Sisi Lain Sang Sufi Reflektif al-Haris al-Muhasibi
HIDAYATUNA.COM – Kita mengenal al-Haris al-Muhasibi sebagai seorang sufi dengan level kerohanian yang telah mapan. Sekian ajaran tasawufnya dalam rangka mendekatkan diri pada-Nya diikuti oleh banyak orang. Bahkan sampai sekarang.
Sufi kelahiran Bashrah pada 165 H/781 M ini merupakan anak dari keluarga yang memiliki kesejahteraan di atas rata-rata pada masa itu. Ayahnya menjadi seorang penganut aliran Muktazilah dan getol menyuarakan gagasan rasionalitasnya. Al-Muhasibi tercatat wafat di Baghdad, kota bersejarah bagi umat muslim pada 234H/857 M.
Di usianya yang masih remaja, al-Muhasibi rajin mengail ragam keilmuan. Tidak hanya ilmu yang saat itu jadi kiblat bagi banyak pembelajar muslim: fikih dan hadits, tetapi juga ilmu-ilmu yang kala itu dinilai tidak terlalu diminati: filsafat, ilmu kalam, dan tentu saja tasawuf.
Karena kerajinannya, sampai-sampai Syamsuddin al-Dzahabi dalam kitabya Tarikh al-Islam (1980) mencatat pujian Ibn al-Arabi untuk al-Muhasibi. Kutipan di kitab: “Ibn al-Arabi berkata: al-Haris al-Muhasibi mempelajari fikih, menghafal hadis, dan mengamalkan praktik-praktik kezuhudan hingga mencapai derajat orang pintar”. Pujian ini menegaskan bahwa figur al-Muhasibi memiliki kualifikasi sebagai pemikir muslim, selain sebagai seorang sufi.
Hal itu juga dibuktikan dengan serangkaian karya yang ditulis dari ragam keilmuan yang telah diperolehnya. Hanya saja, banyak umat muslim yang alpa pada beberapa karyanya yang saya rasa, ada sisi orisinalitas dalam karya tersebut. Salah satunya kitab al-Washaya (1980).
Kitab ini memuat gagasannya tentang psikologi moral dengan nuansa yang cenderung spritual-filosofis. Spiritual menjadi orientasinya, sedangkan filosofis menjadi pendekatannya. Bahkan orientalis kenamaan dari Prancis, Louis Massignon memberi respon yang positif pada kitab tersebut. Dalam Majmu’ah Nusus lam Tunsyar (1980), Louis Massignon menilai bahwa karya al-Muhasibi tentang psikologi moral mewariskan metode dan teori yang tidak ada bandingannya dalam sejarah ilmu psikologi.
Teori al-Muhasibi tentang psikologi moral berbicara tentang pertautan antara perbuatan dan niat. Baginya, perbuatan itu berada di ranah raga, sedangkan niat merupakan laku dari jiwa. Keduanya melebur menjadi satu dalam diri manusia. Maka dari itu, kondisi jiwa seorang manusia akan mempengaruhi perbuatannya, begitu juga sebaliknya. Al –Muhasibi memberi contoh teori ini dengan memunculkan kasus rasa sedih yang dialami oleh manusia.
Pertama, ada rasa sedih karena kehilangan sesuatu yang amat berharga. Rasa sedih semacam ini akan memicu tekanan pada jiwa manusia.
Kemudian selanjutnya, ada rasa sedih karena kekhawatiran pada hal-hal yang akan terjadi besok. Rasa sedih ini membuat manusia menjadi gelisah.
Rasa sedih yang ketiga, muncul karena merindukan sesuatu yang sangat diinginkan, tetapi tidak dapat direalisasikan. Rasa sedih ini membuat manusia mengalami kekecewaan yang cukup berat.
Terakhir, rasa sedih karena mengingat dirinya telah menyimpang sampai berjarak dengan ajaran-ajaran-Nya yang termaktub dalam kitab suci dan suri tauladan Kanjeng Nabi Muhammad. Rasa sedih semacam ini justru mendorong manusia untuk berbuat baik, dari waktu ke waktu.
Bagi al-Muhasibi, rasa sedih di poin pertama sampai ketiga malah berdampak pada kekotoran jiwa manusia. Hal ini ditengarahi tidak adanya sisi religius dalam diri manusia. Adapun rasa sedih yang terakhir, jusru berpengaruh pada kesucian jiwa dengan dorongan untuk senantiasa dekat dengan-Nya.
Saya rasa teori ini dapat digunakan sebagai kacamata untuk memotret kasus-kasus yang belakangan ini kerap terjadi di sekitar kita. Selain untuk memberi ruang bahasan dan diskusi ilmiah, juga untuk mempopulerkan kembali khazanah keislaman yang sempat terpendam berabad-abad lamanya.
Wallahul’alam