Sumbangan Syi’ah Terhadap Kajian Metode Tafsir Alquran Kontemporer
HIDAYATUNA.COM – Tulisan ini tidak menyebut Syi’ah secara umum, tetapi menunjuk penafsir tertentu dari sekte Syi’ah, representasi dari ulama’ tafsir Syi’ah kontemporer. Tokoh yang dimaksud adalah Muhammad Baqir al-Shadr.
Muhammad Baqr al-Shadar adalah keturunan Rasulullah dari jalur Husain bin Ali. Ia lahir di Kazimia, Baghdad, Irak pada 1 Maret 1931 M dari keluarga yang religius dan taat beragama. Sejak kepergian ayahnya, ia dirawat dan dididik oleh paman dari pihak ibunya yang bernama Murtadha Yasin.
Al-Shadr kecil pertama kali mengenyam pendidikan di sekolah Muntadha al-Nasyr al-Ibtidaiyyah, sebuah sekolah dasar yang didirikan oleh Sayyid Murtadha al-Askari dan Prof. Ahmad Amin pada tahun 1943 M.
Muhammad Baqir al-Shadr adalah anak yang sangat genius. Di usia sebelas tahun, ia mampu menulis buku yang mengkritik para filosof.
Pada usia dua puluh tahun, ia menulis ensiklopedi tentang teoritisasi hukum Islam (ushul al-fiqh). Ketika umurnya telah mencapai tiga puluh tahun, Muhammad Baqir al-Shadr telah menjadi seorang mujtahid ternama di Najaf dengan keahlian fikih dan ushul al-fiqh.
Meski demikian, Muhamamd Baqir al-Shadr juga mahir di dunia tafsir al-Qur’an. Di antara karyanya dalam bidang tafsir adalah al-Tafsir al-Maudhu’i li al-Qur’an al-Karim, al-Madrasah al-Qur’aniyah (The Thematic Exegesis of the Holy Quran), Buhus fi ‘Ulum al-Qur’an (Discourses on Qur’anic Science), Maqalat Qur’aniyah (Essays on Qur’an)dan al-Sunan al-Tarikhiyyah fi al-Qur’an.
Kritik Muhammad Baqir al-Shadr terhadap Metode Tafsir Klasik
Salah satu metode tafsir yang menjadi sasaran kritik Muhammad Baqir al-Shadr adalah metode tahlili. Ia menyebutnya dengan produk tafsir yang bertele-tele (al-syaut al-thuli).
Menurutnya, meski metode tahlili dapat menghasilkan pengetahuan dan pemahaman yang memadai mengenai pokok-pokok Alquran. Akan tetapi metode ini telah melahirkan pandangan-pandangan yang parsial dan atomistik serta belum mampu menyuguhkan pandangan Alquran, berkenaan dengan berbagai bidang kehidupan yang karenanya Alquran diturunkan.
Selain itu, produk tafsir yang dihasilkan cenderung tidak holistik dan belum menyentuh langsung dengan persoalan dan problem-problem kehidupan. Metode tahlili kurang memiliki atensi yang cukup terhadap munasabah ayat.
Hal yang paling memprihatinkan dari metode tahlili adalah munculnya berbagai mazhab yang saling bertentangan dalam Islam.
Alquran dimanfaatkan untuk melegitimasi superioritas mazhab tertentu dalam rangka menarik pengikut dan mencari pendukung. Seperti yang banyak dilakukan oleh aliran-aliran skolastik misalnya terkait persoalan al-jabr, tafwidh, dan al-ikhtiyar.
Metode Tauhidi Solusi Atas Problematika Metode Tafsir Klasik
Berangkat dari ketidakpuasannya terhadap hasil interpretasi dari tafsir klasik dan pertengahan, Muhammad Baqir al-Shadr mengajukan sebuah metode tematik. Ia menyebut metode tawhidi (method of synthetic interpretation).
Metode ini tidak menafsirkan Alquran secara membujur ayat per ayat, tetapi mengetengahkan pandangan Alquran mengenai persoalan atau tema-tema kehidupan. Hal itu menyangkut masalah akidah, sosial dan kosmologi seperti tema tentang tauhid, kenabian (nubuwwah), ekonomi, norma-norma sejarah, penciptaan langit dan bumi dan lain-lain.
