Sempat Ditolak Masuk AS, Mahasiswa Asal Palestina Sampai di Harvard

 Sempat Ditolak Masuk AS, Mahasiswa Asal Palestina Sampai di Harvard

HIDAYATUNA.COM – Pada hari Senin seorang mahasiswa Universitas Harvard asal Palestina yang awalnya ditolak masuk ke Amerika Serikat tiba di kampus sehari sebelum kelas dimulai.

Ismail Ajjawi, seorang pengungsi yang berusia 17 tahun ditolak masuk pada 23 Agustus dan dikirim kembali ke rumahnya di Lebanon setelah menghabiskan waktu berjam-jam di Bandara Internasional Boston Logan.

Remaja itu mengatakan dia diberitahu bahwa visanya telah dibatalkan oleh petugas imigrasi setelah ditanyai tentang postingan media sosial yang berorientasi politik yang di post oleh teman-temannya. Dalam laporan dia juga mengatakan telepon dan laptopnya digeledah dan dia ditanyai tentang praktik keagamaannya di Lebanon.

Juru bicara Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP) Michael McCarthy mengatakan kepada Al Jazeera pekan lalu bahwa Ajjawi telah ‘dianggap tidak dapat diterima berdasarkan informasi yang ditemukan selama inspeksi oleh pihak CBP’.

Namun Kedutaan Besar AS di Beirut meninjau kembali kasus Ajjawi dan menerbitkan kembali visanya. Menurut Amideast, sebuah organisasi nirlaba yang memberikan beasiswa pada Ajjawi, Ajjawi telah tiba di kampus Cambridge, Massachusetts pada hari Senin kemarin.

Ajjawi tumbuh besar di sebuah kamp pengungsian di Lebanon selatan dan lulus dari SMA Deir Yassin, SMA yang dijalankan oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di kota Tyre.

Menurut UNRWA dan Amideaast, Ajjawi berharap untuk belajar biologi kimia dan fisika di Harvard dan mengejar karir di bidang kedokteran.

UNRWA menyebut Ajjawi sebagai ‘tiang harapan’ bagi ratusan ribu pemuda Palestina.

Pada hari Senin, keluarga Ajjawi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka menghargai upaya semua orang yang telah membantunya.

“Sekarang kami berharap semua orang dapat menghormati privasi kami dan Ismail agar dia dapat fokus untuk menetap di perguruan tinggi dan tugas kelasnya yang penting.”

Menurut Harvard Crimson, sebuah petisi yang mendukung Ajjawi telah mendapat lebih dari 7.000 tanda tangan pada Senin malam. Petisi ini dimulai oleh beberapa kelompok mahasiswa Havard.

Jason Newton juru bicara dari Harvard mengatakan dalam sebuah pernyataan kepada Al Jazeera pada pekan lalu, bahwa Harvard sedang berupaya agar mahasiswa asal Palestina itu dapat masuk ke kampus tepat pada waktunya untuk memulai kelas-kelasnya.

Ajjawi juga menerima dukungan dari para aktivis dan politisi di seluruh dunia, dengan banyak yang mengecam tindakan keras Presiden AS Donald Trump terhadap para imigran, terutama yang berasal dari negara-negara mayoritas Arab dan Muslim.

“Kami senang mimpi Ismail untuk sekolah di Harvard akan terwujud. Ismail adalah pemuda cerdas yang kerja keras, kecerdasan, dan semangatnya memungkinkan dia untuk mengatasi tantangan yang terus dihadapi oleh para pemuda pengungsi asal Palestina untuk mendapatkan beasiswa,” kata Presiden dan CEO AMIDEAST Theodore Kattouf dalam sebuah pernyataan.

Elsa Auerbach, anggota kelompok advokasi Jewish Voice for Peace Boston, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa kasus Ajjawi adalah ‘satu lagi tindakan agresi yang dilakukan oleh pemerintahan AS saat ini’.

Pada tahun 2018, lebih dari 37.000 aplikasi visa untuk masuk ke AS ditolak karena larangan administrasi perjalanan oleh Trump, yang membatasi perjalanan bagi sebagian besar individu dari lima negara yang mayoritas beragama Muslim, termasuk Iran, Libya, Somalia, Suriah dan Yaman. Larangan itu juga mencakup pembatasan terhadap warga Korea Utara dan beberapa individu dari Venezuela.

Menurut kelompok Hak Asasi Manusia, kasus Ajjawi bukan kasus yang ditutup-tutupi.

“Setidaknya dua kali dalam sebulan, klien saya ditolak masuk karena sesuatu yang ada di WhatsApp mereka,” kata Abed Ayoub, Direktur Hukum dan Kebijakan Komite Anti-Diskriminasi Amerika-Arab, sehari sebelum Ajjawi ditolak masuk ke Amerika.

“Sebagian besar adalah gambar atau video yang diteruskan ke mereka di dalam WhatsApp Grup. Banyak alat atau cara digunakan untuk menghentikan imigran masuk ke Amerika secara legal,” katanya.

Menurut aturan dari CBP, mereka memiliki otoritas yang luas untuk menyita dan mencari perangkat elektronik dari individu yang ingin memasuki AS.

Pada awal tahun ini Departemen Luar Negeri AS mengumumkan bahwa mereka akan meminta sebagian besar orang yang akan mengajukan visa untuk mendaftarkan akun media sosial mereka untuk proses penyaringan.

Selain itu, media AS melaporkan pada minggu lalu bahwa petugas imigrasi akan diizinkan untuk membuat akun palsu untuk memantau aktivitas media sosial pada individu yang mengajukan visa, kartu hijau dan kewarganegaraan. Langkah ini dilakukan terlepas dari kebijakan Facebook dan Twitter yang melarang pengkloningan identitas.

Sumber : AlJazeera.com

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *