Sisi Lain Pernikahan: Mewujudkan Relasi Setara

Pernikahan Bukan Alat Penguasaan (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM – Pernikahan adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan kehidupan. Ia senantiasa ada di sela-sela hidup kita. Bahkan, di waktu yang tidak di tentukan, di antara kita akan mengalaminya. Maka, dalam kehidupan meski tidak wajib, tetapi pernikahan adalah hal yang niscaya ada.
Selama hasrat biologis masih terpelihara, saya kira pernikahan akan senantiasa berlangsung. Hal itu sudah terjadi selama berabad-abad. Sampai saat ini kita melihat pernikah menjadi hal yang langgeng.
Di sisi yang naif, mungkin sebagian kita akan menjadikan nikah hanya sebagai sarana penyaluran hasrat. Memang saya akui bahwa pernikahan di sana untuk memberikan legitimasi halal bagi hal yang haram sebelumnya.
Jika sebelumnya berhubungan badan dianggap hal yang haram bahkan dosa besar, hal itu kemudian bisa dihalalkan. Tetapi, dengan cara dan syarat yang sudah ditentukan, yakni lewat jalan pernikahan.
Pertanyaannya kemudian, apakah benar bahwa pernikahan hanya digunakan sebagai sarana untuk menghalalkan atau ada hal yang lain di sana?
***
Saya secara personal lebih kepada pilihan terakhir, bahwa ada hal lain di dalam pernikahan. Ia tidak hanya sebuah sarana untuk menghalalkan hal yang sebelumnya haram.
Di dalam pernikahan sendiri, terjadi relasi antara dua manusia. Sebab sesungguhnya pernikahan tidak hanya melulu soal berhubungan badan dan memproduksi keturunan.
Seumpama pernikahan hanya sebatas menghalalkan hal yang haram, ia menjadi kurang ideal sejak dalam pikiran. Ia akan mengabaikan suatu sisi, yakni sisi relasi antara seorang lelaki dan perempuan.
Sikap abai seperti ini barangkali juga menjadikan pernikahan menjadi tidak langgeng dan rawan terjadi kekerasan. Disebabkan pernikahan hanya dikira berkaitan dengan berhubungan badan, maka terjadilah kealpaan terhadap pemenuhan hak dan kewajiban.
Untuk menghindari hal semacam itu, menurut hemat saya, paling ideal dengan melakukan rekontruksi terhadap definisi nikah. Sebab, dengan merubah susunan dari yang paling dasar, barangkali akan merubah pola pikir kita terkait nikah.
Saya akan mengajukan suatu definisi dari perspektif klasik. Selanjutnya, mungkin bisa dibandingkan dengan definisi yang lain.
***
Dalam Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, buah tangan Abd al-Rahman al-Jaziri, terdapat beberapa definisi tentang nikah. Definisi tersebut diambil dari beberapa ulama yang semuanya jika disimpulkan hampir senada.
Nikah di sana didefinisikan sebagai akad yang memuat unsur dibolehkannya berhubungan antara dua mempelai. Kemudian ada juga yang mendefinisikan sebagai akad yang menjadikan hak memiliki manfaat dari sebagian atau seluruh tubuh istri.
Dari definisi semacam ini dapat kita baca relasi macam apa yang akan terjadi. Jika meletakkan perempuan di posisi pasif, barangkali akan terjadinya relasi dominasi. Relasi dominasi seperti itu yang membuat pernikahan terlihat kurang ideal karena lagi-lagi ada yang merasa lebih berkuasa antara satu pihak di atas pihak lain.
Sebagai wacana tandingan, saya hadirkan juga definisi dari Muhammad Abu Zahrah. Ia memberi definisi yang lebih merangkul kedua belah pihak, antara suami dan istri. Ia mendefinisikan nikah sebagai akad yang menjadi sarana kebolehan bergaul antara lelaki dan perempuan.
Akan tetapi tidak boleh dilupa, juga tolong menolong dan memberi batas hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Jika disuruh untuk memilih, saya lebih condong kepada definisi yang dilontarkan Abu Zahrah ini.
***
Definisi yang terakhir inilah, menurut pandangan saya pribadi, lebih akomodatif terhadap kepentingan kedua belah pihak. Juga tidak menjadikan seorang perempuan sebagai sesuatu yang pasif. Disebabkan, tidak adanya relasi dominasi antara lelaki dan perempuan.
Sebagai penguat, saya juga sampaikan definisi perkawinan menurut UU. No. 1 tahun 1974. Yakni, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan yang Maha Esa(pasal 1).
Definisi dari UU ini juga menurut hemat saya lebih akomodatif terhadap kepentingan kedua belah pihak. Selanjutnya, yang harus dipahami bersama-sama, bahwa relasi dalam keluarga itu sedikit banyak bergantung pada pemahaman kita ihwal pengertian nikah.
Jika seorang yang memahami dan memberi definisi nikah hanya sebatas hubungan badan, maka ia rawan mengabaikan kewajiban dan hal lainnya. Maka, menjadi sangat penting redefinisi nikah untuk membentuk relasi yang setara.
Di antara sekian definisi yang saya haturkan, pembaca dipersilakan memilih dan berpikir secara analitas terhadap definisi di atas.
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang bermukim di Banguntapan, Bantul, DIY.