Muhammad Baqir al-Shadr menyebut metode tematiknya dengan istilah tauhidi (sintesis). Sebab metode tafsir ini berupaya menyatukan pengalaman-pengalaman manusia (realitas sosial) dengan Alquran, atau istilahnya “min al-waqi’ ila al-Qur’an.”
Bahkan menurutnya, tafsir yang disusun berdasarkan tema-tema tertentu dalam Alquran dan tidak tuntas menyelesaikan problem sosial. Maka ia menyebutnya dengan Dirasah Qur’aniyyah, bukan tafsir tematik.
Prosedur Penafsiran atau Aturan Metodis Metode Tauhidi
Aturan-aturan metodis metode tauhidi sebagaimana disebut secara tersirat dalam kitabnya al-Madrasah al-Qur’aniyyah dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, merumuskan tema-tema realitas. Inilah yang disebut Muhammad Baqir al-Shadr dengan istilah yabda’u min al-waqi’ al-khariji wa yantahi ila al-Qur’an al-karim. Muhammad Baqir al-Shadr menginginkan bahwa al-Qur’an harus dapat memberikan solusi atas pertanyaan-pertanyaan dan problem-problem sosial.
Kedua, mendialogkan tema-tema tersebut dengan Alquran. Setelah menentukan tema seputar kehidupan, penafsir tauhidi mencarikan jawabannya dalam Alquran.
Langkah-langkah berdialog dengan Alquran menurut Muhammad Baqir al-Shadr adalah sebagai berikut:
- Mensinopsis ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan tema-tema tersebut. Mensinopsis yang dimaksud di sini adalah mengumpulkan beberapa ayat Alquran yang berkaitan dengan tema yang sedang dikaji. Setelah itu, penafsir melakukan pembacaan secara berulang-ulang terhadap ayat-ayat yang sudah disinopsis.
- Penafsir harus memposisikan dirinya murni sebagai peneliti, bukan mewakili mazhab tertentu, agar mendapatkan hasil penafsiran yang objektif dan tidak memihak.
- Menganalisisnya secara mendalam. Dalam menganalisa tema-tema tersebut, penafsir memerlukan informasi-informasi sejarah (ilmu tarikh), asbab al-nuzul, munasabah ayat dan piranti analisis lain untuk mendapatkan jawaban Alquran yang utuh dan komprehensif.
- Memberikan konklusi mengenai pandangan Alquran tentang tema-tema yang dikaji. Terakhir yang dilakukan penafsir tawhidi adalah menyusun hasil akhir mengenai konsep Qur’ani secara sistematis sebagai jawaban atas tema-tema yang sudah ditentukan sebelumnya.
Perbedaan Metode Tafsir Tahlili/Tajzi’i dengan Metode Tauhidi
Untuk memudahkan pembaca, memahami perbedaan kedua metode tersebut, berikut tabelnya:
No | Metode tajzi’i/tahlili | Metode tawhidi |
01 | Penafsirannya membujur dari surah al-Fatihah sampai surah al-Nas sesuai sistematika dalam mushaf Usmani | Yang ditafsirkan hanya ayat-ayat tertentu dalam Alquran, sesuai dengan tema yang dikaji |
02 | Min al-Qur’an ila al-Qur’an | Min al-waqi’ ila al-nash |
03 | Yang ditekankan adalah penafsiran literal (harfiah), penafsiran vocabulary, sehingga tafsir yang dihasilkan kurang kontekstual dan tidak menjawab problem sosial (isngle tradition) | Penekanannya pada fungsi Alquran sebagai kitab petunjuk dan pembimbing hidup umat Islam. |
04 | Melahirkan pandangan-pandangan yang parsial (not complete) dan atomistik | Pandangan-pandangan yang dihasilkan bersifat holistik, komprehsnsif dan sistematik |
05 | Kurang memiliki atensi yang cukup terhadap munasabah ayat, meskipun dalam kasus-kasus tertentu juga kadang dijelaskan | munasabah ayat menjadi sangat penting untuk mendapatkan pemaknaan yang utuh terhadap kandungan makna |
06 | Produk tafsir yang dihasilkan bersifat teoritis | Produk tafsir yang dihasilkan bersifat praktis, komunikatif dan solutif |
07 | Peran penafsir pasif | Peran penafsir aktif |