Solusi Masalah Agama

 Solusi Masalah Agama

Seni Merangkai kata Ala Mahbub Djunaidi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Saya sangat senang di setiap pertemuan dengan warga NU yang ada di Taiwan. Dari tiap pertanyaan yang disampaikan, setidaknya, menunjukkan bahwa mereka masih tetap menjalankan ibadah namun menemukan beberapa kendala baik secara fikih, keadaan lingkungan dan sebagainya.

Sejak di Taipei, Keelung, Kaohsiung hingga semalam di Chiayi, beberapa permasalahan dapat tuntas terjawab.

Kalau saya identifikasi solusi atas permasalahan fikihnya dapat dikelompokkan dalam dua hal.
Batas Kemampuan Manusia yang Ditolerir oleh Syariat
Umumnya berkaitan dengan najis. Karena di sini banyak ditemukan masakan atau hewan hidup yang dalam pandangan fikih dinilai sebagai najis mughalladzah, dan tidak ada kemampuan untuk menghindari, disebabkan tugas memasak atau merawat binatang tersebut.

Jika hanya belajar bab najis saja maka akan terasa berat. Beruntung di kitab Fikih juga dijelaskan Ma’fu Anhu, yakni keadaan najis yang ditolerir oleh agama.

Para ulama kita mendasarkan pada dalil:

ﻗﺎﻟﺖ ﺧﻮﻟﺔ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ, ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﺬﻫﺐ اﻟﺪﻡ? ﻗﺎﻝ: «ﻳﻜﻔﻴﻚ اﻟﻤﺎء, ﻭﻻ ﻳﻀﺮﻙ ﺃﺛﺮﻩ»

Artinya:
“Khaulah berkata: “Wahai Nabi, bagaimana jika di pakaian kami yang terkena darah, ternyata darahnya tidak hilang?” Nabi menjawab: “Cukup kamu basuh dengan air. Jika masih ada bekasnya maka tidak apa-apa.” (HR. Abu Dawud)

Khilafiyah Para Ulama
Ini adalah paling banyak menjadi solusi. Alhamdulillah sejak di pondok hingga aktif menjadi juru catat di Bahtsul Masail, khilafiyah atau perbedaan pendapat para ulama kita dapat menjadi solusi saat keadaan tidak memungkinkan untuk mengamalkan pendapat yang lazim dilakukan.

Solusi dari khilafiyah semacam ini juga dirasakan oleh para ulama sejak dahulu, seperti yang terdapat dalam penjelasan berikut:

عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيْزِ كَانَ يَقُوْلُ : مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوْا , لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ (الفقيه والمتفقه – ج ١ / ص ٤٠٤)

Artinya:
“Diriwayatkan dari Qatadah bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata: “Saya tidaklah senang jika seandainya para sahabat Nabi Muhammad tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka tidak berbeda pendapat maka tidak akan ada keringanan.” (al-Faqih wa al-Mutafaqqih, 1/404)

وَقَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ : لَقَدْ نَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى بِأَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ أَنَّكَ إذَا أَخَذْتَ بِقَوْلِ هَذَا أَصَبْتَ ، وَبِقَوْلِ هَذَا أَصَبْتَ . (الفصول في الأصول – ج ٣ / ص ١٣٦)

Artinya:
“Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar berkata: “Sungguh Allah telah memberi manfaat kepada para sahabat Nabi shalallahu alaihi wasallam.

Hal itu dikarenakan, jika kamu mengambil pendapat seoarang sahabat, kamu benar. Dan jika kamu mengambil pendapat sahabat yang lain, kamu juga benar.” (al-Fushul fi al-Ushul, 3/136) []

Ma'ruf Khozin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *