Sistem Kenegaraan dalam Islam Menurut KH. Badri Mashduqi
HIDAYATUNA.COM – Badri Mashduqi adalah sosok ulama karismatik yang dihormati dan disegani dari berbagai lapisan kalangan. Bukan saja dari masyarakat kelas bawah, bahkan para kaum elit pemerintah sekalipun pun sangat menghormatinya.
Selain disegani, beliau juga memiliki wawasan yang mendalam dan luas yang melingkupi berbagai macam cabang keilmuan yang dikuasai. Entah itu yang bersifat pengetahuan umum, penguasaan masalah-masalah hukum.
Terlebih khususnya ihwal ilmu keislaman banyak diakui para pihak dan tentu tidak diragukan lagi integritas keilmuannya. Bahkan ketajaman analisa sosial-politiknya sempat menjadi sorotan.
Pada tanggal 1 Juni 1942 beliau dilahirkan, keistimewaan dan kecerdasannya telah tampak dari belia. Sedari kecil ia telah banyak belajar membaca Alquran dengan ibunya, Nyai Muyassarah.
Ia dididik secara langsung oleh mendiang kakeknya KH. Miftahul Arifin yang tinggal di Pamekasan, Madura. Pendidikan formalnya diawali dari Sekolah Rakyat (SR) meski hanya sampai kelas 4 (1950).
KH. Badri pernah nyantri di berbagai pesantren, ia pernah nyantri di Zainul Hasan Genggong, Probolinggo. Di sana beliau telah mampu menghafal alfiyyah 1000 bait selama 25 hari di tahun 1950 M.
Menguasai Kitab Kuning
Di tahun 1956 melanjutkan di Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan. Pernah juga nyantri di pondok pesantren Sidogiri, Pasuruan (1959 M.), dan terkahir di Nurul Jadid Paiton pun turut ia rasakan (1965 M). Bahkan di tahun yang sama ia menjadi pelopor anak muda untuk membasmi pemberontakan PKI.
Terbilang cukup panjang lika-liku perjalanan beliau dalam dunia kepesantrenan. Tentu saja, penguasaan kitab kuning tidak dapat diragukan lagi kemampuannya.
Sampai-sampai KH. Mustofa Bisri mengagumi sosok Kiai Badri dan mengatakan, “Saya kagum pada KH. Badri Mashduqi, beliau dikenal keberaniannya oleh banyak kalangan, dia juga tegar dan tegas dalam mengutarakan suatu pendapat apapun yang ida ketahui pasti ia lakukan.”
Kemudian pada tahun 1967 M. Beliau mendirikan pondok pesantren “Badriduja” yang berlokasi di Kraksaan, Probolinggo. Sebagai seorang kiai/pengasuh sekaligus pendiri pesantren, tidak pernah sekalipun KH. Badri meninggalkan santri-santri dengan dalih banyak kegiatan di tengah-tengah kesibukannya.
Meski kesibukannya bukan hanya sebagai pengasuh, beliau juga aktif menjadi dosen di Ma’had Aly, turut serta andil di dunia sosial keagamaan, menjadi Muqaddam Tarekat at-Tijaniyah, bahtsul masail , mengisi seminar, memberikan ceramah, hingga berkiprah di dunia ke-NU-an.
Bahkan dalam panggung Nahdlatul Ulama, nama beliau cukup populer, beliau pernah menjabat Ketua Pengurus Cabang Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kraksaan, Probolinggo, Ketua Syuriah Pengurus Cabang Kraksaan, dan menjadi jajaran Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. Terlebih dalam urusan Bahtsul Masaail.
Ahlussunnah wa al-Jama’ah dan Kebangsaan
Pernah mendengar adagium yang begitu tersohor yang melegenda dan meletus saat jelang merebut kemerdekaan dari penjajah, yakni “Hubbu al-watani min al-iman”. KH. Badri pun memberikan pandangan yang terkait erat dengan kebangsaan.
Hal ini sebagaimana ditulis KH. Badri pada makalah yang disampaikan dalam Silaturrahmi Ulama Ahlussunnah Wa al-Jama’ah di Jakarta hari Senin, 4 November 1996. Sebagaimana dinukil oleh Saifullah dalam bukunya yang bertajuk KIAI BAHTSUL MASAIL: Kiprah dan Keteladanan KH. Badri Mashduqi (lihat, Saifullah, 2007, 186-190).
Ahlussunnah Wa Al-Jama’ah memang mendominasi di Indonesia dan telah mengakui Indonesia sebagai negara kesatuan yang berpijak pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai urusan yang final dan telah disepakati bersama.
Dengan tegas KH. Badri menyatakan “wa lam yajuz fi ghairi mahdhi al-kufri, khurujuna ‘ala walyyi al-amri” yang memiliki arti begini “selama pemerintah tidak melakukan siasat kekafiran, baik itu dilakukan secara terbuka maupun tertutup. Selama itu pula umat Islam dilarang dan dianggap berdosa besar mengangkat senjata melawan atau memberontak pemerintahan yang sah”. Selama tidak menghalang-halangi penyebaran dakwah islamiyah dan tidak membiarkan benih-benih provokasi yang berpotensi merusak kesatuan negeri ini.
Paling tidak menurut KH. Badri untuk mendirikan suatu bangsa dan negara adalah dengan menegakkan keadilan dan kebenaran, hal inipun dinukil dari ayat Alquran yang berbunyi “Innaallaha ya’muru bi al-’adli wa al-ihsani (QS. An-Nahl: 90) ” serta meningkatkan perbuatan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dengan begitu, akan terbentuk pemerintahan yang mampu menegakkan persatuan dan kesatuan.
Pancasila Satu-satunya Asas Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Badri tidak menolak sedikitpun kehadiran Pancasila sebagai dasar negara dan mengakui sebagai representasi sistem kenegaraan yang sesuai dengan maqasid al-syariah. KH. Badri mengutip penggalan syair yang berbunyi seperti ini “pemerintahan yang bersendikan agama pasti bertahan, sedangkan agama yang didukung pemerintahan pasti kuat”.
Sehingga bagi beliau ajaran Ahlussunnah wa al-jam’ah lah yang paling sesuai sebagai agen-agen moderasi yang jauh dari titik-titik ekstremis. Hal ini yang bagi menurut KH. Badri telah dibuktikan secara konkrit dari bukti ketinggian loyalitas tinggi tinggi dengan tegas menerima pancasila sebagai satu-satunya asas dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jangan sampai apa yang dikatakan Charles Kimball “When Religion become evil”, yang menjadikan agama sebagai alat untuk melegitimasi segala tindak-tanduk tindakan politik yang bersifat destruktif. Betapa banyak negara-negara yang memproklamirkan sebagai negara Islam, namun tidak mencerminkan nilai-nilai islami, bahkan beberapa malah sering terjadi konflik dan menjadi arena perang.
Apa arti sebuah nama, jika tidak mencerminkan nilai-nilai adiluhung yang terkandung di dalamnya. Apa arti sebuah pekikan takbir jika untuk menumpas nyawa?
Apa arti sebuah negara yang mendeklarasikan sebagai negara Islam tapi menjadi arena perang dan konflik yang tak berkesudahan? Nama hanya tinggal nama, yang terpenting menggaungkan dan menerapkan ajaran-ajaran esensial Islam yang begitu adiluhung untuk diwujudkan untuk kebaikan bersama sebagaimana dicita-citakan.
Wallahu a’lam bi al-shawab