Sering Ziarah Kubur? Ini Hukumnya

 Sering Ziarah Kubur? Ini Hukumnya

Ziarah kubur bagi masyarakat muslim Indonesia bukan merupakan sebuah hal asing. Masyarakat dibeberapa daerah dan komunitas bahkan memiliki rutinitas sendiri untuk melakukan ziarah kubur. Kebiasaan dan tradisi tersebut bahkan sudah berlangsung puluhan tahun. Namun dalam beberapa tahun terakhir ada yang mempersoalkan kembali mengenai ziarah kubur dengan dalih kekhawatiran menjadikan syirik dan melakukan bid’ah. Oleh karena anggapan demikian, perlu diuraikan kembali mengenai hukum ziarah kubur.

Rasulullah memang pernah melarang ziarah kubur, namun kemudian menganjurkannya sebagai pengingat bahwa yang hidup akan meninggal. Hal itu sebagaimana digambarkan dalam hadits di bawah ini:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ، وَلَا تَقُولُوا هُجْرً

Artinya: Aku dulu pernah melarang berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati, menitikkan (air) mata, mengingatkan pada akhirat, dan janganlah kalian berkata buruk (pada saat ziarah),” (HR. Hakim).

Dalam riwayat lain menyebutkan bahwa disunnahkannya ziarah kubur setelah mendapatkan izin dari Allah, berikut haditsnya;

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : اِسْتَأْذَنْتُ رَبِّيْ أَنْ أَسْتَغْفِر لأُمِّيْ ، فَلَمْ يَأذَنْ لِيْ ، وَاسْتأذَنْتُهُ أنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأذِنَ لِيْ

Artinya:   “Dari Abu Hurairah r.a. Berkata, Rasulallah s.a.w. bersabda: Aku meminta ijin kepada Allah untuk memintakan ampunan bagi ibuku, tetapi Allah tidak mengijinkan. Kemudian aku meminta ijin kepada Allah untuk berziarah ke makam ibuku, lalu Allah mengijinkanku.” (H.R. Muslim)

Hadits-Hadits di atas adalah dasar kesunnahan melakukan ziarah kubur sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama. Lebih lanjut mengenai kesunnahan ziarah kubur juga dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum ad-Dien:

زيارة القبور مستحبة على الجملة للتذكر والاعتبار وزيارة قبور الصالحين مستحبة لأجل التبرك مع الاعتبار

Artinya: “Ziarah kubur disunnahkan secara umum dengan tujuan untuk mengingat (kematian) dan mengambil pelajaran, dan menziarahi kuburan orang-orang shalih disunnahkan dengan tujuan untuk tabarruk (mendapatkan barakah) serta pelajaran.”

Ziarah kubur dalam hal ini juga menjadi sebuah bentuk pembelajaran atau mengingat dan meneladani amal shaleh yang diziarai. Seluruh mazhab (Syaifi’i, Maliki, Hanbali, Hanafi) menyepakati kesunnahan ziarah kubur, seperti disampaikan KH. Ali Maksum Krapyak dalam kitab Hujjah Ahlissunnah Wal Jama’ah:

زيارة القبور تجيزها مذاهب المسلمين كلها

Artinya: “Ziarah kubur diperbolehkan oleh seluruh mazhab umat islam,”

Ziarah kubur bukanlah dalam rangka memuja-muja kuburan tetapi mendoakan yang diziarahi. Doa’a-doa tersebut menurut para ulama sampai kepada mayit sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Adzkar:

قال النووي في الأذكار أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويصلهم ثوابه اه روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال ما الميت في قبره إلا كالغريق المغوث بفتح الواو المشددة أي الطالب لأن يغاث ينتظر دعوة تلحقه من ابنه أو أخيه أو صديق له فإذا لحقته كانت أحب إليه من الدنيا وما فيها

Artinya: “Imam Nawawi berkata dalam kitabnya, Al-Adzkar, ‘Para Ulama sepakat bahwa doa pada orang yang meninggal, bermanfaat dan sampai pada mereka‘ diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa sesungguhnya beliau bersabda, ‘Tidak ada perumpamaan mayit di kuburnya kecuali seperti orang tenggelam yang ingin ditolong, mayit menunggu doa yang ditujukan padanya baik dari anaknya, saudaranya atapun temannya. Ketika doa itu telah tertuju padanya, maka doa itu lebih ia cintai daripada dunia dan seisinya”

Demikian uraian mengenai hukum ziarah kubur, semoga menjadi bahan pembelajaran bersama. Sesungguhnya setiap amal yang baik adalah yang memiliki dasar baik Al-Qur’an dan Hadits juga pendapat para ulama. Wallahu a’lam.

Sumber:

Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Dien, juz 4, hal. 521

KH. Ali Maksum Krapyak, Hujjah Ahlissunnah Wal Jama’ah, hal. 53

Syekh Nawawi Al-Bantani, Nihayat al-Zain, hal. 281

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *