Shalat Sunah Rajab dalam Ihya’ Ulum al-Din, Bagaimana Pendapat Ulama?
Shalat Sunah Rajab di terangkan di dalam dalam Ihya’ Ulum al-Din. Lantas bagaimana pendapat Ulama mengenai hal itu?
Oleh: Abdul Wadud Kasyful Humam*
HIDAYATUNA.COM – Ibarat jalan yang tak pernah sepi dari aktivitas para penggunanya, wajar jika jalan yang selalu dilewati itu akan mengalami retakan-retakan kecil yang lama-kelamaan akan menjadi besar, jika tidak segera diperbaiki. Begitu juga yang terjadi dengan ibadah wajib kita. Entah karena alasan apa, seseorang terkadang mengerjakan shalat dengan asal-asalan atau terburu-buru. Karena itu, disyari’atkannya shalat-shalat sunah adalah untuk menambal dan memperbaiki shalat-shalat wajib.
Ada banyak ragam shalat sunah (nawafil) yang dilakukan oleh umat Islam. Imam al-Ghazali dalam masterpiece-nya Ihya’ Ulum al-Din membagi shalat-shalat nawafil menjadi tiga; sunah, yaitu shalat-shalat sunah yang dikerjakan Nabi Muhammad secara rutin semasa hidupnya, seperti shalat rawatib, shalat duha, shalat witir, tahajud dan lain-lain. Mustahab, yaitu shalat-shalat sunah yang sampai kepada kita melalui riwayat-riwayat, yang memiliki keutamaan dan pahala besar, tetapi tidak rutin dilakukan oleh Nabi Muhammad. Kemudian tathawwu’, yaitu shalat-shalat sunah yang tidak terdapat dalam hadis-hadis dan memang dikerjakan oleh seseorang semata-mata untuk bermunajat dengan Tuhannya, tanpa terikat tempat dan waktu.
Kemudian imam al-Ghazali membagi shalat-shalat sunah menjadi empat macam. Pertama, shalat sunah yang diulang-ulang sehari semalam yaitu delapan jenis shalat sunah. Lima shalat sunah rawatib (dua raka’at sebelum shalat subuh, empat raka’at sebelum zuhur dan dua raka’at setelahnya, empat raka’at sebelum shalat ashar, dua raka’at sesudah shalat maghrib, dan empat raka’at sesudah shalat isya’) dan tiga shalat sunah selainnya, yaitu shalat duha, shalat sunah antara maghrib dan isya dan tahajud.
Kedua, shalat sunah yang berulang-ulang dengan berulang-ulangnya minggu, yaitu shalat setiap hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu serta malam-malamnya.
Ketiga, shalat sunah yang berulang-ulang dengan berulang-ulangnya tahun yaitu shalat dua hari raya, shalat tarwih, shalat Rajab dan shalat Sya’ban. Dan keempat shalat sunah yang berhubungan dengan sebab-sebab tertentu atau tidak terikat dengan waktu, yaitu shalat gerhana bulan (khusuf) dan gerhana matahari (kusuf), shalat minta hujan (istisqa’), shalat jenazah, shalat tahiyyat al-masjid, shalat dua raka’at setelah wudhu, shalat dua raka’at antara adzan dan iqamah, shalat dua raka’at ketika hendak keluar dari rumah dan ketika masuk ke rumah (setelah datang dari bepergian), shalat istikharah, shalat hajat dan shalat tasbih.
Dari beberapa shalat-shalat sunah yang dikemukakan imam al-Ghazali, ada shalat sunah mutlak yang dianjurkan untuk dikerjakan pada bulan Rajab, yaitu shalat sunah Rajab (al-ragaib). Bahkan salah satu pesantren di Ponorogo mewajibkan para santrinya untuk mengerjakan shalat tersebut. Shalat Rajab ini dikerjakan pada malam Jumat pertama di bulan Rajab antara shalat maghrib dan isya’ sebanyak dua belas raka’at dengan 6 kali salam (dikerjakan dua raka’at-dua raka’at dengan satu salam). Masing-masing raka’at setelah membaca surah al-Fatihah, membaca surah al-Qadr 3 kali, kemudian surah al-Ikhlas 12 kali. Setelah selesai shalat, membaca shalawat Allahumma shalli ala Muhammadin an-nabiyyil ummiyyi wa’ala alih 70 kali. Selesai membaca shalawat, kemudian sujud membaca subbuhun quddusun Rabbul malaikati warruhi 70 kali. Selesai sujud, membaca Rabbigfir warham watajawaz amma ta’lamu innakal-a’azzul-akramu 70 kali. Setelah itu, kembali sujud dengan membaca do’a sebagaimana yang dibaca saat sujud di awal. Kemudian memohon kepada Allah atas hajat yang diinginkan, maka hajat itu akan terkabul.
Di dalam riwayat yang dikutip Imam al-Ghazali disebutkan bahwa siapa saja yang mengerjakan shalat ini, selain semua hajatnya akan terkabul, seluruh dosa kecilnya akan terhapus meski dosa-dosa itu sebanyak buih lautan, sebanyak pasir-pasir yang menumpuk dan sebanyak daun-daun di pohon. Pada hari kiamat kelak 700 orang dari keluarganya akan mendapat syafa’at dan dimasukkan ke dalam surga.
Mengenai shalat sunah ini, Imam al-Ghazali mengakui bahwa dalil yang ia kutip tidak sekuat dalil tentang sunahnya shalat tarawih dan shalat hari raya, tetapi shalat sunah mutlak ini biasa dilakukan oleh warga al-Quds dan hampir-hampir mereka tidak pernah meninggalkannya.
Namun bagaimana komentar para ulama mengenai status sholat tersebut?. Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i menyampaikan kabar bahwa dirinya pernah ditanya seseorang tentang shalat al-raghaib. Lantas ia menjawab bahwa shalat al-raghaib sebagaimana shalat sunah malam nisfu Sya’ban 100 raka’at adalah bid’ah yang tercela, dan hadis yang menjelaskan keutamaannya adalah hadis palsu. Karena itu hukum shalat ini adalah makruh, baik dikerjakan sendiri-sendiri maupun berjama’ah.
Imam al-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal sebagaimana dikutip dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah menegaskan bahwa shalat al-raghaib yang dikerjakan pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab dan shalat sunah di malam pertengahan bulan Sya’ban dengan cara-cara tertentu dan jumlah raka’at tertentu adalah bid’ah yang mungkar.
Sementara al-Halabi dalam Maniyyat al-Mushalli – mengutip komentar Abu al-Faraj bin al-Jauzi dan Abu Bakar al-Thurtusi – mengatakan bahwa shalat al-raghaib adalah pemalsuan dan pembohongan atas nama Nabi Muhammad. Mereka menyampaiakan alasan kemakruhan shalat tersebut berdasarkan beberapa alasan. Pertama, shalat ini dilakukan secara berjama’ah, sementara tidak ditemukan dalil bahwa shalat tersebut dianjurkan untuk berjama’ah.
Kedua, mengkhususkan bacaan surah al-Ikhlas dan al-Qadr, sementara tidak ada ketentuan dari pemilik syari’at tentang pengkhususan surah. Ketiga, adanya pengkhususan malam Jum’ah. Keempat, orang awam meyakini bahwa shalat al-raghaib adalah sunah. Karena itu mengerjakan shalat ini sama halnya membuat-buat kebohongan terhadap Nabi Muhammad. Kelima, tersibukkan membaca surah yang berulang-ulang dapat memecah konsentrasi dan kekhusyu’an, dan yang demikian adalah menyalahi sunah.
Keenam, tidak ditemukan riwayat bahwa para sahabat, tabi’in dan para imam mengerjakan shalat tersebut. Jika mereka mengerjakannya, tentu mereka tidak akan meninggalkannya. Sementara shalat ini baru viral setelah tahun 400 H (448 H). Bahkan Nuruddin al-Maqdisi secara khusus menulis kitab berjudul Rad’u al-Raghib ‘an Shalat al-Raghaib untuk menolak dan memberi catatan kritis mengenai hukum shalat tersebut.
* Staf Pengajar di STAI Al-Anwar Sarang