Setiap Perbuatan yang Dilakukan Tergantung Niat

 Setiap Perbuatan yang Dilakukan Tergantung Niat


عَنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رضي الله عنه – قَالَ: سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: “إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Yaitu Umar bin Khaththab radhiyallalahu`anhu ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallhu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan seperti apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang ketika hijrah “misalnya” ia hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya niscaya hijrahnya tersebut akan dianggap benar-benar untuk Allah dan Rasul-Nya. Namun barang siapa yang hijrahnya untuk perkara dunia yang ingin diraihnya, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, niscaya hijrahnya hanya akan dianggap sebatas apa yang ia niatkan (bukan untuk Allah dan Rasul-Nya) (HR. Bukhari. 1)

Keterangan Hadis:

Maksud dari hadis di atas adalah, bahwa Setiap pekerjaan harus didasari dengan niat. Al Khauyi mengatakan, seakan-akan Rasulullah memberi pengertian bahwa niat itu bermacam-macam sebagaimana perbuatan. Seperti orang yang melakukan perbuatan dengan motivasi ingin mendapat ridha Allah dan apa yang dijanjikan kepadanya, atau ingin menjauhkan diri dari ancaman-Nya.

Sebagian riwayat menggunakan lafazh النِّيَة  dalam bentuk mufrad (tunggal) dengan alasan, bahwa tempat niat adalah dalam hati, sedangkan hati itu satu. , maka kata niyat disebutkan dalam bentuk tunggal. Berbeda dengan perbuatan yang sangat tergantung kepada hal-hal yang bersifat lahiriah yang jumlahnya sangat banyak dan beragam, sehingga dalam hadits tersebut kata ‘amal menggunakan lafazh jama’ (plural) yaitu الْأَعْمَالُ selain itu niat hanya akan kembali kepada Dzat Yang Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Lafazh hadits yang tertulis di atas mengunakan huruf ba, pada kata بِالنِّيَّاتِ (dengan niat). Huruf ba’ menunjukkan arti mushahabah (menyertai), dan ada juga yang mengartikan sababiyah (menunjukkan sebab). Imam Nawawi mengatakan, bahwa niat berarti maksud, yaitu keinginan yang ada dalam hati. Tetapi Syaikh Al Karmani menambahkan, bahwa keinginan hati adalah melebihi maksud.

Para ahli fikih berselisih pendapat untuk menentukan apakah niat itu termasuk rukun atau syarat? Dalam hal ini pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan, bahwa mengucapkan niat di awal pekerjaan adalah rukun, sedangkan menyertakannya dalam pekerjaan adalah syarat.

Dalam lafazh hadits tersebut ada kata yang dihilangkan {mahdzuj) sebelum jar majrur (binniyyaat), para ulama mengatakan bahwa lafazh yang disembunyikan tersebut adalah, tu’tabar (tergantung), takmulu (sempurna), iashihhu (menjadi sah) dan tastaqirru (langgeng).

Al-Baidhawi berkata, “Niat adalah dorongan hati untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan, baik untuk mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yang membawa kepada perbuatan yang diridhai Allah dan mengamalkan segala perintah-Nya.” Niat dalam hadits ini menunjukkan makna etimologi (bahasa), seakan-akan hadits ini mengatakan, “Tidak ada perbuatan kecuali berdasarkan niat.” Tetapi niat bukan inti dari perbuatan tersebut, karena ada beberapa perbuatan yang tidak didasari dengan niat, maka maksud penafian tersebut adalah penafian hukumnya, seperti sah atau kesempurnaan perbuatan

“Sebagian ulama mengatakan, bahwa perkataan tidak termasuk dalam perbuatan. Pendapat ini adalah pendapat yang salah menurut Ibnu hajar, karena hadits ini telah memberi penjelasan bahwa perkataan termasuk perbuatan. Karena sikap seseorang yang meninggalkan sesuatu dapat juga dikategorikan dalam perbuatan, meskipun hanya menahan diri untuk tidak melakukan suatu perbuatan.”

Memang akan terjadi suatu kontradiksi bagi orang yang mengatakan, bahwa perkataan adalah suatu perbuatan, ketika menjumpai orang yang bersumpah untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan, tapi orang itu tetap berbicara.untuk studi kasus seperti ini Ibnu Hajar mengatakan bahwa masalah sumpah sangat tergantung kepada kebiasaan (‘urf), sedangkan perkataan menurut kebiasaan bukan termasuk perbuatan. Adapun pendapat yang benar, adalah secara hakikat perkataan tidak termasuk dalam perbuatan, akan tetapi secara majaz (kiasan) perkataaan termasuk dalam perbuatan,

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى  (dan Balasan bagi setiap amal manusia sesuai dengan apa yang diniatkan)

Imam Al Qurthubi berkata, “Kalimat diatas menguatkan bahwa suatu perbuatan harus disertai dengan niat dan keikhlasan yang mendalam.”  Namun menurut Ibnu Hajar, Terkadang seseorang mendapat pahala dari perbuatannya tanpa disertai dengan niat sebelumnya, tapi ia mendapat pahala karena melakukan perbuatan yang lain, seperti orang yang melaksanakan shalat ketika masuk masjid, baik shalat fardhu atau sunnah rawatib, maka orang itu mendapat pahala mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid, baik diniatkan atau tidak, karena yang dilakukannya termasuk dalam kategori penghormatan (tahiyat) terhadap masjid. Berbeda dengan mandi junub pada hari jum’at, ia tidak mendapat pahala mandi sunnah pada hari jum’at menurut pendapat yang kuat (rajih), karena mandi pada hari jum’at merupakan ibadah, bukan hanya membersihkan badan, sehingga memerlukan niat khusus. Permasalahan ini juga berbeda dengan shalat tahiyatul masjid.  Dari uraian di atas kita dapat mengambil intisari, bahwa semua perbuatan membutuhkan niat, dan bukan hanya meninggalkan (tidak melakukan perbuatan tertentu) saja yang perlu niat.

هِجْرَتُهُ  (hijrahnya)

Hijrah berarti meninggalkan, dan hijrah kepada suatu tempat berati pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Menuiut syariat, hijrah berarti meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.

لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ (untuk perkara dunia yang ingin diraihnya, atau karena wanita) penyebutan kata perempuan secara khusus setelah kata umum (dunia) adalah untuk menekankan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan oleh perempuan sangat besar. Sebagaimana sebab munculnya hadis ini adalah lantaran cerita seorang muslim yang ikut berhijrah dengan maksud ingin mennikahi seorang perempuan. Seseorang yang berhijrah disertai dengan niat untuk menikahi seorang perempuan, maka ia tidak akan mendapatkan pahala seperti orang yang hanya berniat hijrah, atau seorang yang mempunyai keinginan menikah saja tanpa melakukan hijrah kepada Allah, maka orang itu tetap mendapatkan pahala apabila pernikahan yang dilakukannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena pernikahan adalah anjuran agama Islam.

Imam Ghazali menggaris bawahi apabila keinginan untuk memperoleh dunia dan perempuan lebih besar dari keinginannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang itu tidak mendapatkan pahala, begitu pula apabila terjadi keseimbangan antara keduanya antara keinginan untuk mendapatkan dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, ia tetap tidak mendapatkan pahala. Akan tetapi apabila seseorang berniat untuk ibadah dan mencampurnya dengan keinginan selain ibadah yang dapat mengurangi keikhlasan, maka Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari telah menukil perkataan ulama salaf, bahwa yang harus menjadi tolak ukur adalah niat awal, apabila ia memulai dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka perubahan niat tidak menggugurkan pahalanya. Wallahu A’lam

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *