Sikap Sains ala Muhammadiyah Sikapi Covid dan Penundaan Muktamar
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menegaskan bahwa sikap menunda Muktamar Muhammadiyah merupakan ikhtiar keagamaan dan keilmuan yang memang harus ditempuh oleh Muhammadiyah.
Sebab, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kata Haedar, Islam menganjurkan supaya seseorang “memelihara nyawa” dan “memuliakan kehidupan.”
“Sains dalam hal ini, membantu kita berikhtiar secara teologis dan organisatoris memilih mana yang paling mungkin sebagai jalan terbaik,” ungkap Haedar Nashir dari laman resmi Muhammadiyah, Senin (20/7/2020).
Ia menjelaskan, dakwah hari ini secara substantif adalah praktik hifz al-nafs yakni mencegah dan menyelamatkan manusia.
“Saya kira, bersama dengan organisasi keagamaan lainnya, secara global, Muhammadiyah berupaya merumuskan sikap terbaik untuk menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19 ini,” jelasnya.
Masyarakat muslim di dunia berkorban besar melalui sikap mawas diri menunda kegiatan keagamaan secara kolektif di rumah ibadah atau ruang publik. Umat muslim belum lama ini menunaikan kekhidmatan puasa ramadan dan Idul Fitri yang berbeda.
“Tidak seperti biasa. Tidak bisa bertemu sapa secara langsung. Tradisi “bersalam-salaman” yang identik dengan Idul Fitri pun tidak bisa dilakukan. Betapa tidak, ini merupakan pengorbanan teologis yang tidak sia-sia, dan justru menunjukkan bahwa kita umat beragama masih menjaga keimanan dengan cara yang bermakna,” sambungnya.
“Begitu pula dengan ibadah harian seperti salat lima waktu dan ibadah salat Jum’at. Tidak bisa diselenggarakan sebagaimana lazimnya,” ungkapnya.
Bersamaan dengan sikap Muhammadiyah untuk menunda Muktamar (termasuk menyelenggarakan Tanwir secara daring), Muhammadiyah menawarkan supaya kaum muslimin bisa mengganti dana kurban menjadi sedekah. Ide ini sesungguhnya adalah cara sederhana yang sangat biasa bagi tradisi sosial Muhammadiyah.
“Bahwa tindakan sosial senantiasa punya makna keimanan yang juga besar dan mulia. Bukankah “memelihara kehidupan” itu sendiri adalah perintah dalam Islam?” ujarnya.
Ijtihad keagamaan itu sendiri, betapa pun jelasnya maksud dan tujuannya, seringkali masih menimbulkan penafsiran berbeda. Ketika Muhammadiyah menyeru menutup masjid untuk salat lima waktu dan Jum’at, banyak juga yang menentang.
“Perlahan, justru banyak yang mengambil inisiatif sendiri untuk menerapkan hal serupa. Memang ijtihad keagamaan harus dilakukan dengan landasan empatik, keilmuan dan keagamaan. Sebab, tidak mudah menyakinkan orang untuk menunda untuk sementara waktu kebiasaan lazim yang telah dilakukan,” tandasnya.