Sulaiman Ar-Rasuli : Ulama dan Pejuang dari Sumatera Barat
HIDAYATUNA.COM – Syekh Sulaiman Haji Ar-Rasuli atau biasa dikenal dengan Inyiak Canduang adalah ulama pendidik, pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) dan perintis kemerdekaan. Lahir 10 Desember 1871 di Canduang IV Angkek, Kabupaten Agam, Payakumbuh, Sumatera Barat. Ayahnya Angku Mudo Muhammad Rasul seorang ulama terpandang di Minangkabau pada masanya. Ibunya bernama Siti Buliah.
Sejak kecil ia dididik dan diarahkan oleh ayah ibunya untuk mendalami ilmu agama. Ia belajar Al-Qur’an kepada Maulana Syeikh Abdurrahman Al-Khalidi, belajar nahwu dan sharaf kepada Syeikh Abdush Shamad Samiak, belajar fiqh dan pemahaman ilmu faraidh kepada Syeikh Muhammad Ali, tafsir, tauhid dan tasawuf kepada Syeikh Abdullah. Selama tujuh tahun (1890-1896) Inyiak Canduang belajar kepada Syeikh Halaban. Bukan hanya menjadi orang yang dipercaya untuk mengajar pada waktu-waktu tertentu, ia juga dijadikan menantu oleh sang guru, Syeikh Halaban.
Pada akhir 1896, Sulaiman kembali ke tanah kelahirannya dengan membawa beberapa orang murid untuk mengajar di kampung selama enam bulan. Kemudian pada 1903 Inyiak Canduang berangkat ke Mekkah untuk menunaikan rukun Islam kelima sekaligus mendalami ilmu-ilmu agama di Makkah.
Selama di Makkah, Sulaiman belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syeikh Mukhtar Atharid Ash-Shufi, Sayyid Ahmad Syatha Al-Makki, Syeikh Utsman As-Sarawaki dan Syeikh Muhammad Said Bashil. Ia juga mendalami ilmu-ilmu ulama Melayu yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman Al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail AL-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain Al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani, Syeikh Muchtar At-Tarid, Sayyid Umar Bajened dan Syeikh Sayid Babas El-Yamani.
Sewaktu bermukim di Mekkah, Sulaiman belajar bersama empat orang temannya yang juga berasal dari Minangkabau, yang kemudian terkenal sebagai Syeikh Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya HAMKA, Syeikh Muhammad Djamil Jambek, Syeikh Muhammad Jamil Jaho dan Syeikh Abbas Abdullah Ladang Laweh Padang Panjang. Pada tahun 1907, Sulaiman pulanhg ke kampung halamannya dan menetap di Candung. Ia kemudian terkenal dengan sebutan Inyiak Canduang.
Pada 1908, ia membuka halaqah pengajian di “Surau Baru atau Surau Tinggi” di Pakan Kamih. Di surau inilah Inyian Canduang mengadakan perubahan terhadap sistem halaqah yang awalnya berupa hafalan, sorogan dan wetonan menjadi sistem yang klasikal berjenjang atau bertingkat. Halaqoh tersebut didatangi oleh seluruh anak dari pelosok nagai Minangkabau.
Berdirinya Madrasaj Tarbiyah Islamiyah Candung pada 1928, memprakarsai munculnya dua madrasah yang merujuk dan berafiliasi kepada madrasah Candung yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho di Padang Panjang yang dipimpin oleh Syeikh Muhammad Jamil Jaho kemudian disusul dengan berdirinya MTI Tabek Gadang Payaumbuhan oleh Syah Abdul Wahid Saleh. Secara genetif Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang merupakan proses dari eksistensi MTI-MTI yang tersebar di Nusantara, tercatat sampai sekarang ada sekitar 216 Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang eksis di Sumatera Barat.
Untuk mengatur dan mengelola semua madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan Madrasah Tarbiyah Islamiyah maka pada 28 Mei 1930 di sepakati berdirinya suatu organisasi yang disebut Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau Perti. Setelah mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah Belanda, Parti memiliki badan hukum tersendiri. Perti tidak hanya menangani masalah pendidikan saja, tetapi juga bidang sosial dengan membangun sejumlah surau, rumah panti asuhan untuk yatim piatu, klinik dan rumah sakit.
Selain aktif di dunia pendidikan, Sulaiman juga aktif di dunia politik dan keorganisasian. Sejak tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho, serta sejumlah ulama ‘kaum tua’ membentuk organisasi bernama Ittihadul Ulama Sumatera (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahlus-Sunnah wal-Jamaah. Inyiak Canduang bersama kedua sahabat ulamanya inilah yang teguh memperjuangkan paham Ahlu Sunnah wal-Jamaah.
Pada mulanya Sulaiman Ar-Rasuli adalah seorang ulama yang anti tarekat sebagaimana gurunya Syeikh Ahmad Khatib. Namun setekah pertemuannya dengan Tuan Syeikh Arsyadi Batu Hampar dan bertukar pikiran dengannya, ia menerima pemikiran Syeikh Arsyadi. Sulaiman mempertahankan tarekat Naqsabandiyah pada setiap tabligh maupun dalam diskusi terbuka. Bahkan ia membantah kerancuan tentang kesehatan tarekat naqsabandiyah yang dituduhkan oleh Syeikh Thaher Jalaluddin al-Falaki dengan menulis buku “Tabligh al-Amanat fi Izalah al-Munkarat wasy-Syubuhat”.
