Spirit Gus Dur yang Tak Pernah Mati Hingga Kini

Gus Dur (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM – Berbicara tentang Gus Dur memang tak akan pernah habis tentang apa yang selama ini oleh beliau ejawantahkan. Beliau juga mengajarkan kepada segenap umat agama dari mana pun.
Wejangannya tentang kemanusiaan melebihi persoalan hanya sebatas suku, agama, politik dan budaya yang berbeda-beda antar manusia. Humornya kadang membuat perut ini tak kuat menahan tawa dan perilakunya akan membuat kagum siapa pun yang melihatnya. Entah dari golongan pengagum maupun pembencinya.
Refleksi tentang beragam nilai toleransi yang diajarkan oleh Bapak Pluralisme ini baru saja kita peringati 30 Desember 2021 lalu. Tentang arti penting menjadi manusia, esensi islam rahmatan lil’alamin dan menjaga persatuan dan kesatuan segenap warga bangsa Indonesia.
Mungkin raga beliau kini tak dapat kita lihat, pandangan beliau tak bisa lagi kita tatap dan wejangan beliau tak dapat lagi kita renungkan. Namun, ajaran, nilai dan segenap norma kini terus diteruskan oleh Gus Dur-Gus Dur lain yang lahir saat ini.
“Banyak tokoh hebat tapi tidak punya kader, hanya punya pengagum. Ketika wafat, yang tersisa hanya pembaca karyanya bukan penerus gagasannya. Gus Dur punya pengagum, murid, kader, bahkan pembenci. Semuanya membuat gagasan, perilak, tindakannya selalu dibahas.” (Nadirsyah Hosen dalam keterangannya tentang Gus Dur).
Ngendikan Gus Nadirsyah Hosen bukan hanya sebatas bentuk kekaguman belaka. Lebih daripada itu, sosok Bapak Toleransi ini memang telah menjadi magnet tersendiri bagi segenap para pengagum, kader, murid, hingga pembencinya.
Bukti konkrit tentang penerusan tentang apa yang telah menjadi gagasan dan prinsipnya dalam berbangsa, bernegara dan beragama adalah lahirnya jaringan Gusdurian. Serta beragam komunitas maupun individu yang bermuara pada pemikiran Gus Dur dari penjuru pelosok negeri.
Gusdurian adalah sebutan untuk para murid, pengagum, dan penerus pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Para GUSDURian mendalami pemikiran Gus Dur, meneladani karakter dan prinsip nilainya, dan berupaya untuk meneruskan perjuangan yang telah dirintis. Juga dikembangkan olehnya sesuai dengan konteks tantangan zaman. (Penasantri.id, 2018)
Itulah yang terungkap pada jaringan’komunitas Gusdurian ini. Mereka inilah penerus nilai-nilai toleransi dan kemanusiaab yang sering digaungkan oleh penginisiasinya “Gus Dur” walaupun tak secara langsung proses pendiriannya.
Banyak nilai toleransi yang dapat kita petik dari sikap-sikap beliau ini. Di mana beliau sangat-sangatlah menghargai dan menghormati penganut agama lain. Beliau juga mengakui Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia hingga rela ke Papua demi melihat kondisi rakyat papua dan menyelesaikan beragam konflik disana.
Gus Dur ‘is Never Die’
Sang tokoh pulang ke haribaan-Nya pada 30 Desember 2009, prosesi Haulnya selalu ramai akan massa yang merayakannya. Mulai dari hanya seputar doa bersama untuk almarhum, mengenang apa yang menjadi ajaran beliau. Lantas merenungkan kembali beragam wejangan beliau yang tak mungkin dapat kita dengarkan secara langsung sekarang.
Nilai toleransi yang mungkin bagi para pembencinya sering dipelesetkan dengan kebablasan dan beragam fitnah yang disematkan kepadanya. Tak lantas ia ditinggalkan oleh para orang-orang terkasihnya.
Masih segar diingatan saat beliau dilengserkan oleh para politisi beserta krooni-kroninya. Dengan hanya memakai kaus dan bercelana pendek dengan lembutnya beliau menyuruh para pembelanya untuk pulang, demi menghindari pertumpahan darah antar sesama anak bangsa.
Lebih dari 3000 orang rela mati demi mempertahankan jabatan Gus Dur sebagai presiden RI pada waktu itu. Akan tetapi, dalam benak beliau persatuan dan kesatuan lebih penting dari sebatas urusan politik.
Sikap beliau inilah yang membuat segenap pencintanya dan penerus gagasannya menangis atas sikap hati yang luas dari seorang ulama kharismatik keturunan pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama ini. Tentunya banyak nilai kemanusiaan yang dijarkan oleh beliau, hingga puncaknya Gus Dur hanya mengatakan “Tak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian”.
Dalam benak penulis menangkap pesan tersirat dari makna dalam dari pesan di atas. Bahwasannya, janganlah hanya gila untuk mempertahankan jabatan sesaat. Kemudian rela menggadaikan persatuan dan kesatuan bangsa yang akan bermuara kepada banyak darah yang ditumpahkan.
Memang benar kini Gus Dur telah tiada namun spiritnya tak pernah padam. Setiap apa yang menjadi gagasannya kini diteruskan oleh para keturunannya, pencinta dan kader-kadernya.