tidak sesering sahabat yang ada di kelompok pertama.
Di kelompok ini ada nama-nama seperti Abu Bakar ash-Shiddiq (belakangan menyimpan surat-surat Kanjeng Nabi tentang sedekah). Umar bin Khaththab (menyimpan surat-surat Kanjeng Nabi tentang perjanjian dan kesepakatan dari para tokoh terkemuka), Abu Ayyub al-Anshari, dan lain-lain.
Ketiga, kelompok sahabat yang namanya ditemukan di dalam kitab, namun identitasnya belum diketahui apakah secara eksplisit ditunjuk oleh Rasulullah sebagai sekretaris atau tidak. Misalnya seperti Ja’far, al-Abbas, Abdullah bin Abu Bakar, dan lain-lain.
Surat tersebut isinya bermacam-macam disesuaikan dengan penugasan dari Kanjeng Nabi. Hanya saja dalam konteks surat kepada para raja di masa itu, muatannya adalah ajakan untuk mengesakan-Nya, bukan mengakui kekuasaan Rasulullah sebagai figur pemimpin wilayah. Maka dari itu, surat-surat tersebut kental dengan pesan teologis ketimbang politis.
Penguasa Dua Peradaban Besar
Adapun nama raja yang jadi prioritas Kanjeng Nabi adalah penguasa dua peradaban besar yang saling berseteru dari masa ke masa; Romawi Timur dan Persia.
Fauziah Ramdani dalam risetnya Komunikasi Dakwah Rasulullah; Telaah Surat-Surat Rasulullah (2019) memberi keterangan dua respon berbeda dari Romawi Timur dan Persia. Kendati takhta membuat kedua raja sama-sama mesti menegasikan ajakan bertauhid.
Romawi Timur dengan penguasanya Raja Heraclius menerima surat dan memverifikasinya dengan memanggil Abu Sufyan-ketika belum masuk Islam-untuk dimintai keterangan. Keduanya berdiskusi cukup lama, sembari raja menyesuaikan dengan ciri kenabian di kitab sucinya.
Akhirnya Raja Heraclius membenarkan kenabian Rasulullah Saw beserta seruannya di dalam surat tersebut. Hanya saja ia memiliki pertimbangan politis sehingga memilih untuk tidak mengakuinya, tetapi juga tidak meremehkan atau menyerangnya.
Surat Nabi Saw untuk Raja Muqouqis
Sementara itu di Persia, Raja Kisra Abrawaiz menolak dan merobek surat dari Kanjeng Nabi sebelum rampung dibacakan. Ia menilai surat tersebut meremehkannya karena menaruh urutan namanya di bawah nama Rasulullah.
Mendengar respon dari Raja Kisra Abrawaiz, Kanjeng Nabi hanya berdoa agar kelak kekuasaannya diruntuhkan. Doa tersebut terjawab dengan serangkaian polemik di dalam kekuasaannya maupun konflik yang berkecamuk dengan Romawi Timur.
Selain dua penguasa besar tersebut, Rasulullah juga mengirimkan surat kepada Raja Muqouqis yang saat itu menguasai wilayah Mesir dan Raja Habasyah Najasyi yang berkuasa di Ethiopia.
Surat-surat dari Kanjeng Nabi ini selain sebagai strategi dakwahnya, saya rasa juga sebagai pondasi awal dalam membentuk peradaban Islam di masa sesudahnya.
Barangkali kejaya-majuan peradaban di masa Dinasti Abbasyiah bukan hanya mewarisi peradaban Dinasti Muawiyyah. Tetapi juga di masa-masa korespondensi antara Kanjeng Nabi dengan para raja di masanya.
Wallahul’alam.