Di samping ulama terkemuka, Inyiak Canduang juga terkenal sebagai ahli adat Minagkabau berkat pergaulannya yang akrab dengan penghulu-penghulu dan para laras yang tergabung dalam organisasi adat yang bernama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau. Karena keahliannya, ia pernah diundang oleh Raja Gunung Sahilan di Taluk Kuantan untuk berdiskusi dalam masalah agama dan adat. Ia berusaha mendamaikan antara adat dan agama. Ia merukunkan kedua golongan yang bersengketa, agar tanah Minang menjadi aman sentosa.
Ia pernah juga menjadi qadhi yang berwenang mengurusi masalah talak, nikah dan rujuk. Dalam buku-bukunya tentang adat ia menegaskan bahwa penghulu berfungsi sebagai penguasa dan ulama sebagai pemimpin agama. Kedua kelompok ini harus saling menunjang dan memperkuat. Bukan sebaliknya, saling mencurigai, membenci dan memusuhi. Buku-buku adat yang ditulis Inyiak Canduang pada hakikatnya adalah penjabaran dari isi perdamaian antara kaum adat dan kaum agama, yang terkenal dengan Piagam Bukit Marapalam yang berisi lima pokok pemikiran yaitu,
- Adat Basandi pada syarak dan syarak basandi Kitabullah
- Syarak mangato, adat memakai atau mengamalkan keputusan itu
- Tetap berlaku semua aturan adat yang tidak bertentangan dengan ajaran agama
- Semua adat istiadat jahiliah dihapuskan, seperti menyambung ayam, merampok, minum-minuman yang memabukkan
- Yang dimaksud dengan pepatah adat : Syarak nan lazim, adat nan kawi ialah agama Islam dalam itikad Ahku Sunnah wal Jamaah dan dalam Syariat mazhab Syafi’i.
Sulaiman Ar-Rasuli juga merupakan tokoh perintis pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Secara historis dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa, Sulaiman memiliki taktik dan strategis yang berbeda dengan ulama-ulama Minangkabau yang bersifat deaktivasi colonial dengan cara membakar jiwa perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Sedangkan garis perjuangan Sulaiman lebih bersifat diplomatik lewat berbagai cara untuk mengusir kolonialisme di Tanah Minang. Secara faktual ada beberapa basis yang dibangun oleh Sulaiman Ar-Rasuli sehingga menjadi piranti bagi perjuangan Sumatera Barat, yaitu :
Pertama, reformasi sistem pendidikan agama di Minagkabau merupakan pondasi bagi pengembangan basis perjuangan rakyat yang dipandang sebagai modal untuk meningkatkan sumber daya manusia dalam rangka memperkuat kaum cendekia dan ulama yang mampu mengorbankan semangat rakyat dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Kedua, formulasi faktor politik sebagai manifestasi political power dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Pada tanggal 28 Mei 1930 Sulaiman Ar-Rasuli memprakarsai berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang berfungsi sebagai pengelola Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah. Namun, karena gejolak reformasi pada tahun 1946 Organisasi Perti yang khitahnya bergerak sebagai organisasi sosial keagamaan beralih fungsi menjadi partai politik.
Ketiga, mendorong terbentuknya laskar-laskar rakyat yang pada akhirnya menjadi kekuatan dominan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Peran yang dilakoni Sulaiman tidak terbatas pada skala sosial dan agama saja, namun juga mendorong lahirnya kekuatan-kekuatan pra-militer yang berfungsi sebagai laskar yang menjaga dan mengawal daerah di mana mereka bertugas.
Sejarah mencatat peran Sulaiman dalam hal ini berawal ketika Jepang mengusulkan dan berdiskusi dengan Inyiak Canduang agar dibentuk laskar-laskar yang aktualnya Jepang ingin mengambil manfaat sebagai tambahan kekuatan militer dalam rangka menghadapi Peran Asia Raya,
Karier politik Sulaiman Ar-Rasuli berlanjut pada masa pendudukan Jepang. Pada masa itu intrik Jepang berusaha melenyapkan partai-partai Islam yang mereka pandang sebagai basis perjuangan rakyat Minangkabau. Akhirnya intrik Jepang pun terlaksana dengan cara meleburkan partai-partai Islam yang ada di Sumatera Barat dengan membentuk satu organisasi Islam yang mencakup sekalian organisasi Islam di Minagkabau.
Organisasi tersebut bernama Majelis Islam Tinggi Minangkabau. Sebagai ketua umum terpilih Sulaiman Ar-Rasuli, ketua I adalah Gaffar Djambek, sekretaris Umum M. Mansoer Daud Datuk Palimo Kayo, Dewan Pengajaran Prof. Dr. Mahmud Yunus, anggota dari Muhammadiyah Sutan Mansur dan dari Perti H. Sirajuddin Abbas. Pada zaman kemerdekaan dan sesudahnya ia menjadi kepala Mahkamah Syariah profinsi Sumatera Tengah (1947), dan menjadi anggota Konstituante.
Sulaiman Ar-Rasuli juga dikenal sebagai ulama yang produktif menulis. Karya-karyanya antara lain : Al-Aqwalul Mardhiyah fil ’Aqidah ad-Diniyah berisikan pembahasan tentang tauhid, Al-Qaulul Kasyif fi Radd ‘ala man I’tiradh ‘ala Akabir karya ini merupakan perkataan pembuka untuk menolak dakwaan orang-orang yang mengingkari ulama-ulama berkaitan dengan permasalahan niat ‘ushalli’ dalam sembahyang.
Adapula kitab ibthal Hazzhi Ahlil Ashbiyah fi Tahrim Qira’atil Qur’an bi ‘Ajamiyah menjelaskan tentang haramnya membaca Al-Qur’an dengan ajamiyah (bahasa non arab), sedangkan kitab Izalatul Dhalal fi tahrim Iza wa Sual berisi kecaman terhadap orang yang menjadikan meminta-minta sebagai mata pencaharian tanpa hajat darurat.