Serba-serbi Transaksi Online
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Jika tema ini langsung saya bahas hukum jual beli online tentu akan banyak syarat dalam jual beli yang terlewat.
Jadilah ngaji bareng ibu-ibu Az-Zahra Sidoarjo tentang Bab Buyu’ (jenis-jenis jual beli) dari kitab Fathul Qarib yang sudah saya permudah dalam powerpoint.
Hal paling dasar dari semua jual beli disampaikan dalam sabda Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam:
« إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ »
Artinya:
“Jual beli hanya dilakukan dengan saling rela.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Said Al Khudri)
‘Rela’ dari penjual dan pembeli dapat terlihat denga perkataan, saya beli, saya jual dan lainnya. Makanya ijab kabul ini menjadi komponen wajib dalam jual beli.
Kalau saat jual beli online kapankah ijab kabulnya? Yaitu saat pembeli menekan ‘Ya’ di setiap arahan transaksi.
Mulai dari memilih barang, memilih jenis, jumlah, cara pembayaran, pengiriman ke alamat dan seterusnya. Sebab tulisan sudah mewakili ucapan seperti dalam pepatah Arab:
الكتابة أحد اللسانين
Artinya: “Tulisan adalah mulut kedua.”
Transaksi dengan bentuk tulisan sudah dikenal di masa abad pertengahan, seperti disampaikan oleh Syaikhul Islam, Zakariya Al-Anshari:
ولو كتب إلى غائب ببيع أو غيره صح، ويشترط قبول المكتوب إليه عند وقوفه على الكتاب
Artinya:
“Jika menulis untuk orang lain dengan pembelian dan sebagainya maka sah. Disyaratkan harus menerima tulisan tersebut ketika ia mendapatkan suratnya.” (Fathul Wahhab, 1/271)
Pernahkah putra-putri anda ikutan belanja online cash on delivery atau COD tanpa sepengetahuan anda?
Anak bungsu saya sudah beberapa kali melakukan COD menggunakan aplikasi ibunya. Sempat juga berdebat dengan kurirnya tapi akhirnya bang kurir yang mengalah.
Karena transaksi anak kecil diperinci dalam pandangan beberapa mazhab:
في مذاهب العلماء في بيع الصبى المميز قد ذكرنا أن مذهبنا أنه لا يصح سواء إذن له الولى أم لا وبه قال أبو ثور وقال الثوري وأبو حنيفة وأحمد واسحق يصح بيعه وشراؤه باذن وليه
Artinya:
“Mazhab Syafii, transaksi beli oleh anak adalah tidak sah, baik diizinkan oleh orang tua atau tidak. Menurut Abu Tsaur, Abu Hanifah dan Ahmad sah jika mendapat izin wali atau orang tuanya.” (Al-Majmu’, 9/158)