Suamiku Ustadz Ganteng

Apa rasanya jika cinta yang diperjuangkan berakhir dengan penolakan? Sakit? Kecewa? Itu yang kurasa dulu.
“Jadi, kehadiran kami ke sini untuk mengkhitbah putri Kiai, Fida Nurlaeli. Untuk anak kami Zafran,” ujar Abi dengan lembut dan tegas. Aku hanya mampu menunduk tanpa berani melihatnya. Jantungku memompa cepat, peluh turun dengan deras.
Fida, salah satu santri sekaligus putri Kiyai juga merupakan gadis yang namanya kusebut dalam doa. Kini tengah berhadapan denganku yang akan segera menghalalkannya.
“Kalau saya terserah Fida. Saya berharap bisa berbesan dengan Abi. Tapi, keputusan berada di tangan Fida.” Kiyai yang merupakan salah seorang pengelola pondok ini menatap kami dengan tatapan teduh.
“Gimana Nak Fida,” tanya Umi.
Sedikit melirik ke arahnya, ia terlihat menunduk, memainkan jemari sambil sesekali memintal ujung kerudung. Kami tak pernah berpacaran atau berbicara berdua. Hanya saja, kebersamaan kami bersama santri lain tiap mengikuti acara di luar pondok membuat rasa ini ada.
Dia dengan wajah teduh nan manis mampu mengisi relung hati. Kecerdasannya membaca kitab juga patut diacungkan jempol.
“Terima kasih Fida ucapkan kepada Umi, Abi, dan Zafran yang telah hadir. Jujur, Fida sangat senang kalian datang ke sini. Apa lagi untuk mengkhitbah aku.” Ia terlihat menarik napas dalam.
“Fida masih mau melanjutkan mimpi menjadi dosen dengan melanjutkan pendidikan. Jadi, … Fida belum siap menikah.”
Bak disambar petir. Hatiku hancur mendegar semua. Tak hanya aku, abi, umi dan Pak Kiyai juga terlihat memberikan reaksi sama.
“Kamu yakin?” tanyaku pada akhirnya.
“Iya. Kamu … mau nunggu aku, ‘Kan?” pintanya.
“Kau bisa melanjutkan mimpimu setelah menikah. Aku tak akan menganggu hal itu. Bahkan aku siap berkerja keras untuk itu semua.” Aku berusaha membujuknya.
“Aku gak mau. Kamu tunggu aku, ya?” pintanya lagi.
Aku menarik napas dalam, lalu mengangguk.
“Aku akan menunggumu semampuku. Jika nanti ada yang siap menghalalkanmu, terima lah. Namun, jika aku tak kuat dan memilih wanita lain. Maka ikhlaskan aku.” Kini giliran Fida yang menatapku dalam. Sedetik kemudian ia menunduk.
“Kalau kamu benar cinta aku. Kamu akan menungguku.”
“Cinta yang benar itu menghalalkan. Bukan menambah dosa dengan memikiran dan membiarkan. Apa lagi menjalankan apa yang dilarang agama. Aku sudah membuktikan cintaku dengan datang ke sini.”
“Tapi, Zafran,”
“Maaf, Pak Kiyai. Saya pamit.”
Tak ku hiraukan lagi panggilan Fida padaku. Usahaku menghalalkannya sudah kubuktikan. Semua kembali ke dia.
“Umi yakin kamu kuat. Kalau pun tidak, semoga Allah tunjukkan jalan untuk jodohmu kelak,” ucap Umi saat perjalanan pulang.
Setelah kejadian waktu itu, aku masih enggan kembali ke pondok. Biasanya, meski sedang libur. Sesekali aku main ke sana untuk membantu Ustadz dan Pak Kiyai. Kini ….
“Gimana lamaran ente, Zafran?” tanya Firman, salah satu pengajar di pondok ini.
“Ditolak.”
“What? Are you seriously?” tanyanya meyakinkan.
“Huum. Dia mau lanjut S2. Aku diminta menunggu.”
“Kamu tunggu?”
“Iya. Semampuku. Aku anak tunggal, wajar jika diusia yang cukup menikah menjadi targetku kini.”
“Semoga jodoh, ya.” Aku mengangguk sambil merapikan beberapa berkas yang akan dibawa pulang.
Saat perjalanan pulang, aku dan Fida sempat berpapasan. Namun, hanya menunduk sambil melanjutkan langkah masing-masing.
Kulaju kendaraan membelah jalan. Saat berada di lampu merah. Terlihat seorang gadis bergamis tengah memborong makanan yang dijual oleh orang buta. Bahkan ia memberikan uang lebih.
Aku melajukan kendaraan kembali saat lampu hijau menyala. Sempat terlihat wajah gadis itu sejenak. Wajahnya khas kulit orang indonesia yang berwarna coklat tapi terlihat bersih.
Tanpa kusadari, sosok itu menggelitik qalbu.
Bersambung ….