Strategi Sunan Ampel dalam Berdakwah di Kampung Ampeldenta
HIDAYATUNA.COM – Raden Ali Rahmatullah atau biasa disebut Sunan Ampel adalah tokoh Islam yang hidup pada abad ke-15. Sunan Ampel lahir pada tahun 1401 M. Ia merupakan salah satu penghulu dalam menyebarkan Islam di Nusantara, khususnya pulau Jawa.
Kedatangan Sunan Ampel ke Jawa, menurut Agus Sunyoto dalam Sunan Ampel: Taktik dan Strategi Dakwah Islam di Jawa Abad 14-15, erat kaitannya dengan peperangan besar bangsa Champa melawan Vietnam. Ini terjadi sebelum tahun 1446, yang mana pada tahun tersebut Vietnam sedang gencar-gencarnya melakukan intervensi ke Champa.
Salah satu motif Sunan Ampel adalah hijrah menghindari ancaman Vietnam sekaligus meminta perlindungan kepada bibinya yang menjadi istri raja Majapahit.
Sesampainya di Majapahit, ia disambut hangat oleh sang Raja dan bibinya. Walaupun sang Raja menolak masuk Islam, Raden Rahmat diberi kepercayaan menjadi gubernur di Ampel, Surabaya. Penempatan ini tidak di sia-siakan oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan Islam.
Perjuangan Sunan Ampel
Keuntungan lain Sunan Ampel dengan ditempatkannya di Surabaya adalah mudahnya akses informasi — sebab Surabaya merupakan gerbang utama kerajaan Majapahit– dari ibukota melalui jalur perdagangan serta orang-orang Majapahit yang lewat dan singgah di pelabuhan Surabaya.
Dari Majapahit menuju Surabaya inilah Raden Rahmat bertemu Ki Wiryo Saroyo atau dikenal dengan Ki Bang Kuning dan mendirikan tempat ibadah. Tidak hanya itu, Raden Rahmat juga dinikahkan dengan putrinya yang bernama Mas Karimah.
Menurut sumber lain, Raden Rahmat dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila – menurut sumber lain Candrawati– putri Arya Teja dari Tuban yang merupakan menantu Arya Lembusura yang merupakan adipati Surabaya di bawah kuasa Majapahit.
Ketika Arya Lembusura lengser, Raden Rahmatlah yang menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Surabaya. Dari pernikahan inilah estafet perjuangan Raden Rahmat terus berlanjut.
Strategi Dakwah Sunan Ampel
Pertama, dalam bidang pendidikan, Sunan Ampel mendirikan pesantren. Pesantren adalah tempat para santri menerima pendidikan keislaman. Pada masa ini, istilah yang digunakan masih terpengaruh istilah Hindu-Budha dan pengaruhnya masih terasa sampai saat ini.
Istilah salat misalnya, menggunakan istilah sembahyang yang diambil dari kata sembah dan hyang. Istilah langgar (tempat sholat) mirip dengan pengucapan sanggar.
Untuk menyebut para murid yang sedang belajar dipakai istilah santri. Kata ini berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang mengetahui suci agama Hindu. Selain mengajarkan membaca Alquran melalui pesantrennya, Raden Rahmat juga mengajarkan ilmu syari’at, tarekat, hakikat, baik itu lafal maupun maknanya.
Kedua, strategi dan sistem dakwah dilakukan dengan persuasif. Orientasi dakwah tersebut dimaksud untuk penanaman akidah Islam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Serta terhadap mitos-mitos yang bertentangan dengan akidah Islam Raden Rahmat melakukan “perlawanan ideologi”. Jihad “melawan ideologi” ini dimaksudkan untuk memasukkan nilai-nilai Islam dan penanaman akidah.
Melestarikan Tradisi Berbalut Keislaman
Dakwah tak bisa dipisahkan dari latar belakang Sunan Ampel. Dalam arti bahwa, ia hidup dalam berbagai tradisi. Tradisi-tradisi inilah, sekaligus poin ketiga, yang menjadi media Raden Rahmat dalam berdakwah.
Misal, tradisi peringatan kematian orang-orang Majapahit menyebutnya dengan sraddha, yakni meruwat arwah yang dilakukan per-12 tahun stelah kematian seseorang. Setelah muslim Champa hadir yang dipelopori oleh Sunan Ampel, penduduk Majapahit mengenal istilah ‘kenduri’, slametan.
Demikian juga dengan perayaan 1 dan 10 syuro yang ditandai dengan bubur Syuro, tradisi Rebo Wekasan atau Arba’a Akhir di bulan Shafar, tradisi Nisfu Sya’ban dan tradisi lainnya.
Adanya tradisi yang sampai saat ini masih lestari menggambarkan bahwa dakwah Islam di Nusantara, khususnya Indonesia, tidak dilakukan dengan kontak senjata. Islam disampaikan dengan wajah ramah dan rahmat bukan marah dan laknat.
Terkait wafatnya tidak ada keseragaman kapan Sunan Ampel meninggal dunia. Akan tetapi, dalam catatan Agus Sunyoto, setelah 2 tahun sejak peresmian Masjid Agung Demak pada tahun 1470, Sunan Ampel wafat di masjid Ampel dengan diberi candrasengakal “Ngulama Ampel Seda Masjid” yang menunjuk pada tahun 1401 saka atau bersamaan dengan 1481 masehi.
Referensi :
Agus Sunyoto, Sunan Ampel: Taktik dan Strategi Dakwah Islam di Jawa Abad 14-15, Surabaya: LPLI Sunan Ampel, 1987.
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo Sebagai Fakta Sejarah, Depok: Pustaka Ilmiah, 2016.