Spirit Juang Santri Melawan Radikalisasi
HIDAYATUNA.COM – Perkembangan teknologi yang tidak dapat dibendung pesatnya, banjir informasi pun demikian deras tidak dapat dihentikan. Berbagai layanan begitu mudah dan murah berserakan dengan aneka macam fitur pendukungnya yang sangat membantu kebutuhan kita.
Layanan itu misalnya dapat dijadikan alat komunikasi untuk saling bertukar kabar dengan teman atau keluarga. Bahkan membuka lapak, hingga ghibah pun juga sering terjadi di sana.
Pada akhirnya desas-desus pemasaran ideologi turut hadir dan menjadi warna di tengah keramaian jagat maya. Platform media sosial pun dijadikan sarana ampuh sebagai medan pertempuran gejolak pemikiran dalam ajang kontestasi menyuarakan ideologi yang dipunya.
Hal demikian pun berpengaruh pada pola dakwah yang dilakukan sekarang. Bahkan dari berbagai platform ini seringkali dijadikan sebagai media untuk mempelajari agama. Siapa sangka berkat kemudahan akses ini, sedikit demi sedikit mengubah pola keberagamaan kita.
Lalu persoalannya, kemana kita harus belajar? “Ya harus ke ustaz lah,” jawab tetangga sebelah. Baik, saya setuju dengan pernyataan tersebut, namun persoalannya kemudian adalah harus benar-benar selektif dalam memilih ustaz.
Ustaz yang jelas memiliki integritas keilmuan yang diakui dalam bidang ilmu keagamaan, rantai keilmuannya pun jelas, kepada siapa ia belajar. Bukan hanya yang pandai beretorika, lihai mencomot ayat tentang ini dan hadis itu. Apakah ini cukup? Tentu belum.
Peran Santri dalam Kehidupan Milenial
Belajar memang baik, namun jika belajar asal belajar bisa-bisa salah jalan. Terlebih dalam mempelajari agama. Apabila kita mau menelisik lebih dalam, pembelajaran agama yang mengemuka (yang paling banyak dikunjungi) di google adalah Islam yang kaku.
Hal ini tampak bahwa otoritas keagamaan di dunia maya diduduki Islam versi ini, orang-orang menyebutnya Islam garis keras. Alhasil produk pembelajar yang dihasilkan menjadi eksklusif.
Mereka cenderung merasa paling benar hingga menyalahkan pendapat yang lain, membid’ahkan, menodong kafir bahkan keluar fatwa halal darahnya bagi mereka yang seberang paham.
Pada puncaknya lahirlah benih-benih terorisme yang merusak stabilitas tatanan sosial hingga meletuslah kekerasan atas nama Islam dengan dalih jihad di jalanNya.
Dewasa ini media sosial telah menjadi teman dekat kawula muda, ketika masyarakat pada umumnya tidak dapat menemui tokoh agama yang menjadi rujukan terdekat. Jelas gadget-lah yang menjadi kunci jawaban dari setiap persoalan yang ingin ditanyakan.
Alhasil, angka terjangkitnya virus radikalisme membiak dan tumbuh pesat. Sebab begitulah yang mereka temukan jawabannya.
Nah di sinilah peran santri dibutuhkan. Kenapa harus santri, mengapa bukan yang lain? Saya berangganggapan bahwa di satu sisi secara histori peran santri bagi kemerdekaan Indonesia tidak bisa dianggap remeh.
Sepak terjang santri dan spirit juangnya dibuktikan dengan Resolusi Jihad. Di sisi lain, modal intelektualisme pesantren yang terpatri dalam diri santri dan bersumber dari tulisan (mengkaji kitab-kitab turats), karakternya cenderung analitik.
Juga lebih menekankan adab, baik dalam berbicara maupun bersikap. Lalu rendah hati, sangat hati-hati dalam memutuskan, serta yang paling penting adalah selalu dikawal seorang ahli, yakni sang kiai.
Jikalau dulu santri hadir dengan gagah beraninya melawan penjajah, santri kini/milenial harus berjihad dengan jalan yang berbeda. Bukan lagi melawan penjajah tapi melawan ideologi Islam yang ekslusif dengan yang inklusif, bukan pula dengan memukul tetapi dengan merangkul.
Betapapun berubahnya zaman, spirit santri tidak akan pernah padam.
Menggemakan Spirit Islam Damai
Dari asal katanya saja, Islam berasal dari kata ‘salama’ yang memiliki arti aman, damai, dan selamat. Sungguh ironi jika ada yang mengatakan Islam agama perang, berarti ia belum memahami secara utuh seperti apa Islam itu sendiri.
Parahnya lagi adalah mereka yang jelas-jelas membunuh masih saja menggemakan takbir dan berdalih membela Allah dan RasulNya.
Di ayat dan hadis mana saja, tidak satu pun melegalkan dan membenarkan tindakan membunuh meski demi Allah dan Rasulnya. Islam adalah risalah damai yang Rahmatan lil Alamin.
Jangankan membunuh, berburuk sangka saja tidak dibolehkan yang dalam bahasa Alquran menyebutnya “dzann” (lihat lebih lanjut, Surah al-Hujarat ayat 12).
Berburuk sangka ini yang jelas-jelas secara diam-diam membicarakan orang (objek ghibah) di belakangnya tanpa sepengetahuan pihak terkait sangat dilarang. Apalagi melukai hingga membunuh.
Dari hal tersebut Alquran menyiratkan pesan kemanusiaan agar manusia senantiasa berbuat lemah-lembut terhadap sesama, saling menghormati, menjunjung tinggi toleransi (tasamuh), kesalingpahaman (kalimatun sawa’), moderat (wasathiyyah), seimbang (tawazun).
Jangan sekali-kali menyakiti sesama walau hanya sebatas berburuk sangka, baik itu pada yang se-agama, sesuku, se-ras, dan sebangsa, ataupun yang berbeda sekalipun dengan dalih apa pun.
Dari spirit kemanusiaan di atas, seorang santri sebagai sosok yang jelas memfokuskan diri dalam mempelajari ilmu keagamaan melalui kiainya.
Seyogyanya santri mengambil peran strategis untuk mengekstrak nilai-nilai wasathiyyah dan menebar rahmah yang terkandung dalam Alquran dan Hadis sebagai kontra narasi atas menjamurnya konten-konten ekstrimis-radikalis di jagat maya.
Melawan dengan Narasi Damai
Saya setuju dengan apa dikatakan Greenberg (2016) untuk menghilangkan pengaruh radikalisme harus dengan counter-radicalization via the internet. Baik itu berupa video-video pendek, untaian hikmah sang kiai, meme atau sebagainya sebagai alternatif lain yang lebih santun.
Strategi perlawanan terhadap narasi yang keras harus dihadapkan dengan dakwah santun ala santri. Harapannya itu dapat menyeimbangi narasi dari kubu ekstrimis dengan memberikan alternatif lain dalam memahami Islam secara lebih komprehensif, tidak dengan kacamata kuda hingga menjustifikasi salah pada paham lain.
Tradisi intelektualisme pesantren yang melekat pada diri santri dapat menjadi tandingan dari konten-konten yang sarat radikalisme dan terorisme ini. Santri harus menjadi golongan yang memberikan jalan alternatif di panggung maya atas kejumudan kaum radikalis.
Hal tersebut guna memberi pemahaman kepada publik luas bahwa Islam tidak harus dipandang satu sisi yang kelakuannya hanya marah-marah. ‘Ke kanan dikit bid’ah, ke kiri dikit kafir’. Jika hal itu terjadi terus menerus betapa banyak nantinya fatwa yang akan keluar untuk melegalkan darahnya untuk dibunuh lantaran berbeda paham.
Saatnya santri bergerak menggemakan Islam yang santun dan cinta damai di kancah dunia digital dengan terus-menerus memberikan kontra narasi dari konten-konten ekstrimisme-radikalisme. Dengan harapan dapat meminimalisir benih-benih terorisme yang kian subur di dunia maya.
Saya sangat optimis betapa pun zaman berubah, spirit perjuangan santri tidak akan lekang oleh zaman meskipun itu era digital. Wallahu a’lam bi al-Shawab.