Selayang Pandang Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia

 Selayang Pandang Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia

UAH: Manajemen Pendidikan Islam Satu-Satunya Solusi Terbaik (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta –  Tradisi pendidikan Islam di Indonesia muncul sejalan dengan proses Islamisasi, yaitu pada awal abad ke-19.

Saat itu Indonesia belum mengenal suatu sistem pendidikan modern atau pendidikan model Belanda dan masih menggunakan sistem pendidikan tradisional.

Pada abad ke-20, Indonesia masih mengenal satu jenis tradisi pendidikan saja, yaitu “lembaga pengajaran asli” seperti sekolah-sekolah agama Islam di antaranya masjid, langgar, surau, dan pesantren.

Sistem atau tradisi pendidikan ini berfokus pada pelajaran membaca Al-Qur’an, pelaksanaan shalat, pelajaran tentang kewajiban-kewajiban pokok agama.

Di sini masjid sebagai pusatnya, selain untuk melaksanakan jama’ah shalat lima waktu dan shalat Jum’at, masjid dimanfaatkan untuk pengajian umum mengenai baca tulis Al-Qur’an dan seputar wawasan keagamaan.

Selain berlangsung di masjid, pengajaran ini juga berlangsung di rumah imam masjid atau anggota masyarakat Islam yang shaleh lainnya.

Sebagai mana diketahui bahwa masjid besar adalah tempat paling intensif untuk menyebarkan agama Islam.

Dan setiap kerajaan Islam harus memiliki masjid. Karena masjid ialah sarana pokok untuk pengembangan masyarkat dalam bidang agama Islam dan juga sebagai sarana untuk transmisi ilmu agama Islam.

Masjid sendiri memiliki seseorang untuk embersihkan dan merawatnya, yang biasa disebut dengan kata modin, dia juga bertindak sebagai guru agama.

Pada masa kerajaan Mataram (1575-1757 M) tampak nggon ngaji berkmbang dengan subur.

Menurut pandangan orang Islam Jawa, untuk mencapai kemampuan membaca Al-Qur’an dibutuhkan latihan yang sering, berkesinambungan dan membutuhkn guru, biasanya guru ngaji ini berasal dari kalangan ulama.

Umat Islam juga menganjurkan untuk saling mengajarkan ilmu yang dimiliki. Oleh karena itu nggon ngaji berkembang semakin banyak di suatu tempat yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.

Pada tahun 1575-1757 tepatnya pada masa kerajaan Islam Mataram, nggon ngaji berkembang pesat.

Hal ini memang didukung oleh ajaran Islam sendiri yang menganjurkan pemeluknya agar selalu meyampaikan ajaran agamanya kepada orang lain, termasuk mengajarkan Al-Qur’an.

Pada tahun 1831, dijumpai 1853 nggon ngaji dengan 16. 556 murid, dan jumlah tersebut meningkat menjadi 14. 929 nggon ngaji dengan 222. 663 murid pada tahun 1885.

Namun, colonial Belanda menghambat pendidikan Islam Indonesia. Kenyataan pahit dialami umat Islam karena adanya kebijaksanaan “Perburuan Guru Agama” yang diterapkan pemerintah.

Kebijaksaan muncul sebagai reaksi pemerintah kolonial Belanda atas pemberontakan Banten tahun 1888. Kebijaksanaan itu mewajibkan setiap guru agama Islam memperoleh izin bupati bagi kelayakan mengajar, walaupun sekadar membaca Al-Qur’an.

Lembaga pendidikan nggon ngaji ini merupakan lembaga pendidikan masyarakat. Pada daerah-daerah yang Islamnya kuat, terutama di daerah-daerah Sunda dan Jawa.

Lembaga pendidikan ini awalnya mendapat subsidi dari pemerintah kerajaan Islam, namun pada saat pemerintahan colonial Belanda subsidi itu diberhentikan, karena sikap diskriminatif Belanda terhadap Islam.

Alam perkembangan selanjutnya, setelah Indonesia merdeka dan disusul dengan berdirinya Departemen Agama, lembaga-lembaga pendidikan dasar Al-Qur’an mengalami penyempurnaan kurikulum, sistem pendidikan, dan beberapa aspek pendidikaan lainya.

Sehingga memunculkan sebuah lembaga bau yang disebut dengan lembaga Madrasah Diniyah ang mendapatkan subsidi dan bimbingan dari pemerintah.

Masyarakat Indonesia juga menyelengarakan tradisi pendidikan di pesantren. Pendidikan pesantren adalah tradisi pendidikan luhur dalam pendidikan dan pengajaran Islam di Indonesia.

Kemunculan pesantren tidak lepas dari peran ulama yang memiliki hak istimewa di kalangan kerajaan.

Untuk itu kerajaan memberikan wilayah bebas kepada para ulama untuk dikelola.

Setelah pesantren, madrasah hadir sebagai lembaga pendidikan formal Islam. Madrasah merupakan evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan dan khan sebagai tempat tinggal mahasiswa.

Khan sendiri telah ditemukan pada abad ke-4 H, yang kemudian menjadi fenomena baru dalam lembaga pendidikan Islam.

Menurut Azyumardi Azra, madrasah di sepanjang sejarah Islam dijadikan sebagai tempat mengajarkan al-‘ulum al-Islamiyah atau tepatnya al-‘ulum al-diniyah, dengan penekanan khusus pada bidang fiqih, tafsir, dan hadits.

Sementara itu, ilmu-ilmu alam dan eksakta yang merupakan akar pengembangan sains dan teknologi sejak awal perkembangan madrasah sudah berada dalam posisi marjinal.

Madrasah di Indonesia sendiri berbeda dengan madrasah-madrasah di Timur Tengah. Madrasah di Indosnesia dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut atau pembaharuan dari lembaga pesantren dan surau.

Selain itu, madrasah abad pertengahan mempunyai syaikh atau professor yang diposisikan sebagai pemegang otoritas.

Kurun awal abad ke-20 dapat dikatakan sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia.

Selanjutnya madrasah terus berkembang, di antaranya mulai berdiri madrasah tingkat dasar (ibtidaiyah), madrasah tingkat pertama (tsanawiyah), dan madrasah tingkat atas (aliyah).

Selang beberapa waktu, pada awal abad ke-20 dapat dikatakan sebagai periode pertumbuhan mdrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia.

Latar belakang pertumbuhan madrasahdi Indonesia tidak bisa dilepaskandari gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan adanya respons pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda.

Munculnya gerakan pembaruan di Indonesia pada awal abad ke-20 dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks.

Sejarah modernisasi pendidikan Islam di Indonesia juga mencatat proses cikal bakal berdirinya perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Pertama, ide mendirikan perguruan tinggi Islam merupakan salah satu mata rantai sejarah perjuangan umat Islam Indonesia sejak awal abad ke-20 M.

Wujud konkret dari kesadaran itu tampak pada pembaruan system pendidikan Islam yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam pada masa itu, seperti: Jam’iyat al-Khairat (1905) di Jakarta, Sarekat Islam (1912) di Solo, Muhammadiyah (1912) di Yogyakarta, Al-Irsyad (1915) di Jakarta.

Meskipun tidak seragam dalam menerapkan pembaruan, organisasi-organisasi Islam ini secara umum memperkenalkan system pendidikan yang baru di lingkungan masing-masing.

Semua cara telah ditempuh umat Islam untuk membangun sistem pendidikan Islam yang lengkap, mulai dari pesantren yang sederhana sampai universitas.

Pada empat puluh tahun pertama abad XX (1901-1941) DI Indonesia telah terdapat banyak lembaga pendidikan dari dasar sampai perguruan tinggi.

Namun, masih bersifat eksperimentl. Menurut laporan Mahmud Yunus, Perguruan Tinggi Islam yang pertama adalah Sekolah Tingi yang didirikan oleg persatuan guru-guru Agama Islam (PGAI) Padang.

Perguruan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1940 dan dipimpin oleh Mahmud Yunus. Gagasan didirikan perguruan tinggi Islam dimunculkan oleh Muhammadiyah, namun gagasan tersebut belum sempat teraksana karena pecahnya perang dunia II.

Gagasan mendirikan STI terus dilanjutkan pada tahun 1945. Masyumi membuat keputusan penting dalam perjuangan dibidang pendidikan dan politik.

Di antara keputusanya adalah membuat barisan mujahidin bernama Hizbullah, mendirikan STI sebagai ralisasi kerja.

Pada masa revolusi 1945-1949 STI ikut hijrahnya Pusat Pemerintahan RI ke Yogyakarta , dan STI baru dibuka kembali pada 10 April 1946. Pada tahun 1947 dibentuk panitia perbaikan, yang dalam sidangnya akan mendirikan Universitas Islam Indonesia pada 10 Maret 1948.

Dengan 4 fakultas, Agama, Hukum, Pendidikan dan Ekonomi. Mula-mula ada dua jenis kursus yang tersedia di STI yaitu, ilmu agama dan ilmu masyarakat.

Pada November 1947 dibentuk panitia perbaikan STI, yang dalam sidangnya sepakat untuk mendirikan Universitas Islam Indonesia pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas yakni fakultas agama, hukum, ekonomi, dan pendidikan.

Pada 20 Februari 1951, Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950, bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta.

Berubahnya STI menjadi UII menjadikan tujuan lembaga lembaga pendidikan ini mulai bergesar titik beratnya yakni dari tempat pendidikan yang baik bagi para calon ulama kepada fakultas-fakultas non-agama atau yang bersifat sekuler seperti teknik, ekonomi dan dan kedokteran.

Konsekuensinya UII harus bersaing ketat dengan perguruan tinggi swasta non-agama Islam yang didirikan pada Maret 1948 di Yogyakarta.

Hingga kini UII tetap mampu bersaing dengan kampus-kampus negeri lainnya. Di Yogyakarta sendiri semakin banyak []

Ratna Sari

Ratna Sari biasa dipanggil Nana. Seorang santri di Ponpes Al-Muayyad, Surakarta, sangat menyukai bacaan kitab klasik dan khazanah turats. Mengamini hidup minimalis, saat ini sedang off semua sosial media dan fokus mengasah kemampuan menulis.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *