Sering Jalan-jalan? Begini Tata Cara Shalat di Dalam Pesawat
Shalat adalah rukun kedua dari rangkaian lima rukun-rukun Islam, dan shalat adalah rukun yang paling ditekankan setelah dua kalimat syahadat. Shalat adalah washilah (media) antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Shalat adalah permohonan atas perkara-perkara yang penting dan pencegahan dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar. Allah Ta’ala berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
Artinya: “Dan mohonlah kalian dengan kesabaran dan shalat.” (QS. Al-Baqarah: 45).
Juga disebutkan dalam firman-Nya:
اُتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
Artinya: “Raihlah apa-apa yang diwahyukan kepadamu dari Al-Kitab dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat melarang dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar.” (QS. Al-Ankabuut: 45).
Salah satu persoalan zaman now yang cukup menarik perhatian adalah status shalat seseorang yang sedang melakukan perjalanan menggunakan pesawat. Terlebih lagi jika yang bersangkutan sedang dalam perjalanan melakukan haji atau umrah.
Telah banyak para ulama kekinian yang membahas tata cara shalat semacam ini. Sebagian ada yang menganjurkan untuk berwudhu sebisanya, atau bertayammum menggunakan debu yang menempel di sandaran kursi, shalat dengan duduk, menghadap ke arah kepergian pesawat, ada juga yang berpendapat salat dengan cara berdiri dengan mencari tempat yang memungkinkan, biasanya di sebelah toilet pesawat, dan menghadap ke arah kiblat.
Jika disederhanakan, ada dua macam persoalan terkait hal ini, yakni status bersuci dan tata cara shalat. Persoalan pertama tentang bersuci, sepertinya agak tidak memungkinkan untuk melakukan wudhu di dalam pesawat mengingat penggunaan air di dalam pesawat yang sangat dibatasi dan dikhawatirkan membahayakan penerbangan. Demikian juga dengan bertayammum, sebagaimana kita tahu bahwa tayammum wajib menggunakan debu yang berasal dari tanah, dan sepertinya agak mustahil dan membuat ragu apakah di sandaran kursi terdapat debu yang mencukupi untuk tayammum.
Persoalan selanjutnya adalah tata cara shalat. Sebagaimana kita ketahui bahwa ada perbedaan antara tatacara shalat sunnah dan fardhu bagi seorang musafir. Musafir yang melakukan shalat sunnah boleh melakukan shalat dengan tidak berdiri dan tidak menghadap kiblat, artinya menghadap ke arah perjalanan kendaraan. Lain halnya dengan salat fardhu, tetap mensyaratkan berdiri dan menghadap kiblat. Sehingga, dengan mengasumsikan penumpang pesawat tersebut masih dalam kondisi tidak batal wudhunya, dia bisa melakukan salat fardhu dengan berusaha berdiri dan menghadap kiblat, dengan mengambil tempat di sebelah toilet pesawat atau tempat lainnya yang memungkinkan. Dia juga bisa melakukan shalat sunnah dengan duduk di kursi pesawat menghadap ke arah perjalanan. Shalat yang dilaksanakan di pesawat hanya dihukumi lihurmatil waqti (memuliakan waktu) dan harus di qadha jika sudah sampai tujuan. Seperti yang dijelaskan dalam kitab Taqrirat as-Sadidah:
وَمِثْلُ ذَلِكَ الصَّلاَةِ فِي الطَّائِرَةِ، فَتَجُوْزُ مَعَ الصِّحَةِ صَلاَةُ النَّفْلِ، وَأَمَّا صَلَاةُالْفَرْضِ إِنَّ تَعْيَنَتْ عَلَيْهِ أَثْنَاءُ الرِّحْلَةِ وَكَانَتْ الرِحْلَةُ طَوِيْلَةً، بِأَنْ لَمْ يَسْتَطِع الصَلَاةَ قَبْلَ صُعُوْدِهَا أَوْ إِنْطِلَاقِهَا أَوْبَعْدَ هُبُوْطِهَا فِي الْوَقْتِ، وَلَوْ تَقْدِيْمًا اَوْتَأْخِيْرًا، فَفِي هَذَا الْحَالَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ اَنْ يُصَلِّي لِحُرْمَةِ اْلوَقْتِ مَعَ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ وَفِيْهَا حَالَتَانِ: 1. إِنَّ صَلَّي بِإِتْمَامِ الرُكُوْعِ وَالسُجُوْدِ: فَفِي وُجُوْبِ الْقَضَاءِ عَلَيْهِ خِلَافٌ، لِعَدَمِ اسْتِقْرَارِ الطَّائِرَةِ فِي اْلأَرْضِ وَاْلمُعْتَمَدِ أَنَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ 2 – وَإِنَّ صَلَّى بِدُوْنِ إِتْمَامِ الرُّكُوْعِ وَالسُجُوْدِ أَوْ بِدُوْنِ اسْتِقَبَالِ الْقِبْلَةِ مَعَ الْإِتْمَامِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ بِلَا خِلاَفٍ
Artinya: “Seperti halnya shalat di kendaraan adalah shalat di pesawat, melaksanakannya diperbolehkan pada shalat sunnah. Sedangkan pada shalat fardhu, jika ia hanya bisa melakukan di tengah perjalanan karena perjalanan jauh dengan ketentuan ia tidak mampu melaksanakan shalat pada waktunya, baik sebelum take off pesawat atau setelah landing pesawat, meskipun dengan cara jama’ takdim ataupun jama’ ta’khir, maka dalam keadaan demikian wajib baginya untuk shalat li hurmatil waqti dengan tetap menghadap pada arah kiblat.” Sedangkan status shalatnya diperinci dalam dua keadaan. (1) Jika dia dapat shalat dengan menyempurnakan gerakan ruku’ dan sujud, maka dalam hal wajib tidaknya mengulangi shalat terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Perbedaan pendapat ini dilandasi tidak tetapnya pesawat pada tanah bumi. Pendapat yang kuat berpandangan, ia wajib mengulangi shalatnya. Namun (2) jika dia tidak dapat menyempurnakan gerakan ruku’ dan sujudnya atau ia shalat tidak menghadap arah kiblat maka ia wajib mengulangi shalatnya tanpa adanya perbedaan di antara ulama.”
Ketentuan umum yang terdapat dalam shalat li hurmatil waqti adalah seseorang melakukan shalat sebatas kemampuan menjalankan syarat-syarat shalat yang dapat ia lakukan. Seandainya bisa wudhu’ dan melakukan gerakan shalat secara sempurna namun tidak bisa menghadap kiblat, maka wajib baginya melaksanakan wudhu dan gerakan itu. Jika ia tidak dapat melaksanakan wudhu namun bisa tayammum, maka wajib baginya melaksanakan tayammum, begitu juga dalam praktik-praktik yang lain.
Sebab tujuan dari shalat li hurmatil waqti sendiri adalah memuliakan waktu shalat dengan sekiranya waktu tersebut tidak sepi dari pelaksanaan shalat. Jadi kesimpulannya, shalat di pesawat tidak dapat mencukupi untuk menggugurkan kewajiban shalat, sebab shalat yang dilakukan hanya sebatas shalat li hurmatil waqti yang wajib untuk diulang kembali dengan pelaksanaan yang sempurna.
Sumber:
- Taqrirat as-Sadidah Karya Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim
- Sifat Shalat Nabi Karya Ust. Ahmad Sabiq Abu Yusuf, Lc & Ust. Hayik el Bahja, Lc,
- Al-Majmu’ Karya Imam Nawawi