Shifat : Istilah Bid’ah dalam Akidah

 Shifat : Istilah Bid’ah dalam Akidah

Istinbat Hukum Maulid Nabi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Dunia persilatan teologis sangat heboh dengan pembahasan shifat Tuhan. Akan tetapi tahukah Anda bahwa kata “Shifat” tidak pernah digunakan oleh Alquran dan Hadis ketika membahas akidah?

Ya, Anda tidak akan menemukan kata ini di dalam keduanya. Jadi jangan harap anda akan menemukan frase “shifat Tuhan” dalam kedua sumber akidah tersebut.

Kata “Shifat” adalah inovasi alias bid’ah yang dibuat oleh mutakallimin untuk mempermudah pembahasan akidah. Tentu saja ini bid’ah hasanah.

Sama seperti istilah “jisim, hayz, jauhar, aradl” dan sebagainya adalah istilah ilmiah yang muncul belakangan yang dibuat untuk mempermudah pembahasan akidah. Semua disiplin ilmu mempunyai istilah-istilah bid’ah hasanah semacam ini yang tentu saja tidak digunakan di masa Rasulullah tetapi populer dalam ranah ilmiah belakangan.

Dari sini kita tahu betapa lemahnya argumen beberapa tokoh di masa lalu yang membenci Asy’ariyah. Mereka berkata bahwa istilah jisim, jauhar, ‘aradl dan sebagainya adalah istilah bid’ah yang tidak perlu dipakai.

***

Di waktu yang sama, dia menggunakan istilah “shifat” yang juga sama bid’ahnya. Selain itu, sebagian pembenci Asya’irah juga membuat istilah bid’ah lainnya yang mereka endorse terus menerus, yaitu istilah “bidzatihi”.

Apa-apa ditambahi “bidzatihi” dengan kesan seolah kalimat Rasulullah masih kurang sempurna bila tidak ditambahi tambahan bid’ah itu. Tentu saja bagi mereka itu juga tambahan bid’ah yang hasanah. Terlihat betul ada standar ganda di sini.

Pertanyaannya, kenapa sih memakai istilah shifat? Kata “shifat” dalam bahasa Arab berarti “ma’na” atau atribut yang abstrak. Kata ini menjadi lawan dari beberapa kata seperti “jarihah, udlwun, juz'” yang berarti atribut fisikal berupa organ atau bagian-bagian fisikal kecil.

Jadi, ketika Allah menyebut kata “yad, ‘ain, wajh” dan sebagainya, maka para ulama ahlussunnah menjelaskan pada masyarakat awam bahwa itu semua adalah shifat (atribut abstrak). Bukan dalam makna atribut fisikal seperti diyakini sekte mujassimah (Sekte sesat yang menganggap Allah berwujud fisik).

Harapannya ketika orang awam membaca istilah “yadullah” yang bila diterjemah secara harfiah adalah “tangan Allah”. Mereka bisa tahu bahwa yang dimaksud dengan itu bukanlah sebuah organ tangan tetapi sesuatu yang abstrak dan tidak diketahui hakikatnya.

***

Shifat kemudian dibagi oleh para mutakallim Ahlussunnah Wal Jamaah menjadi dua, yakni dzatiyah dan fi’liyah. Shifat Dzatiyah adalah atribut abstrak yang kekal dan tidak terpisah dari Allah, misalnya kehendak bebas (iradah), kekuasaan mutlak (qudrah), pengetahuan tanpa batas (‘ilm) dan seterusnya. Disebut dzatiyah sebab keberadaannya hanya ada pada dzat Allah dan sama sekali tidak bergantung pada makhluk.

Sedangkan shifat fi’liyah adalah atribut abstrak ketuhanan yang dibuat melekat/terjadi pada makhluk, misalkan “memberi rizki, mematikan, menghidupkan” dan seterusnya yang dalam eksekusinya selalu melibatkan makhluk. Anda boleh menyebut shifat ini sebagai “pekerjaan Tuhan” yang abstrak dan misterius.

Bila ini dipahami, maka akan diketahui bahwa istilah “Tuhan memberi rizki” tidak dapat diartikan bahwa Tuhan kemudian mentransfer uang pada Anda. Kemudian juga, atau menjulurkan tangannya yang penuh uang untuk Anda ambil.

Akan tetapi maknanya adalah keinginan Tuhan agar kondisi Anda berubah dari awalnya tidak mendapat rizki menjadi mendapat rizki. Secara kasat mata yang dibuat berperan sebagai pemberi bisa jadi orang tua, teman, saudara atau lainnya. Demikian juga cara anda memahami shifat fi’liyah atau “kerja Tuhan” yang lain, kesemuanya tidak ada yang dapat dipahami sebagai tindakan fisikal Tuhan.

Istilah Shifat dan kedua pembagiannya di atas hanya ada belakangan. Ia digunakan oleh ulama mutakallimin Ahlussunnah wal Jama’ah untuk menepis asumsi orang-orang awam agar tidak terpengaruh ajaran mujassimah. Anehnya sekarang ini justru dibolak-balik oleh orang yang tidak pernah belajar ilmu kalam secara benar.

Mereka mengaku benci ilmu kalam dan mengharamkannya, tetapi menggunakan istilah shifat dan bahkan memakai pembagian shifat menjadi shifat dzatiyah dan fi’liyah di atas. Dengan tanpa sadar bahwa itu adalah produk ilmu kalam.

Tetapi karena memang tidak mengerti, maka penggunaannya kacau balau; Istilah shifat yang aslinya adalah atribut abstrak diucapkan dalam konteks atribut fisikal. Istilah dzatiyah malah digunakan untuk menyamarkan istilah jismiyah (atribut kejisiman). Ini kesalahan yang fatal dan perusakan terhadap ilmu.

Semoga bermanfaat.

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *