Suamiku Ustadz Ganteng Part 4
“Assalamu’alaikum…” Suara lembut Mas Zafran terdengar. Aku langsung menghentikan aktifitas sambil melirik jam dinding.
“Waalaikumsalam, Mas.” Aku menyambut kepulangannya dengan senyuman. Meraih tangannya dan mengecupnya takzim.
“Kamu masak apa ?” tanya Mas Zafran sambil berlalu. Tak lupa mendaratkan kecupan manis dikedua pipi ini.
“Alhamdulillah. Makanan kesukaan semua. Syukran, Sayang.” Mas Zafran langsung duduk dan menuang nasi dan lauk.
Entah mengapa hati ini terasa sejuk setiap ia makan masakanku dengan lahap. Tanpa pernah peduli dengan rasa. Pernah suatu ketika, aku lupa dan malah memasukkan garam berkali-kali. Mas Zafran tetap saja lahap tanpa komentar apa-apa.
Dia juga selalu mengatakan bahwa makanan yang kumasak sama enaknya dengan buatan Umi. Padahal rasanya jauh banget. Secara beliau punya rumah makan padang.
“Kamu gak makan?” tanyanya membuyarkan lamunan. Aku tersenyum lalu menggeleng.
“Buka mulut,” titah Mas Zafran dengan tangan berada tepat di depan mulutku.
Sedikit demi sedikit ia menyuapiku hingga tandas. Aku yang terpukau dengan senyuman Mas Zafran hanya terpaku sambil terus mengunyah.
“Mas ganteng, ya? Sampai bengong gitu lihatinnya?” tanya Mas Zafran hingga sukses membuatku terbatuk. Dengan sigap ia menuangkan air dan memberikannya padaku.
“Iya. Ganteng banget. Apa lagi pas senyum.” Jawaban jujurku malah membuat hati ini berdesir hebat. Mas Zafran bangkit, mencuci tangan lalu duduk di depanku sambil menatapku dalam.
“Senyum kayak gini?” Jantung memompa lebih cepat, peluh mulai turun, dada berdesir hebat. Saat senyuman manis itu semakin mendekat dan mulai mengirimkan kehangatan pada bibir ini. Lembut dan manis.
“Udah, ah. Mas suka curi-curi kesempatan,” ujarku sambil mendorong tubuhnya menjauh.
“Kamu sudah zuhur?” tanyanya dengan tatapan menggoda.
Lama aku terdiam hingga akhirnya menyadari maksud tatapan itu. Seketika aku langsung meneguk saliva saat mulai faham akan maksudnya.
“Kamu … belum kenyang, Mas?” tanyaku hati-hati.
“Belum. Lanjut makan di kamar, yuk!” ajaknya sambil tersenyum.
Ah! Senyummu kok bisa manis banget, sih. Aku takut kena diabetes kalau sering-sering mengkonsumsi yang manis.
Aku menarik napas dalam lalu mengangguk. Dekapan hangat terasa di bahu saat kami melangkah menuju kamar. Tak lupa menutup pintu dan memastikan semua aman.
“Bismillah,” ucap kami bersamaan saat memulai ibadah.
“Khumairaku,” sapaan lembut Mas Zafran kembali memanjakan pendengaran.
“Iya, Mas.”
“Hari ini Mas akan pulang larut. Persiapan buat tabliq akbar besok. Kamu kalau ngantuk duluan aja. Jangan nunggu Mas.”
“Aku mana bisa tidur kalau gak ada Mas. Gak ada yang ngajiin kalau mau tidur.”
“Ya, sudah. Nanti Mas suruh santri nemenin kamu. Biar gak bosan, ya.”
“Santri mana? Nisa?”
Tawa Mas Zafran pecah. Ia mencubit hidungku berkali-kali.
“Bukan. Kalau Nisa yang ke sini. Hati kamu bakal panas. Gak nyaman. Mas gak mau kamu terluka. Kamu tunggu aja di rumah. Atau mau ke rumah Mama atau Umi? Biar nanti diantar jemput sama supir pondok.”
“Aku di rumah aja. Capek.”
“Ya, sudah kalau gitu.” Mas Zafran mengecup keningku lembut lalu bangkit dan membersihkan diri.
Aku hanya menatap punggung polosnya sambil tersenyum. Selain ganteng, baik, lembut, romantis lagi. Ah! Bagaimana aku mampu mendeskripsikan sosok imamku itu.
Lama aku terdiam hingga akhirnya memutusan membersihkan diri di kamar mandi dekat dapur. Baru saja hendak beranjak, dering ponsel menghentikan langkahku. Sedikit menoleh ke sana dan terdapat nama Ustadzah Fida Nurlaeli.
