Spirit Literasi Menumpas Radikalisme

 Spirit Literasi Menumpas Radikalisme

Spirit Literasi Menumpas Radikalisme (Ilustrasi/Hidayatuna)

Artikel berikut merupakan kiriman dari peserta Lomba Menulis Artikel Hidayatuna.com yang lolos ke tahap penjurian, sebelum penetapan pemenang. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

HIDAYATUNA.COM – Membaca memang unsur penting dalam memperoleh suatu pengetahuan, bahkan ayat yang pertama kali turun dari kitab suci umat Islam yang berbunyi iqra itu memiliki arti bacalah! Hingga diulang dua kali. Hayo, buat apa coba sampai diulang-ulang, kalau bukan untuk mewanti-wanti pemeluknya agar senantiasa terus membaca.

Bahkan terdapat adagium Arab yang menyatakan “الفهم يأتى بعد القراءة” yang berarti “pemahaman akan datang setelah membaca”. Dengan demikian untuk memanen buah pemahaman portal pertama yang harus dilalui adalah membaca.

Membaca apa pun itu, baik yang berkaitan dengan buku-buku maupun di luarnya. Seperti membaca realitas kehidupan dan pengalaman-pengalaman pribadi maupun orang lain.

Dari judul di muka, mengapa spirit literasi yang dipilih sebagai jalan alternatif untuk menangkal virus radikalisme yang merebak di platform media, bukan yang lain. Adalah karena literasi hal vital yang harus dimiliki setiap orang, sebab mereka yang mengidap hoax bukanlah mereka yang tidak tahu membaca.

Tapi bagaimana kemampuan berliterasi dapat mengolah dan memilih informasi yang begitu melimpah-ruah.

***

Sebelum pada inti persoalan, hal utama yang perlu dikemukakan di sini adalah penjernihan definisi literasi itu sendiri yang terkadang dipahami secara sempit. Yakni sebatas pada kemampuan seseorang dalam memahami pengetahuan melalui teks-teks saja.

Saya sendiri lebih sepakat dengan Iqbal Aji Daryono yang mengganggap literasi sebagai sikap mental, bukan sesederhana sikap mau membaca teks, apalagi sekadar mau membaca buku. Dengan kata lain, literasi itu rakus akan pengetahuan sekaligus sikap berusaha memahami pengetahuan. Secara lebih holistik dan komprehensif dari beragam sudut pandang dan proses pemahamannya dilewati dengan sikap kritis dan skeptis. (Hal. 101)

Jika kita sandingkan dengan pola kehidupan kita sekarang yang dekat dengan dunia digital, semua pernak-pernik kehidupan sekarang serba berteknologi, dan beragam fasilitas lainnya telah hampir menggunakan mesin semuanya. Ini sebagai bentuk kemajuan peradaban manusia termasuk kemudahan akses internet juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia.

Dari beragam kemudahan tersebut, kemudian menjadikan media sosial sebagai medan pertarungan ideologi-ideologi yang dipunya. Jika boleh jujur, dalam proses marketing ideologi di pasar maya, Islam fundamentalis lah yang lebih banyak dikunjungi, orang-orang menyebut mereka Islam garis keras.

Betapa tidak, coraknya yang rigid, sedikit banyak menggunakan narasi yang menyulut kemarahan, menebar benih-benih kebencian melalui platform media sosial sebagai wahana transfer ideologinya. Sehingga tak jarang muncul upaya kafir-mengkafirkan, berbeda paham sedikit ahlu bid’ah, munafik, dan lain sebagainya yang sama buruknya.

Bahkan yang paling sadis akan membiak teror-teror yang melegalkan pembunuhan dengan dalih jihad di jalan Tuhan, inilah bagian dari konsekuensi ideologi ekstrimisme-radikalisme yang mengakar.

***

Konsekuensi logis dari benturan ideologi radikalisme vis a vis ideologi Islam moderat yang kian subur itu saling berebut kebenaran. Saling tarik-menarik kelayakan otoritasi keagamaan di depan publik maya maupun nyata. Sementara keduanya sama-sama saling menyuguhkan ayat beserta hadisnya.

Jikalau dilihat sepintas saja, yang tampak akan terlihat sama-sama benarnya, sedang masyarakat dibuat bingung harus memilih mana yang memang benar-benar layak.

Senada dengan hal itu, Haruki Murakami pernah menyatakan suatu pernyataan menarik. “Kalau engkau hanya membaca buku yang dibaca semua orang, engkau hanya bisa berpikir sama seperti semua orang”. Begitu pun apa yang kita baca, tonton, dan lain-lain saat ini, adalah proses pembentukan sikap tindakan kita esok hari. 

Jangan dikira para pentolan Islam garis keras dan para pelaku teror itu tidak membaca. Mereka membaca buku-buku, bahkan boleh jadi dapat dikatakan cukup lahap. Lalu, mengapa bisa demikian?

Dari sinilah spirit kemampuan berliterasi menemukan momentumnya. Mari sejenak kembali pada definisi literasi tadi, paling tidak ada 4 poin utama.

***

Pertama, “rakus pada pengetahuan”, apa pun dan bagaimanapun bentuknya. Terpenting diambil dari sumber yang jelas dan otoritatif, dan tampak integritas keilmuan kontennya.

Kedua, “memahami pengetahuan secara holistik dan komprehensif”. Membaca dari luar saja belum cukup menyentuh esensi yang akan diungkap, apalagi hanya satu dua sumber rujukan. Dibutuhkan sumber lainnya untuk memperkaya khazanah pemahaman dan kedalaman pengetahuan agar terhindar dari pemahaman yang sepotong-sepotong.

Ketiga, “banyak sudut pandang”. Membaca banyak sumber saja pun belum juga cukup. Diperlukan pengayaan sudut pandang yang beragam, agar terjalin pemahaman demi pemahaman dari banyak prespektif harapan. Dengan begitu dapat membangun jalan keluar yang memberikan alternatif pemahaman yang lebih responsif. 

Inilah yang menjadi pembeda pembacaan para pelaku teroris yang membaca itu hanya dari satu preskpektif saja. Betapa pun banyaknya buku yang dibaca, mau ratusan bahkan ribuan, tapi hanya menghadirkan satu prespektif saja, ini juga bermasalah.

Lantaran satu prespektif yang digeluti tadi hingga puncaknya menjadikan pendapat mereka sebagai kebenaran tunggal yang tak terbantahkan. Alhasil ketika muncul orang dengan prespektif yang berbeda, bahkan berseberangan dengan yang dipegangnya kuat-kuat, dianggap kurang baca. Level yang paling buruk “kafir”. Suka tidak suka begitulah realitanya.

Terakhir “ditemani sikap kritis dan skeptis”. Kritis dengan kata lain kita harus pandai memilih mana konten yang pantas untuk dikonsumsi dan diterapkan dalam laku kehidupan dan mana yang tidak. Serta meragukan segala apa yang dilihat sebelum benar-benar mengetahui dan yakin bahwa itu memang benar.

Contoh sederhananya kita temukan pada sosok Zakiah Aini maupun pasutri yang melakukan aksi teror kemarin lalu adalah ekspresi ideologi radikal yang memengaruhinya. Boleh jadi dipengaruhi didikan lingkungannya maupun konsumsi buku maupun teks lain yang dibacanya.

Dalam hermeneutika Gadamer disebut fusion of horizon, menyatunya horizon pengalaman pembaca dengan batas wilayah teks dari hasil pembacaan hingga muncul suatu tindakan. 

***

Paling tidak, dari keempat hal tersebut dibutuhkan dan harus melekat pada kita untuk mengidentifikasi konten yang sarat radikalisme tersebut dengan menelaah alur dakwah yang disampaikan. Apakah mengandung unsur-unsur umpatan, cacian yang memicu pertikaian, takfir, atau menabur benih-benih kebencian apalagi sampai pada dakwah jihad dalam rangka memerangi liyan?

Kembali saya tekankan, hal tersebut bukan hanya pada wilayah buku-buku. Terpenting semangat untuk menggali informasi dan pengetahuan melalui apa pun. 

Dakwah yang beredar pun beraga. Jika didapati dakwah yang sedikit bernada ngegass sebisa mungkin kita menjaga jarak terlebih dahulu (skeptis sejenak) untuk mencari alternatif dakwah lain yang lebih adem, santun dan damai yang menebar kasih sayang bagi sesama.

Mengedepankan selektif, mana dakwah yang mengejek dan mana yang mengajak, yang mengilhami bukan menghakimi, dan yang menghadirkan Islam yang madani bukan yang medeni (Jawa: menakutkan).

Dengan demikian, terciptalah pemahaman yang lebih komprehensif bahwa Islam tidak harus dipandang dari satu sisi saja. Jika kemampuan memilah-milih konten ini melekat, betapa pun banyaknya konten bernada radikal, saya sangat yakin dapat meminimalisir pertumbuhan benih-benih radikalisme-ekstrimisme-terorisme yang kian subur tersebut.

Wallahu ‘alam bi al-shawab

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *