Sunat Perempuan dalam Fatwa KUPI dan Regulasi Internasional

 Sunat Perempuan dalam Fatwa KUPI dan Regulasi Internasional

Sunat Perempuan dalam Fatwa KUPI dan Regulasi Internasional (Foto/KUPI)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Perkara yang belum jelas hukumnya memang selalu membuat masyarakat bimbang. Salah satunya berkaitan dengan hukum sunat perempuan. Di satu sisi MUI menyatakan sunat perempuan sunah (Fatwa MUI no 9A Tahun 2008).

Sedangkan Kemankes menyatakan sunat perempuan melanggar hak reproduksi dan bisa berdampak pada menurunnya hasrat seksualitas perempuan (Permenkes No 6 Tahun 2014).

Merespon perbedaan pendapat berkaitan dengan sunat perempuan, maka perlu untuk mengetahui bagaimana posisi KUPI dalam merespon isu tersebut.

Perlu juga diketahui bagaimana regulasi internasional mengatur perkara sunat perempuan. Respon KUPI perlu dipertimbangkan karena fatwa KUPI didasarkan pada aturan agama, negara, dan keadaan sosial.

Sedangkan aturan internasional diperlukan sebagai pembanding bagi pengambil kebijakan negara dengan mengetahui bagaimana dunia merespon praktik sunat perempuan.

Sunat Perempuan dalam Fatwa KUPI

KUPI secara tegas menyatakan bahwa sunat perempuan mengandung mafsadat baik untuk jangka panjang maupun pendek.

Karena mafsadat tersebut, maka hukum melakukan sunat perempuan tanpa alasan medis adalah haram. Meskipun dilakukan oleh tenaga medis sekalipun, namun tidak adanya SOP dalam praktik sunat perempuan tetap mendatangkan mudarat.

Praktik sunat perempuan berdasarkan fatwa KUPI, justru semakin menambah rasa sakit pada system reproduksi perempuan.

Menstruasi, nifas, hamil, melahirkan digambarkan oleh al-Quran sebagai sebuah proses yang berdampak pada rasa sakit (adza), rasa lelah (kurhan), dan rasa tersebut terus berulang bahkan berlipat ganda (wahnan ala wahnin).

Dalam kondisi alat kelamin yang sempurna, rasa sakit yang berlipat ganda dan rasa lelah ini sudah dirasakan. Apalagi jika perempuan harus melalui proses panjang tersebut dalam keadaaan alat kelamin yang disunat. Tentu akan mendatangkan rasa sakit yang berlipat ganda.

Untuk memastikan tidak ada lagi praktik sunat perempuan tanpa alasan medis, maka perlu kerjasama dari berbagai pihak.

Pihak tersebut antara lain; pemuka agama harus menampilkan dasar agama yang ramah bagi perempuan, tenaga medis harus tegas melarang praktik sunat perempuan yang dilakukan tanpa SOP, tokoh masyarakat juga harus memberikan edukasi yang berpihak pada pengalaman perempuan.

Mengingat bahaya sunat perempuan, maka KUPI menyatakan bahwa menyalahgunakan wewenang tenaga medis yang melakukan sunat perempuan tanpa alasan medis haram hukumnya.

Fatwa ini diperkuat dengan surat edaran No. HK 00.07.1.31047 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan Bagi Petugas Kesehatan.

Sunat Perempuan dalam Aturan Internasional

Dunia Internasional juga memberikan perhatian yang mendalam berkaitan dengan praktik sunat perempuan.

Hal ini bisa dilihat dari banyaknya regulasi internasional yang menolak praktik sunat perempuan karena bertentangan dengan HAM. Adapun regulasi tersebut adalah sebagai berikut:

The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Poin penting yang diatur dalam ICCPR adalah penolakan terhadap perampasan integritas fisik manusia.

Berbeda dengan sunat bagi laki-laki yang bermanfaat untuk kesehatan, sunat perempuan justru merugikan secara medis, fisik, maupun psikis. Maka praktik sunat perempuan adalah bentuk  perampasan terhadap integritas fisik manusia.

Convention on the Rights of the Child (CRC). Salah satu pasal yang tegas menolak praktik sunat perempuan terdapat dalam pasal 24 ayat 3 CRC.

Pasal tersebut menyatakan perlunya menghapus “praktik-praktik tradisional yang merugikan kesehatan anak-anak.”

Praktik yang saat ini terjadi, sunat perempuan dilakukan saat perempuan berusia dibawah 18 tahun dan mayoritas dilakukan oleh dukun bayi dengan dalih melestarikan tradisi.

Meskipun pelestarian budaya adalah hal baik, namun jangan sampai hal baik tersebut dilestarikan dengan cara yang merugikan.

Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Pasal 3 menyebutkan “hak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu.”

Praktik sunat perempuan bertentangan dengan asas keselamatan sebagai individu, karena berakibat pada pelukaan fisik dan berdampak negative secara psikologis.

Praktik sunat perempuan juga menghalangi kebebasan perempuan untuk mendapatkan hak seksualitasnya.

Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Aturan ini mengatur tentang penolakan terhadap perlakuan diskriminatif pada perempuan.

Sunat perempuan adalah tindakan dsikriminatif yang dilegasi dengan paham agama, dan budaya. Sunat perempuan mengamini inferioritas perempuan atas laki-laki. Karena salah satu tujuannya adalah untuk menekan birahi perempuan agar tidak menjadi binal.

Dari pemaparan diatas, bisa disimpulkan bahwa baik KUPI maupun aturan internasional menolak praktik sunat perempuan.

Penolakan terhadap praktik sunat perempuan ini didasarkan pada kajian yang komprehensif dan mengedepankan pengalaman perempuan.

Dengan mengetahui pandangan KUPI dan dunia internasional tersebut, diharapkan mampu memberi wawasan bagi masyarakat dan menjadi rujukan.

Utamanya sebelum memutuskan untuk melakukan sunat perempuan bagi anak, saudara, tetangga, kerabat dan siapapun yang saat ini dalam keadaan bimbang untuk mengambil sikap. []

Lutfiana Dwi Mayasari

Anggota Puan Menulis sekaligus alumni Magister Kajian Timur Tengah UI. Saat ini mengajar di IAIN Ponorogo. Minat pada kajian gender, perdamaian, hukum, dan politik Timur Tengah.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *