Sultan Hasanuddin : Legenda Ayam Jantan dari Timur

 Sultan Hasanuddin : Legenda Ayam Jantan dari Timur

“Bumi dan laut diciptakan oleh Tuhan untuk kemaslahatan manusia dan kemanusiaan”- Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin adalah seseorang yang disegani kawan dan lawanya (Belanda). Ia diberi gelar “Ayam Jantan dari benua Timur” (The Fighting Cock of The East). Perang melawan Hasanuddin adalah perang paling dahsyat yang pernah dialami oleh Belanda (VOC) di Indonesia.

Sejak abad yang lampau, nama Makassar telah terkenal bukan hanya di dalam neegri, namun juga di luar negeri. Dari permulaan ini hingga pertengahan abad ke-17 adalah merupakan zaman emas bagi kerajaan Makassar. Kerajaan Makassar sebenarnya adalah kerajaan kembar Gowa dan Tallo. Raja Gowa yang disebut Raja Makassar dan Raja Tallo sebagai Mangkubumi Kerajaan Makassar.

Orang melayu menyebut kerajaan ini sebagai Kerajaan Makassar. Menurut Dr. Antonio Into da Franca dalam bukunya yang berjudul “Portuquese Influense” menyatakan, bahwa kerajaan Gowa Tallo menjadi satu sejak tahun 1525 dan kedua kerajaan itu bernama Makassar. Tahun terjadinya peristiwa perang besar yang melibatkan Sultan Hasanuddin ialah semasa Raja Gowa ke-9, Karaeng Tumapakrisik Kallonna dan Raja Tallo ke-3, Karaeng Mangayoang Berang Tunipasukrung. Puncak zaman emas ini adalah pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin.

Sultan Hasanuddin lahir sebelum ayahnya menjadi raja, dan ibunya hanyalah anak raja palili’, yang artinya anak dari raja yang telah ditaklukkan. Tetapi ketika Sultan Muhammad Said mangkat, Kerajaan memerlukan seseorang pemimpin yang kuat. Apalagi melihat adanya bahaya penyerangan orang Belanda terhadap Makassar.

Semasa hidup ayahandanya, Sultan Hasanuddin telah diberikan tugas-tugas kenegaraan, terutama memegang portofolio dalam dan luar negeri beserta pertahanan. Sebenarnya kalau melihat ketinggian derajat kebangsawanan, maka seharusnya Karang Karunrung (Putera karaeng Pattingalloang) yang menduduki tahta kerajaan. Namun berdasarkan wasiat Sultan Muhammad Said dan pengalamannya yang luas, akhirnya Sultan Hasanuddin diangkat menjadi raja.

Saat itu terjadi pertempuran antara Makassar dan Belanda. Pertempuran itu terjadi tidak hanya di darat, namun juga di laut. Pada bulan maret 1654, tidak lama setelah menduduki tahta kerajaan, Sultan Hasanuddin mengirim armada yang kuat ke Maluku. Armada ini terdiri dari 100 perahu-perahu untuk membantu rakyat Maluku mengadakan perlawanna terhadap tindakan kejam Belanda yang dalam sejarah dikenal dengan nama Hongi Tochten (Perang Hongi).

Orang Belanda melakukan sistem Monopoli di Maluku dengan cara yang kejam dan bengis. Penduduk kepulauan Ambon dan Banda dipaksa menjual rempah-rempahnya hanya kepada VOC, dan tidak diperbolehkan untuk menjual kepada pedagang lain. Bagi mereka yang ketahuan akan mendapat hukuman yang sangat kejam. Diantara mereka yang dihukum ada yang dibunuh, sedangkan yang tidak dibunuh dijadikan budak. Sementara kebun-kebun mereka akan dimusnahkan.

Hal inilah yang menyebabkan Sultan Hasanuddin mengirim armada ke Maluku untuk membantu rakyat Maluku melawan kekejaman Belanda. Bahkan Kimelaha di Seram, Maluku yang melakukan perlawanan terhadap Belanda dibantunya dengan mengirim senjata dan tenaga manusia. Karena itu, selain sebagai pahlawan nasional, Sultan Hasnuddina adalah pahlawan kemanusiaan dalam usaha membantu perjuangan rakyat Maluku menghadapi tindakan sewenang-wenang Belanda.

Selain terkenal sebagai Raja yang berani di medang perang, beliau juga dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tanggal 12 Januari 1666 pemerintah Makassar memutuskan mengusir setiap orang Belanda yang berada di daerah pemerintahan Kerajaan Makassar, sehingga orang-orang Belanda itu terpaksa turun ke kapalnya. Setelah itu, pada tanggal 14 Maret 1666 Belanda mengirim 3 orang utusan dengan membawa sepucuk surat permintaan maaf Gubernur Jendral di Betawi disertai dengan tanda mata persembahan yang tinggi sekali harganya.

Persembahan itu kemudian ditolak oleh kerajaan Makassar. Terutama Karaeng Karunrung yang waktu itu duduk selaku mangkubumi kerajaan, ia sudah tidak ingin melihat kedatangan utusan Belanda itu karena telah hilang kepercayaan terhadap setiap perkataan mereka. Kepercayaan ini mulai hilang sewaktu Abraham Strek pada tahun 1615 dikirim ke Makassar utnuk mengurus penghapusan kantor dagang Belanda di tempat itu, dan ia juga mengadakan pesta besar-besaran di kapalnya.

Saat para pembesar dan para tamu tiba di geladak kapalnya, ia menjadikan mereka sandera, namun hanya dua orang selamat, yakti Ince Husain (Syahbandar) dan Karaenga ri Kotengang (salah satu anggota kerajaan) yang ditawan dan di bawa ke Banten.

Sultan Hasanuddin melawan Belanda dalam empat penyerangan. Penyerangan pertama dimulai pada tahun 1660. Belanda mengirimkan 22 kapal besar, 3 kapal kecil dan 8 kapal pendaratan di bawah pimpinan J. Van Dam dan J. Trytman yang berakhir dengan diadakannya perjanjian antara Karaeng popok sebagai wakil Makassar, dan J. Maetsuyker, Gubernur Jendral Belanda di Betawi.

Penyerangan kedua terjadi pada tahun 1666 di bawah pimpinan Cornelis Spellman. Namun saat itu Belanda tidak dapat langsung menyerang sebelum ia mendapat bala bantuan dari kawannya dan kemudian meneruskan perjalanannya ke Buton dan Maluku. Penyerangan ketiga terjadi pada tahun 1667 dimana Belanda mendapat bantuan dari Ternate, Tidore, Buton dan Bone, yang menyebabkan diadakannya Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667.

Langkah perjanjian ini diambil oleh Sultan Hasanuddin untuk mencegah lebih banyak jatuh korban dari kedua belah pihak. Dan lagi saat itu musuh yang dihadapi mereka lebih banyak berasal dari bangsa sendiri daripada yang berasal dari Belanda. Sebagai kepala negara, Sultan Hasanuddin melihat betapa menderitanya rakyatnya dalam pertempuran ini. Ia menganggap bahwa melalui perjanjian ini adalah ‘adempauze’ atau perhentian sementara untuk dapat bernafas lebih baik, guna mengumpulkan tenaga untuk pertempuran selanjutnya.

Beberapa pembesar Makassar dan Wajo yang turut dalam pertempuran ini menghendaki supaya peperangan dilanjutkan. Arung Matao La Tenrilaik to Sengeng bahkan tidak mau menghentikan peperangan selama 10.000 prajuritnya belum punah. Atas nasihat Sultan Hasanuddin, maka La Tenliraik akhirnya pulang ke Wajo untuk menjaga bibit bibit penerus perjuangan agar sampia tidak punah.

Pembesar-pembesar kerajaan Makassar yang tidak setuju dengan perjanjian Bongaya lebih memilih untuk pergi ke tempat lain, bahkan beberapa diantaranya ada yang menjadi pembajak laut yang mana mereka membajak kapal-kapal Belanda di lautan. Orang-orang Makassar pun dipaksa untuk menaati isi perjanjian Bongaya oleh Belanda.

Penyerangan keempat terjadi pada tahun 1669. Peperangan keempat melawan Sultan Hasanuddin  ini merupakan peperangan terbesar yang pernah dialami Belanda di Indonesia “yang mungkin pejuang-pejuang yang telah berusia lanjut di Eropa sendiri belum pernah mendenarnya” (als crijgers van hoogen misschien in Europa zelveniet dikjwils hebben).

Benteng Somba Opu

Benteng Somba Opu tempat kediaman Sultan Hasanuddin diserang dari berbagai penjuru oleh Corneli Spelman dan pasukannya menggunakan meriam dari darat maupun laut. Pada 14 Juni 1669 malam, oleh Belanda telah diletuskan dinamit-dinamit untuk meruntuhkan tembok-tembok Benteng Somba Opu agar memudahkan mereka untuk menyerbu. Akan tetapi penyerbuan Speelman berhasil digagalkan oleh pahlawan Makassar yang mempertahankan benteng itu.

Keesokan harunya pada 15 Juni 1669, terjadi kebakaran di pusat pemerintahan Kerajaan Makassar setelah kurang lebih 30 ribu peluru menembaki pertahanan mereka dalam sehari itu saja. Setelah bertahan beberapa hari pasukan Kerajaan Makassar bertahan di Benteng Sombaopu, akhirnya mereka mengosongkan benteng itu pada 24 Juni 1669. Kosongnya benteng mereka bukan berarti akhir dari perjuangan Sultan Hasanuddin dan pasukannya, namun mereka melanjutkan pertahanan mereka di benteng Gowa di Bonto Biraeng. Dan mulai saat itu pula Benteng Sombaopu diduduki oleh Belanda.

Sultan Hasanuddin meninggal pada usia yang muda, yakni di usia 39 tahun. Setahun setelah terjadi peperangan dahsyat antara Kerajaan Makassar dengan Belanda, tepatnya pada tahun 1670. Dia telah mengabdikan seluruh hidupnya demi perjuangan melawan Belanda. Untuk menghormati jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia menganugrahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Hasanuddin  pada tahun 1973. Dan untuk mengabadikan namanya, nama Sultan Hasanuddin saat ini digunakan sebagai nama Bandara dan Universitas Islam Negeri yang ada di Makassar.

Sumber : Ensiklopedi Pemuka Agama Nusantara

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *