Selayang Pandang Epistemologi Pemikiran Islam Abdullah Saeed

 Selayang Pandang Epistemologi Pemikiran Islam Abdullah Saeed

Membincang Sanad Dzikir Thariqah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Abdullah Saeed adalah seorang tokoh mufasir serta cendekiawan muslim yang menarik untuk didiskusikan, khususnya terkait epistemologi pemikiran Islamnya.

Di antara berbagai nama-nama tokoh kontekstualis, Saeed lebih terpengaruh oleh pemikiran Rahman.

Dapat dilihat dalam beberapa tulisannya, ia menegaskan serta menyinggung bahwa pada dasarnya tafsir yang digagasnya telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran Fazlur Rahman.

Saeed menyatakan bahwa Rahman telah menggagas inti dari metode tafsir yang ditawarkannya.

Rahman juga telah memberikan kontribusi orisinal dalam metodologi alternatif dalam menafsirkan ayat-ayat ethico-legal, yakni menghubungkan teks dengan konteks baik ketika pewahyuan maupun pada masa kini.

Di samping sebagai seorang Ramanian, Saeed juga dianggap meneruskan dan menyempurnakan metodologi tafsir Rahman yakni interpretasi kontekstual dari metodologi tafsir Rahman.

Di dalam bukunya Interpreting The Qur’an: Towards a Contemporary Approach, ia fokus pada penafsiran atas ayat-ayat etika hukum.

Dalam tulisannya, Saeed menyebutkan ada tiga pendekatan terkait interpretasi ayat-ayat etika hukum pada periode modern, yakni: Tekstualis, Semi Tekstualis, dan Kontekstualis.

Klasifikasi ini didasarkan pada sejauh mana penafsir berpegang teguh terhadap kriteria linguistik untuk menentukan makna, dan memperhitungkan konteks sosio historis Al-Qur’an, dan konteks kontemporer masa sekarang.

Saeed berpendapat bahwa interpretasi ayat-ayat hukum harus memperhitungkan perubahan sosial guna untuk dapat menopang hubungan yang dekat antara Al-Qur’an dan umat Islam saat ini.

Selain sebagai seorang Muslim yang percaya bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan kepada Nabi Muhammad, Saeed juga memandang bahwa Al-Qur’an yang ada saat ini secara historis merupakan sebuah teks otentik yang berisi wahyu-wahyu yang diterima Nabi Muhammad selama lebih dari 22 tahun dan dikumpulkan oleh umat Islam yang menyaksikan pewahyuan ini setelah Nabi Muhammad wafat.

Ia juga menghargai warisan tafsir terdahulu, dan belajar darinya serta menggunakan apa-apa yang relevan dan bermanfaat pada masa kontemporer saat ini.

Tetapi ia tidak sepakat dalam mananggapi pernyataan bahwa umat Islam pada masa lampau telah mencapai puncak capaian intelektual di ranah tafsir dan fiqh.

Menurutnya, umat Islam berada pada proses perbaikan, kemajuan dan perubahan secara berkesinambungan serta penambahan terhadap bangunan pengetahuan.

Dalam konsep pewahyuan, Saeed sendiri tidak menyepakati pandangan bahwa ada elemem manusia yang ikit dalam penciptaan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah ciptaan Tuhan.

Namun, dalam kapasitas agar ia bisa dipaham manusia, maka wahyu harus bersentuhan dengan manusia dan masyarakat yang menjadi subyek penerimanya.

Pemahaman wahyu ini penting dalam konteks sosio historis. Dan interpretasi harus berangkat dari realita di mana wahyu ini diturunkan.

Sesuai dengan nama penafsirannya, yakni kontekstual, penitikberatan dan peninjauan model interpretasinya ialah perhatian serius atas konteks, terutama konteks pada masa pewahyuan dan konteks ketika Al-Qur’an ditafsirkan.

Menurut Saeed, pengetahuan tentang bagaimana Al-Qur’an telah ditafsirkan sepanjang sejarah adalah sesuatu yang penting untuk merumuskan sebuah penafsiran baru yang sesuai dengan kondisi masa kini.

Dan perumusan tafsir model baru tidak akan mungkin tanpa proses penyaringan, pengembangan, meragukan, mempertanyakan dan menambah tradisi.

Penafsiran ini bergerak dalam upaya untuk menemukan mana makna yang universal dan mana yang partikular.

Kesemuanya itu ia bangun dalam “hirarki nilai”nya, dan ini merupakan sumbangsih Saeed yang mencolok dalam kajian tafsir kontekstualnya.

Menurut Saeed, konteks sosio historis ini merupakan elemen yang sangat penting dalam penafsiran Al-Qur’an untuk menjadikan ayat-ayat etika hukum bermakna dan relevan untuk kehidupan Muslim kontemporer.

Secara internal, konteks menjadi basis untuk memahami hubungan antara instruksi ayat-ayat etika-hukum dan alasan-alasan memperkenalkan perintah-perintah tersebut pada masyarakat Hijaz abad ke-7.

Namun sayangnya, menurut Saeed, perhatian akan konteks ini dipinggirkan baik dalam tradisi tafsir maupun hukum, akibatnya konteks sosio-historis kurang memiliki peran yang signifikan dalam menafsirkan al-Qur’an, terutama pasca kemapanan hukum Islam pada abad ke-3 H/ 9M.

Implikasi Pemikiran Abdullah Saeed dalam kancah pemikiran kontemporer, khususnya di antara kaum kontekstualis yaitu dengan penulusurannya terkait hirarki nilai dalam tafsir kontekstual, dengan berangkat dari inspirasi pemikiran klasik dan Rahman, dia telah menyelesaikan persoalan berkaitan dengan penentuan mana makna yang universal dan yang partikular.

Abdullah Saeed sebagai salah satu tokoh pemikir Islam kontemporer, telah berhasil menciptakan gairah untuk membaca kembali teori-teori penafsiran atomisme seperti tentang penafsiran dalam kajian akademik.

Dia menawarkan suatu bentuk penafsiran yang diklaim sebagai bentuk usaha yang mampu membaca atau menafsirkan teks Al-Qur’an secara kontekstual.

Upaya yang dilakukan Saeed ini, meskipun tidak secara eksplisit dinyatakannya sebagai pelanjut pemikiran Fazlur Rahman tapi jejak-jejaknya bisa ditemui dengan jelas dalamkarya-karyanya. []

Muhamad Imam Mutaqin

Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga. Menyukai obrolan, bacaan, belajar dan desain, sesekali ngopi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *