Selesai S2 Filsafat di Inggris, Pemuda Ini Bangun Pesantren Toleran
Sebuah Kisah Yang Sangat menginspirasi. Dimana Selesai S2 Filsafat di Inggris, Pemuda Ini Bangun Pesantren Toleran.
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Masa depan Indonesia berada di tangan pemuda. Belajar dari hari ini dan masa lalu, para pemuda Indonesia akan turut andil dalam membangun Indonesia lebih maju, damai dalam keberagaman, penuh rasa toleran dalam berkehidupan.
Kontribusi pemuda dalam berbagai bidang sudah banyak memberikan warna kemajuan bagi Indonesia. Kiprahnya patut dibanggakan dan didukung terus menerus. Sebab, pengaruhnya cukup signifikan terhadap masyarakat luas.
Bicara peran pemuda, menarik mengulik dan mengetuaji sepak terjang pemuda yang satu ini. Irfan Sarhindi namanya. Ia lulusan Master Filsafat Pendidikan di University College London.
Sebagai generasi kelima pengasuh pesantren salamul Falah & Podcastren di Cianjur, selesai menempuh gelar masternya di Inggris ia pulang ke Tanah Air mendirikan pesantren toleran. Musabab pendirian pesantren toleran ini diakui berhubungan dengan alasan ia melanjutkan kuliah di University College London (CL).
“Jadi sebelum saya kuliah itu saya semacam mengalami kegelisahan. Saya merasa kehilangan kepercayaan terhadap otoritas keagamaan,” ujar Irfan Sarhindi di acara Mata Najwa baru-baru ini seperti dikutip dari Channel NarasiTV, Kamis (20/2/2020).
Ia berkisah, ketika itu, ia kebetulan mondok atau menginap di sebuah pesantren yang beberapa tahun kemudian ternyata berafiliasi pada ISIS. “Jadi saat itu saya kehilangan kepercayaan bagaimana Islam yang bener itu, dampaknya sebenarnya Islam pendidikannya itu harus seperti bagaimana,” tuturnya.
Waktu itu pula, dirinya dilanda kebingungan mengenai permasalahan tersebut sementara keluarga besar memiliki sebuah pesantren yang diteruskan dari generasi ke generasi.
“Saya juga gak tahu harus gimana ngelanjutinnya (pesantren). Kemudian saya berpikir bahwa kalau saya ngambil jalur yang biasa ditempuh saya tidak akan menemukan jalan yang secara personal memuaskan,” imbuhnya.
Caranya menempuh filsafat pendidikan di luar negeri tersebut menjadi jalur tak biasa yang ia maksud. Justru dengan pilihannya tersebut, ia seperti diarahkan untuk meneliti mengenai sebuah pesantren dan identitas Islam di Indonesia yang dapat diterapkan kemudian hari.
“Makanya kemudian pulang dari London saya kemudian melanjutkan sebuah program yang sebelumnya telah ada sebelum saya pergi ke London.”
Program tersebut dapat pula dikatakan sebagai rencana kekinian yang dianggap cocok untuk para kaum muda yang memilih bersekolah pesantren. “Jadi sebetulnya itu pesantren di pesantren keluarga kami yang bisa dilaksanakan bulan Ramadhan. Targetnya adalah anak-anak, dan yang kami coba advokasi adalah bagaimana mereka memiliki kemampuan critical thinking,” tambah Irfan.
Sebab Critical thinking tersebut menjadi salah satu masalah Islam yang disalah tafsirkan karena pendidikan Islam terlalu berorientasi hapalan. Sehingga setiap siswa hanya tahu salat dan hapalan tanpa tahu filosofi mengapa hal tersebut harus dilakukan. “Semangatnya tersebut jadi tidak termanifestasi selama mereka selesai melaksanakan shalat,” ujar Sarhindi. (AS/Hidayatuna.com)