Hati mendadak panas dan nyeri menjadi satu. Entah mengapa tangan dan pikiran ini bertindak kontras.
Tangan tak henti maju mundur untuk meraih ponsel. Meski pikiran melarang, tapi hati tetap merasa nyeri.
“Kenapa Khumaira?” tanya Mas Zafran saat ponselnya berada di tanganku.
“Ustadzah Fida nelpon. Udah mati nih.”
“Oh. Biarin aja. Paling buat acara besok. Kamu mandi sana.”
Aku mengangguk sambil beranjak menuju kamar mandi.
Sesaat indera penciuman ini dimanjakan oleh harum tubuh Mas Zafran. Kudekap erat tubuh itu sambil menghirup dalam harum tubuhnya.
“Mandi sana! Bentar lagi Asyar. Mas mau ke Mesjid.”
“Gak mau. Syafa suka harum tubuh Mas Zafran. Apa lagi kalau mau ke masjid.” Aku mengeratkan pelukan sambil mengecup punggungnya berkali-kali.
“Iya. Tapi kalau gak dilepas. Mas bisa laper lagi gimana?” tanyanya sambil membelai punggung tanganku.
“Diihh. Mas Zafran genit. Bawaannya laper mulu. Udah gol juga,” ujarku sambil melepas pelukan, mengelus perut yang berisi janin darinya.
“Ini berkah dari Allah. Gak semua pasangan cepat dikasi amanah ini. Kita jaga sama-sama, ya?” Aku mengangguk, mengecup pipinya lalu beranjak menuju kamar mandi. tak terasa selesai mandi aku tertidur pulas.
Aku mengerjab saat alarm ponsel berbunyi. Menoleh ke sisi ranjang sejenak lalu mengerutkan dahi. Tak ada Mas Zafran di sana.
Seketika aku bangkit dan keluar kamar. Senyum terlukis di bibir ini saat melihat Mas Zafran tengah tertidur pulas dengan mengenakan baju koko kesukaannya sambil melipat kedua tangan dan meletakkannya di bawah kepala.
Aku mendekat, bersimpuh, membuka kopiahnya perlahan lalu mengecup lembut keningnya. Ia menggeliat sesekali lalu memutar tubuh membelakangiku. Kudekap tubuh itu erat sambil mengecup pipinya berkali-kali.
Ia membuka mata dan membalikkan tubuh. Menatap netraku dalam lalu tersenyum sambil menarik tubuhku dalam dekapannya.
“Kangen,” ujarnya lembut.
“Baru gak ketemu beberapa jam. Gombal, ih.”
“Sehari gak jumpa sama kamu, Mas kangen banget. Sini.”
Ia bangkit dan menepuk ke dua kakinya. Aku lantas bangkit dan duduk di sana lalu melingkarkan tangan di lehernya.
“Mas kok tidur di sini? Bukannya ketok pintu kamar.”
“Takut ganggu. Hm, kangen kamu banget.” Mas Zafran mengeratkan pelukan sambil mendaratkan kecupan di pipiku.
“Kangen kamu. Sayangnya mau subuh, jadwal Mas jadi imam. Kalau gak ….”
“Kalau gak kenapa?”
“Mas makan kamu.”
Aku mencubit punggung tangannya hingga meringis. Namun, Mas Zafran malah mengeratkan pelukan.
“Mas mau begini sebentar lagi. Kangen gak tidur sambil meluk kamu.” Ia mendekap erat tubuh ini sambil meletakkan kepala di punggungku.
Lama kami terdiam hingga pelukan terasa melonggar. Mas Zafran meletakkan tubuhku di sampingnya, mengecup kedua pipi singkat lalu beranjak mandi. Tak lupa ia memintaku menyiapkan pakaian terbaik.
“Ustadzah Fida.”
Aku menoleh seketika saat kalimat itu terlontar. Netra ini memandang takjub pada sosok gadis bergamis dengan hijab panjangnya. Tanpa makeup berlebihan, pancaran aura dia benar-benar luar biasa. Jika aku saja mengagumi keindahan itu, bagaimana dengan Mas Zafran?
“Kamu lihatin apa, sih?” tanya Mas Zafran.
“Ustadzah itu cakep banget,” ucapku seraya berbisik sambil menunjuk. Raut wajah Mas Zafran berubah seketika. Ia berusaha menutupi rasa gugupnya.
“Itu yang sering ngasi Mas capcay?” tanyaku penuh selidik. Ia menoleh seketika lalu menunduk.
