Shalat Li Hurmatil Waqti, Wajib Qadha atau Tidak?
Shalat Li Hurmatil Waqti, Wajib Qadha atau Tidak? Berikut Ini Penjelasannya yang Wajib Kalian Ketahui Bersama
HIDAYATUNA.COM – Shalat li hurmatil waqti ialah shalat yang dilakukan dalam keadaan tidak sempurna dengan tujuan untuk menghormati waktu shalat. Biasanya orang yang kepepet tidak bisa wudhu atau tidak bisa tayamum maka dalam benaknya keadaan seperti ini tidak perlu shalat. Mungkin nanti saja shalatnya di rumah walaupun waktunya sudah habis tidak apa apa.
Padahal tidak demikian, seharusnya dia tetap shalat di waktunya dengan niat mengerjakan shalat tersebut sebagai penghormatan terhadap waktu (li hurmatil waqti). Sebab waktu shalat sudah tiba dan akan berakhir. Jadi sebenarnya shalat li hurmatil waqti ini adalah bagian dari shalat 5 waktu. Dalam kata lain kita ini sedang mengerjakan shalat 5 waktu yang pelaksanaannya tidak sempurna karena hal darurat.
Beberapa contoh orang yang melakukan shalat li hurmatil waqti:
Pertama, Orang yang bepergian naik kereta api yang menghabiskan lebih dari dua waktu shalat (misalnya 14 jam perjalanan), dan khawatir ketinggalan saat kereta berhenti di suatu stasiun.
Kedua, orang yang habis operasi dan bekas operasinya belum boleh terkena air (masih mengandung najis).
Ketiga, pendaki gunung yang pakaiannya terkena najis dan tidak membawa pakaian lain yang suci.
Keempat, Orang yang berada di tengah hutan yang tidak bisa wudhu karena air tidak terjangkau dan tidak bisa tayamum karena tanahnya basah.
Kelima, Orang yang ditahan atau dipenjara di tempat yang najis.
Keenam, Orang yang tidak bisa berdiri dan menghadap kiblat ketika hendak shalat padahal ia bisa berdiri dan tahu arah kiblat.
Kenapa juga harus diqadha’ kalau memang sudah shalat? Ini juga yang mungkin menjadi pertanyaan banyak orang. Jawabannya ya sederhana saja. Bahwa shalat yang dikerjakan tadi (shalat li hurmatil waqti) adalah shalat yang tidak terpenuhi di dalamnya syarat sah shalat. Sebab memang kondisi yang membuatnya seperti itu. Dan shalat yang dilakukan itu bukanlah untuk menggugurkan kewajiban, akan tetapi sebagai penghormatan untuk waktu shalat. Jangan sampai datang waktu shalat dan tidak ada upaya yang dikerjakan sepanjang waktu shalat tersebut. Karena tidak memenuni syarat sah shalat, maka beberapa ulama ada yang mewajibkan baginya untuk mengulangi shalat tersebut. Alias dia mengqadha shalatnya.
Shalat Lihurmatil Waqti Menurut 4 Madzhab
- Hanafi : Wajib Shalat & Wajib Qadha’
Sebenarnya tidak semua ulama Hanafi sepakat, namun pendapat yang mu’tamad dalam madzhab ini bahwa orang dalam keadaan Faqidu-Thahurain wajib shalat dan wajib diqadha nanti ketika keadaan sudah normal.
Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al- Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu menyebutkan sebagai berikut:
الحنفية: المفتى به عندهم ما قاله الصاحبان: وهو أن فاقد الطهورين يتشبه ِبلمصلين وجوبا، فيركع ويسجد، إن وجد مكانا يابسا، وألا يومئ قائما، ولا يقرأ ولا ينوي، ويعيد الصَلاة متى قدر على الماء أو التراب
Artinya: “Madzhab Hanafi: yang difatwakan oleh 2 sahabat Abu Hanifah (Imam Abu Yusuf & Imam Muhammad Asy-Syaibani) bahwa Faqidu ath-Thahurain sama kewajibannya seperti orang yang bisa shalat, ruku’ dan sujud di tempat yang kering. Tidak boleh membungkuk ketika berdiri, tidak boleh tidak membaca dan niat. Serta ia mengulangi shalat ketika mampu menggunakan air atau tanah”.
- Maliki : Tidak Wajib Shalat & Tidak Qadha’
Berbeda dengan madzhab sebelumnya, justru Maliki tidak mewajibkan seseorang yang Faqidu ath-Thahurain untuk mengerjakan shalat dan juga tidak mewajibkannya qadha. Kenapa? Karena thaharah dalam madzhab ini adalah syarat wajib bukan syarat sah.
Karena dianggap syarat wajib, ketika ini tidak terpenuhi maka kewajibanpun tidak ada. Karena tidak wajib shalat di waktu itu, maka tidak wajib juga mengqadha’-nya. Karena qadha itu adalah melaksanakan kewajiban yang tertinggal, toh yang ditinggalkan itu tidak wajib, jadi tidak wajib juga diqadha.
Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al- Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu menyebutkan sebagai berikut:
المالكية: المذهب المعتمد أن فاقد الطهورين وهما الماء والتراب، أو فاقد القدرة على استعمالهما كالمكره والمصلوب، تسقط عنه الصَلاة أداء وقضاء، فَلا يصلي ولا يقضي، كاْلحائض لأن وجود الماء والصعيد شرط في وجوب أداء الصَلاة، وقد عدم
Artinya: “Madzhab Maliki: pendapat yang mu’tamad bahwa Faqidu ath-Thahurain adalah orang yang tidak bisa menggunakan air dan tanah atau ada air dan tanah namun tidak mampu menggunakannya. Maka gugurlah kewajiban shalatnya. Tidak perlu shalat dan qadha seperti wanita haid, karena bersuci itu termasuk syarat kewajiban shalat. Namun hal itu tidak ada di dalamnya”.
- Syafi’i : Wajib Shalat & Wajib Qadha’
Bagi yang bermadzhab Syafi’i khususnya di Indonesia tentu tidak asing lagi mengenai fatwa Madzhab Syafi’i bahwa Faqidu ath-Thahurain tetap wajib shalat dan juga wajib qadha’. Pendapat madzhab syafi’i ini sama seperti pendapat Madzhab Hanafi.
Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al- Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu menyebutkan sebagai berikut:
الشافعية: يصلي فاقد الطهورين الفرض وحده في المذهب الجديد على حسب حاله بنية وقراءة، لأجل حرمة الوقت، ولا يصلي النافلة. ويعيد الصَلاة إذا وجد الماء أو التراب في مكان لا ماء فيه؛ لأن هذا العذر نادر ولا دوام له، ولأن العجز عن الطهارة التي هي شرط من شروط الصَلاة لا يبيح ترك الصَلاة، كسِتر العورة وإزالة النجاسة، واستقبال القبلة، والقيام والقراءة. ومن على بدنه نجاسة يخاف من غسلها، ومن حبس عن الصَلاة كفاقد الطهورين يصلون الفريضة فقط، إلا أن الجنب يقتصر على قراءة الفاتحة فقط
Artinya: “Madzhab Syafii: orang yang Faqidu ath-Thahurain harus tetap shalat sesuai kondisinya dengan tetap niat dan membaca surat al-Fatihah dan lainnya untuk menghormati waktu dan tidak perlu shalat sunnah. Namun jika sudah mendapati air atau tanah maka wajib mengulangi shalat sebab hal tadi sifatnya hanya udzur sementara. Dan juga orang yang tidak mampu bersuci padahal hal ini syarat sah shalat tidak boleh meninggalkan shalat. Seperti halnya juga tidak bisa menutup aurat, tidak bisa menghilangkan najis, tidak bisa menghadap kiblat dan tidak bisa berdiri misalnya. Orang yang tidak bisa menghilangkan najis dan yang tidak bisa shalat maka posisinya seperti Faqidhu ath- Thahurain. Tetap shalat 5 waktu. Namun jika junub cukup membaca al-Fatihah saja”.
- Hanbali: Wajib Shalat dan Tidak Qadha’
Dalam pandangan madzhab Hanbali, Ketika masuk waktu shalat dalam kondisi Faqidun ath-Thahurain, maka ia tetap wajib shalat. Namun setelah itu dia tidak perlu qadha’ lagi, karena kewajibannya telah gugur sebagaimana para sahabat dalam hadis masyhur Nabi SAW tidak menyuruhnya mengulangi shalat.
Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al- Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu menyebutkan sebagai berikut:
اْلحنابلة: يصلي فاقد الطهورين الفرض فقط، على حسب حاله وجوبا، لقوله صلى الله عليه وسلم – فيما رواه البخاري ومسلم عن أبى هريرة :- «إذا أمرتكم ِبأمر فائتوا منه ما استطعتم» ولأن العجز عن الشرط لا يوجب ترك المشروط، كما لو عجز عن السِترة
والاستقبال، أي كما قال الشافعية. ولا إعادة عليه، لما روي عن عائشة: «أَنها استعارت من أَسماء قَلادة، فضلتها، فبعث رسول الله صلى الله عليه وسلم رجالا في طلبها، فوجدوها، فأدركتهم الصَلاة، وليس معهم ماء، فصلوا بغير وضوء، فشكوا إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فأنزل الله آية التيمم» ولم يأمرهم بالإعادة
Artinya: “Madzhab Hanbali: Faqidu ath-Thahurain tetap wajib shalat fardhu sesuai kondisinya. Sebab Nabi SAW bersabda dalam riwayat Bukhari Muslim bahwa: jika aku perintahkan sesuatu kepadamu maka kerjakanlah semampumu. Dan orang yang tidak bisa memenuhi syarat shalat bukan brarti boleh meninggalkan shalat. Namun ia tidak wajib qadha’ sebab Nabi SAW dalam kisah hilangnya kalung Aisyah tidak menyuruh para sahabat untuk mengqadha shalatnya setelah itu”.
Untuk memudahkan kita dalam menghafal pendapat ulama 4 madzhab silahkan perhatikan tabel dibawah ini:
Madzhab | Shalat Lihurmatilwaqti | Qadha |
Hanafi | Wajib | Wajib |
Maliki | Tidak Wajib | Tidak Wajib |
Syafi’i | Wajib | Wajib |
Hanbali | Wajib | Tidak Wajib |
Sumber:
- Buku Shalat Lihurmatil Waqti Karya Muhammad Ajib, Lc., MA