Spirit Hijrah: Berfikir dan Bertindak Seperti Nabi
HIDAYATUNA.COM – Tepat malam selasa (senin malam) kita memasuki 1 Muharram 1443 H. Satu peristiwa luar biasa yang terjadi pada bulan Muharram adalah hijrah Nabi Muhammad SAW. Hijrahnya Nabi ini pula menjadi tonggak dan titik penting dalam sejarah Islam.
Hijrahnya Nabi ini, dalam catatan Philip K. Hitty, terjadi pada 24 September 622 M. Kejadian ini dikenal dengan sebutan hijrah, lanjut K. Hitty, merupakan rencana perpindahan yang telah dipertimbangkan secara seksama selama sekitar dua tahun sebelumnya. Hijrah, mengakhiri periode dakwah Nabi di Mekkah dan mengawali periode Madinah.
Dalam konteks hijrah inilah, kita yang hadir 14 abad setelahnya, dapat belajar spirit kenabian melalui hijrah. Spirit ini dapat kita teladani berlandaskan QS. Al-Ahzab [33] : 45-46, yakni; mempersaksikan, membawa berita gembira, pemberi peringatan, penyeru kepada Allah, dan mejadi pelita.
Berita Gembira itu Memanusiakan Manusia
Bagaimana cara kita bersaksi? Kalau Nabi bertemu langsung dengan Allah melalui peristiwa Isra Mi’raj kalau kita dengan mentahuhidkan dalam diri kita melalui ajaran yang dibawa Nabi. Juga, sekaligus bersaksi kepada Nabi sebagai pembawa berita gembira. Artinya kata syahidan mengandung prinsip ketuhanan dan kemanusiaan.
Dalam tafsir Al-Misbah, M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa kata mubasysyiran adalah penyampaian janji-janji Allah yang menggembirakan siapa yang menyambut ajaran Islam. Sebaliknya, lanjut Shihab, lawan dari mubasysyiran adalah nadziran. Kalau kata mubasysyir mengandung makna tuntutan untuk mengamalkan amal-amal kebajikan, kata nadzir mengandung pesan agar meninggalkan amal-amal buruk. (Al-Misbah, Vol. 10, hlm. 500)
Akan tetapi, dalam konteks yang lebih luas, berita gembira itu dapat kita artikan sebagai minadzdzulumati ilannur, pembebas dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Artinya, Nabi sebagai pembawa berita gembira memiliki visi misi memanusiakan manusia.
Dalam surah yang lain dijelaskan bahwa tipe manusia yang berkualitas (khairo ummah) adalah, pertama, manusia yang mengajak kepada kebaikan dengan cara humanis (manusiawi) dan, kedua, melarang, mencegah dan mengantisipasi terhadap segala praktek kemungkaran. Artinya, menjauhkan manusia kepada seluruh yang memberhalakan diri kepada selain Tuhan. Bukankah kita sebagi ahsanu taqwim, sebaik-baik penciptaan?
Sebagai Pelita yang Menerangi
- Quraish Shihab, dalam tafsir Al-Misbah mengartikan kata sirajan berarti pelita/lampu. Lampu bisa saja tidak menyala atau nyalanya redup. Ayat ini, lanjut Shihab, ada tambahan muniran yang berarti bercahaya secara terus menerus. Mengutip al-Biqa’i, menurut Shihab, ayat ini tidak menggunakan kata matahari karena pada waktu-waktu tertentu matahari tidak memancarakan cahaya. Penyifatan Rasul sebagai pelita yang bercahaya, setelah menjelaskan kedudukan beliau sebagai penyeru (da’iyan), mengisaratkan bahwa beliau sangat terang dan dapat dilihat oleh siapapun yang membuka matanya. (Al-Misbah, Vol. 10, hlm. 500)
Nabi sebagai da’iyan (penyeru) yang membawa lampu penerang sehingga kita menjadi tercerahkan menjadi al-Insan al-Kamil. Sehingga kita menjadi manusia yang tercerahkan, tidak hanya intelktual tapi juga spirtualiasnya. Itu artinya nabi adalah pendakwah ulung yang dengan pendekatan humanis untuk menyebarkan Islam. Tidak mengkafir-kafirkan, menyesat-nyesatkan, serta mebid’ah-bid’ahkan.
Contoh sederhana adalah bagaimana para walisongo sebagai da’iyan di bumi Nusantara. Strategi budaya adalah kunci. Dakwahnya berisi nilai-nilai Islam tanpa harus menyingkarkan budaya. Justru budaya dijadikan alat untuk menyebarkan Islam.
Sudah seharusnya para pedakwah mengambil spirit visi misi kenabian yang humanis, toleran, dan membahagiakan yang dicontohkan oleh para pendahulu. Selamat menyambut Muharram 1443 H. Semoga kita dicahayai Al-Qura’an dan menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik. Wallahu ‘alam bish-showab.