“Berarti benar. Pantas orang-orang di sini memandang sinis ke aku. Secara mantan kamu cakep banget, shaleha lagi. Jauh beda dari aku yang ngaji aja pas-pasan, wajah juga.” Aku menunduk, menahan nyeri di hati.
“Ustadz Zafran,” panggil seseorang hingga kami menoleh bersamaan.
“Kita bahas di rumah. Ustadznya sudah datang.”
“Aku gak mau ikut,” rajukku.
“Tolong jangan kayak anak-anak. Fida itu masa lalu Mas. Kamu masa depanku. Sudah lah. Silahkan ikuti arah santriwati. Kita hanya bisa bersama sampai di sini.” Mas Zafran menunduk. Entah apa yang ada dipikirannya kini. Berulang kali kucoba menebak, tetapi gagal.
Tanpa menunggu reaksiku, Mas Zafran melangkah ke area lelaki. Sedangkan aku dengan langkah gontai kususuri jalanan menuju area wanita. Bersama beberapa santriwati dan wali murid.
Berulang kali airmata ini berusaha kutahan. Meski hati tetap terasa sakit. Satu hal yang baru kuketahui ialah Mas Zafran memiliki masa lalu di sini. Entah bagaimana hubungan mereka dulu.
“Ustadzah.” Terdengar suara gadis tengah memanggil seseorang. Aku yang berusaha menata hati tak memperdulikan hal itu hingga sentuhan terasa di pundak.
“Ustadzah, kita bareng ya?” ajak gadis itu. Dahiku mengerut, berusaha berfikir tentang gadis berseragam itu.
“Bo … boleh. Nama kamu siapa?” tanyaku sambil mengulurkan tangan.
“Nisa. Saya Nisa. Santriwatinya Ustadz Zafran.”
Bak dihujam seribu pedang, rasa nyeri kembali menyeruak. Jika tadi aku melihat Ustdazah Fida, kini Nisa santriwati yang pernah meminta Mas Zafran di kertas ujiannya.
“Mari, Zah.” Aku tersenyum sambil ikut melangkah menyusuri jalanan hingga tiba di area wanita.
Dari area ini, aku tetap dapat melihat wajah tampan Mas Zafran yang duduk dengan gagah bersama Ustadz kondang dari ibu kota. Wajah teduhnya membuat hatiku berdesir. Namun, seketika berubah setelah mendengar obrolan dua orang di depanku.
“Zafran ganteng ya, Fida. Cocok sama kamu yang merupakan anak Kiyai. Sayang banget dia milih orang biasa yang bukan dari kalangan santri.”
Lagi! Hati ini bak disayat pisau lalu diberi cuka dan garam di atasnya. Aku menarik napas panjang menetralisir perasaan. Jangan sampai aku menangis di sini.
Dari sudut mata terlihat Nisa menatapku iba. Mungkin ia juga mendengar obrolan dua orang tadi. Kuremas kerudung sambil beristighfar. Berkali-kali airmata ini kuseka.
“Sudah, lah. Jodoh itu rahasia Allah,” ujar Fida.
“Kamu … masih ada perasaan ‘Kan sama Zafran? Bisa kali kamu jadi istri ke dua. Tak masalah kok dalam agama.”
Jantungku memompa cepat, peluh membasahi tubuh. Ingin rasanya kuraih rambut dan menjambak mereka hingga meringis.
Setelah mendengar obrolan mereka, pikiranku tak tenang. Semua hal yang disampaikan oleh ustadz itu tak singgah sedikitpun. Hingga acara usai, jujur aku tak tahu apa yang telah disampaikannya.
“Mari, Zah,” ajak Nisa sambil tersenyum. Sedangkan aku, hanya meringis menahan perih. Terutama saat Fida menunjukkan keterkejutannya akan keberadaanku.
“Eh, Mbak Syafa. Dari … tadi, ya?” tanyanya ragu. Aku berusaha menyeka air mata lalu tersenyum manis.
“Iya. Saya pamit, Mbak.”
Aku melangkah pergi, membawa luka yang sedikit menganga. Tak kupedulikan panggilan Nisa padaku. Fokusku hanya rumah agar aku bisa menangis sepuasnya.
Hingga tiba di area yang bercampur antara wali perempuan dan lelaki, aku melihat Mas Zafran tengah menatapku sambil mengobrol dengan beberapa orang yang aku tak tahu siapa. Tak tampak raut ke khawatiran di sana. Rasa sakit semakin menghujam.
Tak kusangka memiliki suami ganteng sesakit ini. Apa lagi, saat ia memiliki masa lalu yang jauh lebih segalanya dibandingkan aku.
Bersambung…..