Siti Hajar dan Kisah di Balik Air Zam-zam

 Siti Hajar dan Kisah di Balik Air Zam-zam

Fikih Reproduksi: Bagaimana Hukumnya Sel Telur yang Dibekukan? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Siapa yang tidak kenal dengan Siti Hajar, ibunda Nabiyullah Ismail a.s. Siti Hajar adalah seorang wanita muda Mesir dari keluarga kerajaan yang besar kekuasaannya. Namun ia pada akhirnya menjadi seorang pelayan di kerajaan Sayyidah Sarah, istri pertama Nabi Ibrahim.

Dijelaskan dalam kitab Tarajim bait an Nubuwwah karya Dr Aisyah Abdurrahman yang diterjemahkan oleh Umar Mujtahid. Sayyidah Sarah adalah seorang wanita tua yang sudah menopause dan sudah tidak dapat lagi memberikan keturunan terhadap suaminya.

Suatu ketika, dengan duduk berkontemplasi, terlintas dalam pikiran Sayyidah Sarah untuk menghadiahkan hamba sahaya tersebut kepada suaminya. Singkat kisah, suami Sayyidah Sarah akhirnya bersedia menikahi Siti Hajar.

Seiring berjalannya waktu, Siti Hajar hamil, hingga kehamilannya tersebut menimbulkan kecemburuan bagi Sayyidah Sarah. Kemudian setelah Siti Hajar melahirkan bayi yang diberi nama Ismail, ia tidak mau tinggal satu atap lagi dengan Sayyidah Sarah.

Doa Nabi Ibrahim

Suatu ketika, Nabi Ibrahim, ayah Ismail pergi ke arah selatan, Siti Hajar lalu mengikutinya sambil menggendong anaknya Ismail. Dalam pikiran Ibrahim terlintas untuk mencarikan tempat perlindungan bagi anaknya di Baitul Atiq.

Perjalanan Siti Sarah dan Nabi Ibrahim berakhir di Mekah yang pada saat itu masih berupa tanah tandus dan sepi. Hampir tidak ada yang melintasi kawasan tersebut selain segelintir badui atau sekelompok orang yang bertubuh besar yang cara hidupnya nomaden.

Di dataran tinggi Mekah, Ibrahim meninggalkan Hajar dan anaknya lengkap dengan sekantong kurma dan geriba berisi air. Hajar sangat ketakutan dan meminta tuannya Ibrahim agar tidak meninggalkan dia dan anaknya di tengah padang pasir yang sangat tandus tersebut.

“Hai Ibrahim, hendak ke mana kau akan pergi? Apakah dirimu tega meninggalkan kami di tengah padang pasir yang tandus ini? Apakah ini perintah dari Allah?” tanya Siti Hajar.

“Iya,“ jawab Ibrahim.

Kemudian Ibrahim mengangkat kedua tangannya ke langit ketika ia sudah terhalang celah lembah. Ibrahim menghadapkan wajahnya lalu membaca doa seperti yang tertera dalam surah Ibrahim: 37-38.

رَّبَّنَآ إِنِّىٓ أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيْرِ ذِى زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ ٱلْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجْعَلْ أَفْـِٔدَةً مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهْوِىٓ إِلَيْهِمْ وَٱرْزُقْهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Rabbanā innī askantu min żurriyyatī biwādin gairi żī zar’in ‘inda baitikal-muḥarrami rabbanā liyuqīmuṣ-ṣalāta faj’al af`idatam minan-nāsi tahwī ilaihim warzuq-hum minaṡ-ṡamarāti la’allahum yasykurụn

Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Kemudian Ibrahim meneruskan perjalanan pulang menuju istinya Sayyidah Sarah.

Berlari dari Shafa ke Marwah

Hajar sedang menyusui anaknya dan meminum pembekalan air yang hanya sedikit. Status sebagai seorang hamba sahaya dan derita ditinggalkan seorang diri seakan terlupakan kala memandang anaknya. Perhatian Hajar tertuju pada wajah anaknya nan lembut dan penuh kasih sehingga ia tidak merasakan sendirian.

Setelah persediaan air habis, Siti Hajar tidak tega melihat anaknya yang kehausan. Kemudian ia memandang daerah sekitar dengan mencari bukit yang paling dekat, yaitu Bukit Shafa.

Pergilah Hajar ke Bukit Shafa melihat ke sana-ke mari apakah ada seseorang, tetapi satu orang pun ia tidak melihatnya. Namun, yang ia lihat keheningan dan kesepian.

Siti Hajar lalu turun dari Bukit Shafa dan berjalan begitu cepat melalui lembah bukit tersebut. Kemudian ia berlari menuju bukit Marwah dan berdiri di puncaknya, di sana ia melihat apakah ada jejak kehidupan. Namun, ia tidak melihat jejak apa pun selain kesepian dan keheningan.

Keluarnya Air Zam Zam

Berlari-lari sebanyak tujuh kali membuat Siti Hajar kelelahan. Ia sudah tidak tega memandang anaknya Ismail. Ia melihat kehidupan sedikit demi sedikit yang mulai meredup pada dirinya dan putranya.

Di tengah padang pasir yang tandus, tidak terdengar nafas selain bunyi bayi Siti Hajar yang tengah kehausan, hening di tambah hewan-hewan yang kelaparan yang mengitari tempat tersebut. Ismail pun menangis lalu dan menghentak-hentakkan kaki Ismail ke tanah.

Ternyata hentakan kaki Ismail mengeluarkan air yang berlimpah dari bawah tanah. Kemudian Siti Hajar berkata, “Zam-zam!” (berkumpulah!) hingga airnya berkumpul dan dinamakan air zam-zam.

Mata air yang terkumpul ini juga memicu hadirnya burung-burung. Adapun kafilah (rombongan) yang melihat burung berdatangan ke tempat tersebut langsung bergegas menuju tempat Siti Hajar dan Ismail.

Dari perjuangannya berlarian ke sana-ke mari, cukup menunjukkan bahwa Siti Hajar adalah sosok perempuan yang sangat peyayang terhadap anaknya. Ia rela lari-lari dari Bukit Shafa dan Marwah untuk mendapatkan air. Terlepas dari itu, semuanya adalah takdir dan kekuasaan Allah.

Nafilah Sulfa

https://hidayatuna.com/

Penulis adalah santri aktif Pondok Pesantren Ziyadatut Taqwa Pamekasan Madura, dan Mahasiswi Ilmu Alquran dan Tafsir semester akhir di IAIN Madura. Pegiat kajian Feminisme.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *