Sejarah Singkat Penulisan Kitab Turjuman Al-Mustafid Karya As-Singkili
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Tafsir Nusantara dapat diartikan sebagai kegiatan penafsiran yang menggunakan simbol, bahasa dan dialek lokal Nusantara.
Salah satu produk tafsir Nusantara yang muncul pertama kali adalah Kitab Turjuman Al-Mustafid. Tentu terdapat dinamika sejarah yang cukup panjang di dalamnya.
Proses penafsiran tersebut dapat dikatakan sebagai gambaran proses penyebaran Islam, yang mana kegiatan penafsiran ini pada awalnya merupakan kajian terhadap Al-Qur’an untuk memperoleh makna kontekstual yang diperlukan dalam mensyiarkan ajaran-ajaran Islam di Nusantara.
Tafsir Al-Qur’an di Nusantara pada masa awal menggunakan bahasa Melayu-Jawi.
Penggunaan bahasa tersebut dapat dilihat dalam Turjuman Al-Mustafid karya Abdul Rauf As-Singkili (w. 1693 M).
Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir lengkap 30 juz pertama di Melayu.
Al-Sinkili menulis Kitab Tafsir Turjuman Al-Mustafid ketika ia menjabat sebagai Qadhi Malik al-‘Adil atau Mufti di Kesultanan Aceh.
Tidak ada sumber yang tertulis maupun penelitian yang menyebutkan alasan al-Singkili menulis kitab tafsir ini.
Akan tetapi, melihat kondisi masyarakat Aceh pada saat itu membutuhkan adanya sumber atau rujukan agama khususnya berbahasa Melayu.
Inisiatif As-Singkili dengan penyusunan kitab tafsir ini, karena kitab tafsir pada saat itu dalam batas-batas tertentu yang digunakan untuk merespon kebutuhan-kebutuhan dan cenderung yang menggejala waktu itu.
Dari sisi lain, masyarakat saat itu juga dihadapkan pada problem-problem yang muncul karena adanya penafsiran-penafsiran sufistik yang dikembangkan oleh golongan Wahdat al-Wujuh.
Paham wahdat al-wujud di Aceh dibawa oleh Hamzah al-Fansuri dan Syams al-Din al-Samatrani, keduanya memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk pemikiran dan praktik keagamaan Muslim Melayu Nusantara pada abad ke-17.
Mereka juga dianggap sebagai tokoh sufi paling awal dan juga perintis terkemuka tradisi kesusastraan Melayu.
Tidak hanya itu, pemikiran dan sikap agresif al-Raniri yang memunculkan kekisruhan dengan mengarah kepada pertumpahan darah.
Menurut al-Raniri, Islam di Aceh dikacaukan oleh kesalahpahaman atas doktrin sufi (Wahdat al-Wujud).
Maka dari itu ia mencurahkan tenaganya untuk menentang doktrin wujudiyah, bahkan mengeluarkan fatwa yang mengarah pada perburuan orang-orang sesat, membunuh orang-orang yang menolak meningalkan berbagai praktik sesat dan membakar buku-buku mereka.
Kondisi tersebut menggugah al-Singkili uintuk menulis kitab tafsir berbahasa Melayu untuk membantu masyarakat dalam memahami ajaran Islam.
Karena sebelumnya jika seseorag ingin memahami Al-Qur’an harus terlebih dahulu belajar bahasa Arab dan merujuk kepada pendapat ulama.
Tetapi, setelah adanya tafsir ini memudahkan masyarakat mendalami ajaran Islam yang bersumber langsung dari Al-Qur’an.
Demikian sejarah singkat dari aspek sosio-historis penulisan kitab tafsir pertama di Bumi Melayu yaitu Kitab Turjuman Al-Mustafid. []