Siapakah yang Menafikan Istiwa’ (bag. 2)
HIDAYATUNA.COM – Dalam tulisan sebelumnya bagian pertama, saya bertanya tentang siapakah yang berkata bahwa Allah tidak ber-istiwa’? Konon kata Syaikh asy-Syinqiti, ada ribuan orang yang berkata begitu?
Saya tunggu-tunggu tidak ada jawaban sama sekal, yang ada hanyalah klaim banyak, banyak, banyak. Tentu klaim semacam ini tidak layak digubris bila ternyata satu pun tidak bisa dibuktikan.
Hanya ada penolakan satu ulama terhadap salah satu pemaknaan istawa yang dilakukan oleh ulama lainnya. Berbeda jauh antara menolak keberadaan istiwa’ itu sendiri dengan menolak salah satu pemaknaan orang lain terhadap istiwa’.
Seperti halnya bila saya berkata bahwa Ronaldo tidak menggeser botol Aqua saat konferensi pers di laga Grup F Euro 2020. Jangan sampai diartikan bahwa saya mengatakan Ronaldo tidak pernah menggeser botol.
Ketika saya mengatakan si A tidak menikahi si B, bukan berarti saya menafikan bahwa si A menikah. Ini logika sederhananya.
Tafsiran Istiwa’ dan Istawa Menurut Ulama
Dalam kasus istiwa’ atau istawa-nya Allah, para ulama menafsirkannya berbeda-beda. Sebagaimana dalam hal-hal lainnya, mereka tidak saling sepakat.
1. Sebagian menafsirkannya sebagai ‘ala wartafa’a, sebagian ulama lainnya menolak penafsiran ini. Bukan istawanya yang ditolak, tapi penafsiran yang ini saja.
2. Sebagiannya lagi menafsirkannya sebagai istawla, sebagian ulama lainnya menolak penafsiran ini. Bukan istawanya yang ditolak, tapi penafsiran yang ini saja.
3. Sebagian pula menafsirkannya sebagai qahhara wa dabbara, sebagian ulama lainnya menolak penafsiran ini. Bukan istawanya yang ditolak, tapi penafsiran yang ini saja.
4. Sebagian lagi memilih tidak menafsirkannya sama sekali dan hanya berpendapat bahwa itu adalah sebuah tindakan yang Allah sebut sebagai istiwa’. Tanpa kita tahu apa sebenarnya itu sebab Allah dan Rasulullah tidak menjelaskannya. Sebagian ulama lainnya menolak posisi ini. Lagi-lagi yang ditolak bukan istawanya, tapi posisi yang ini saja.
5. Penganut aliran sesat mujassimah menafsirkannya sebagai istaqarra atau hulul alias bertempat secara fisik. Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah (Asy’ariyah-Maturidiyah) sepakat menolak penafsiran ini. Lagi-lagi bukan istawanya yang ditolak, tapi penafsiran sesat tersebut.
Berbeda Memaknai Istawa Tidak Berarti Menolak
Intinya, memaknai istawa dengan satu makna tertentu serta menolak makna lain karena dianggap tidak tepat, sangatlah berbeda dengan menolak istawa itu sendiri. Sebagian orang yang dinisbatkan pada ilmu amat sangat disayangkan tidak mampu memahami logika amat sederhana ini.
Mereka membuat narasi seolah siapa pun yang menolak pemaknaan mereka terhadap istawa, maka artinya menolak/menafikan istawa. Bahkan ada yang tanpa ragu mengatakan bahwa saat ini ada banyak orang yang berkata bahwa dirinya menolak istawa dengan alasan macam-macam.
Tentu ini adalah narasi kedustaan yang layak ditaubati, kalau masih takut pada dosa tentunya. Bila sejelas ini masih tidak paham juga, maka Maha Benar Allah yang berfirman bahwa ada manusia yang shummun bukmun umyun fahum la ya’qilun.