Suamiku Ustadz Ganteng Part 3

“Astaghfirullah.” Aku mengelus dada berusaha mengurangi rasa sesak.
Mas,” panggilku sambil meletakkan mukena yang baru saja kugunakan. Ia yang tengah melipat sajadah menjawab dengan senyuman.
Ah! Melihat senyuman itu hati ini seperti cokelat yang terkena uap panas. Meleleh karena senyumannya.
“Kenapa Khumairahku?” Aku mengerjab seketika saat sebuah sentuhan terasa di pipi. Aroma tubuhnya begitu memanjakan diri.
“Humm, aku mau nanya boleh?”
“Boleh.” Mas Zafran meraih tanganku dan membimbing duduk di ranjang. Kini ia tengah bersimpuh sambil menggenggam erat jemari ini.
“Apa alasan Mas melamarku?”
“Mas sudah pernah mengatakannya saat melamarmu, ‘Kan? Kenapa nanya lagi?” Dikecupnya jari jemari ini lembut hingga menimbulan desiran hebat. Terasa wajah mulai memanas saat kedua netra itu memancarkan keteduhan. Menatap dalam hingga menusuk ke relung hati.
“Aku pengen denger lagi aja. Soalnya … penggemar Mas ‘kan cakep-cakep. Kebanyakan putri Kiyai. Kenapa ….”
“Gak semua hal harus diungkapkan. Kamu yang merasakan. Apa pernah aku nyakiti kamu?”
“Enggak sih. Tapi, …”
“Tapi apa?” Mas Zafran melepas genggaman. Duduk di sampingku lalu menarik tubuhku ke dalam dekapan. Terasa kecupan mendarat di pucuk kepala.
“Aku sayang kamu, Syafa. Karena Allah. Sejak tanggung jawab ayahmu berpindah ke aku. Saat itu juga cinta dan hati ini kuserahkan seutuhnya padamu. Aku menikahimu bukan karena fisik, tapi iman.”
“Apa Mas gak ada niat poligami?” Ia melepaskan dekapan lalu menatapku penuh selidik.
“Emang kamu mau?”
Kenapa hati ini mendadak sakit saat mendengar kalimat itu. Terasa nyeri bak dihujam seribu pisau.
“Kamu mau aku nikah lagi?” Aku mendongak seketika. Terasa kedua bola mata mulai memanas, pandangan mulai tak jelas karena bulir air yang memenuhi netra.
“Waktu Taaruf kamu pernah janji gak akan ninggalin aku meski apa yang nabi Ayub a.s terima terjadi padaku. Lantas … mengapa aku harus berbohong? Aku akan mencintaimu seperti Rasulullah mencintai Khadijah. Tak mendua hingga akhir hayat.” Aku tersenyum sambil kembali mendekapnya erat.
“Mas, Syafa sayang kamu banget.” Aku mengeratkan dekapan. Di dalam hati ini, aku terus bersyukur mendapati lelaki sebaik Mas Zafran.
“Sayang,” panggilnya lembut.
“Iya, Mas.”
Mas Zafran melepaskan dekapan dan perlahan mengirimkan kehangatan hingga akhirnya kami mengarungi samudera cinta bersama.
Mas Zafran, lelaki tampan nan baik hati yang dengan ikhlas menjadikanku bagian dari hidupnya dan yakin jika diri ini mampu menjadi madrasah pertama anak kami.
Mas Zafran, seorang putra salah satu ulama yang dengan keyakinan penuh lebih memilihku dari pada putri Kiyai tersohor. Kini telah menanamkan benih di rahim ini.
Hari baru, semangat baru dengan cinta yang semakin bersemai dalam hati. Terutama setelah kami kembali melaksanakan ibadah sebagai suami istri.
“Eh, Neng Syafa. Mau masak apa?” tanya salah satu ustadzah yang tengah berangkat bekerja.
“Mau masak sop, ayam goreng dan sambal kecap,” jawabku dengan semangat.
“Sekali-kali masakin capcay. Kesukaan Ustad Zafran, tuh.” Seorang tetangga berujar dengan penuh semangat.
“Iya, ‘Kah? Baik lah. Sekali-kali saya akan masak? Ngomong-omong … kok Ibu tahu, ya?” Aku menatapnya dengan penuh curiga.
“Lha? Kan dulu Ustadzah Fida sering minta masakin itu. Buat Ustadz Zafran katanya. Semua yang di sini juga tahu. Heran aja akhirnya nikahnya sama kamu. Padahal ‘kan mereka itu pasangan serasi ….”
Tak sanggup mendengar kelanjutannya, aku memilih beranjak meninggalkan tukang sayur keliling. Hati ini panas, bak dibakar. Perih seperti luka menganga yang disiram air garam dan cuka.
Perlahan air mata ini menetes hingga tak menyadari seseorang tengah menatapku hingga sentuhannya membuatku mendongak.
“Kamu kenapa, Khumairaku?” tanya Mas Zafran lembut. Aku hanya menoleh ke belakang sejenak lalu melangkah menuju dapur.
Tak kuhiraukan sapaan Mas Zafran hingga terdengar langkah kaki mendekat.
“Kamu kenapa?” tanyanya sambil mengambil dan meletakkan barang belanjaan di meja. Dibaliknya tubuh ini, membingkai wajah lalu mengecup kening lembut.
Ke dua netra itu kembali mengirimkan desiran hebat.
“Kamu kenapa? Kok gak jawab? Hah?” Aku menggeleng sambil berusaha menyeka airmata.
“Sayang,”
“Siapa Ustadzah Fida? Kok aku gak pernah tahu? Kerja di sini, ya?” Perubahan raut wajahnya terlihat jelas. Ia menunduk lalu seketika tersenyum.
“Iya. Emang kenapa?” tanyanya sambil mengambil dan mengenakan sepatu.
“Kok tumben kamu gitu. Pacar kamu, ya?” tanyaku penuh selidik.
“Enggak.” Jawaban itu terdengar mantap.”Kamu kenapa? Dengar apa lagi di luar?”
“Tuh, ada yang bilang kamu sering dimasakin capcay sama Bu Fida.”
“Gak pernah, ih. Kamu ini. Sudah, ya? Mas berangkat. I love you.” Ia beranjak setelah mengecup kedua pipi ini.
Entah mengapa hati ini terasa nyeri. Tak biasanya reaksi itu diberikan Mas Zafran. Biasanya dia hanya tersenyum menanggapi setiap pertanyaanku tentang penggemarnya. Namun, kali ini … siapa sebenarnya Fida itu?
Bersambung…